Belajar dari Kisah Cinta Bojes dan Lia

MAMUJU--Lia, yang mengamuk. Berontak saat kapal penumpang hendak berlayar meninggalkan pelabuhan di Kabupaten Majene beberapa hari yang lalu tak sayang untuk tak didalami. Saat Bojes, kekasih Lia akhirnya mengurungkan niatnya berlayar ke pulau seberang kala kerumunan warga hingga petugas keamanan tak mampu menenangkan Lia.
Belakangan mencuat informasi seputar Lia yang benar-benar tak setuju melepas kepergian Bojes. Padahal, niat sang kekasih untuk menyeberang sangat lah mulia; kendak mencari pekerjaan demi meminang sekaligus menghidupi Lia di kemudian hari.
Dukungan dari sejumlah lapisan masyarakat pun mengalir bak air bah. Satu per satu dari mereka menegaskan komitmennya untuk ikut membantu proses pernikahan Bojes dan Lia.
Ada yang berinisiatif menyumbangkan sekian rupiah, ada juga membantu Bojes dan Lia dalam bentuk ragam perlengkapan pernikahan. Dari tenda, make up, hiburan, hingga pernak pernik pernikahan lainnya. Bahkan ada yang menyebut, sudah ada jaminan pekerjaan buat Bojes pasca menikahi Lia.
Di mata Nur Salim Ismail, fenomena Bojes dan Lia serta efek sosial setelah aksi 'menahan' kapal laut tersebut tak boleh dilihat sebagai peristiwa biasa. Gerak sosial dari sekian banyak pihak pasca amukan Lia itu justru jadi alarm bersama.
(Foto/Istimewa)
"Ini merupakan kritik sosial terhadap kebiasaan yang selama ini kita sebut sebagai kebudayaan. Tentang betapa sulitnya seorang lak-laki untuk menikahi perempuan, biasa disebut berat di uang panaik," beber Nur Salim Ismail, Ketua Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LD NU) Sulawesi Barat itu.
People Power yang dalam terjemahan sederhananya adalah gebrakan publik, kata Nur Salim, adalah hal yang tak bisa dihindari. Terlebih di tengah kondisi sosial dimana tak jarang rencana pernikahan yang terpaksa harus gagal karena ketidakmampuan memenuhi tuntutan uang panaik atau kebutuhan pernikahan lainnya.
"Menurut saya, peran agama sangatlah penting. Untuk hal-hal seperti ini, agama mesti tampil secara progresif. Bukan permisif terhadap kebudayaan yang faktanya banyak jadi penyebab gagalnya ibadah pernikahan," ucap Nur Salim Ismail.
Sekali Lagi, Media Sosial Menujukkan Realitasnya
Bukan kali ini saja, gerak di media sosial memberi efek kejut yang sedemikian besarnya. Sudah ada sekian banyak peristiwa yang digerakkan sedemikian rupa oleh ruang media sosial. Sama halnya dengan fenomena Bojes dan Lia.
Menurut Shalahuddin, segala fasilitas dan kemudahan yang kini dapat dinikmati oleh Bojes dan Lia tak lepas dari begitu besarnya gerakan di media sosial. Sekali lagi, fenomena Bojes dan Lia membuktikan betapa otoritas netizen itu punya pengaruh yang cukup besar.
(Foto/Net)
"Media sosial itu jadi titik temu antara Bojes dan Lia dengan netizen. Buktinya, sampai saat ini sudah ada sekian banyak netizen yang bersiap memberi bantuan untuk kemudahan pernikahan mereka berdua," ucap Shalahuddin, pandu digital Komdigi.
Masih oleh Shalahuddin, fenomena Bojes dan Lia itu juga jadi penegasan tentang otoritas netizen di media sosial. Publik tak boleh lagi melihat ruang media sosial dengan kaca mata yang sederhana sebagai realitas sosial.
"Karena disana netizen dalam menunjukkan ekspresinya tanpa batas. Strata sosial kita disana sama dan terfasilitasi dengan daya dengung dan pengaruh masing-masing,' tutup Shalahuddin. (*/Naf)