Melecut Kesadaran tentang Kelestarian Lingkungan dan Perubahan Iklim

Laporan: Mimin
MAMUJU--"Kita tidak mewarisi bumi dan kekayaan alam ini dari nenek moyang tetapi sesungguhnya kita hanya meminjamnya dari anak cucu kita, jagalah agar kelak mereka juga bisa melihat hijaunya bumi pertiwi.".
Hal itu disampaikan Agus Mawan, jurnalis Mongabay dalam dialog yang diselenggarakan di Kantor Malaqbi Institute baru-baru ini. Sebuah kegiatan yang dihadiri oleh sejumlah mahasiswa yang tergabung dari berbagai Organisasi Kepemudaan (OKP) di Mamuju.
Kata dia, komitmen Indonesia dalam Kesepakatan Paris (2015) untuk menahan laju kenaikan suhu bumi pada 1,5 derajat celcius terbilang sudah baik. Bahkan telah meratifikasi kesepakatan itu ke dalam Undang-Undang 16/2016 dan mengadopsinya menjadi beberapa aturan turunan.
Tak sampai di situ, pada 2022, Indonesia sampai membentuk lembaga JETP untuk mempercepat transisi energi, termasuk pensiun dini PLTU. Transisi tersebut merupakan upaya mengurangi emisi. Meski, ada banyak kritik yang dialamatkan ke JETP.
Terlepas dari itu semua, Indonesia tetap menyimpan dua sisi wajah. Sisi satu tampak baik, memperlihatkan komitmen iklim negara ini pada komunitas dunia. Sementara di sisi yang lain, masih memberi kenyamanan pada industri ekstraktif.
Indonesia yang telah berkomitmen untuk mempensiunkan PLTU sambil mengusahakan bauran energi. Tetapi Indonesia membolehkan industri skala besar untuk membangun PLTU Captive.
Dalam catatanya, Agus Mawan menilai Presiden Prabowo memberi lampu hijau untuk deforestasi demi perluasan sawit. Dalam 100 hari kerja pertama Prabowo, muncul sebuah ucapan dari anak buah presiden yang mengisyaratkan niat Indonesia untuk keluar dari kesepakatan Paris, meniru kebijakan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump.
Belum lagi ungkapan Menteri Kehutanan yang ingin mengkonversi 20 juta hektare hutan Indonesia buat keperluan pangan hingga energi.
Agus Mawan mengatakan, perubahan iklim atau krisis iklim memberi dampak ke seisi planet bumi. Mengubah pola cuaca, kemarau dan hujan.
"Di pesisir, kita diperhadapkan dengan intrusi air laut dan banjir ROB, serta ancaman tenggelamnya pulau-pulau kecil seiring kenaikan permukaan laut. Di Sulbar, segala bencana iklim terjadi. Dari banjir di wilayah teresterial hingga di pesisir," kata dia.
Pemerintah mesti bersiap dengan hal-hal seperti itu. Segera menyusun program mitigasi dan rencana aksi adaptasi perubahan iklim, bukan dalam rangka menghindari dampak perubahan iklim, tetapi mengurangi kepaparan dan risiko.
Publik tentu saja boleh menginisiasi banyak hal. Misalnya menanam mangrove dengan metode yang benar atau mendorong pemerintah berbuat sesuatu. Kata mawan, Sulawesi Barat yang baru saja menuntaskan pemilihan kepala daerah perlu diingatkan tentang betapa pentingnya isu ini.
"Anak muda yang kelak hidup di planet ini, tentu harus menyadari peran mereka yang begitu besar. Dengan akses informasi yang begitu luas, anak muda semestinya lebih mudah terpapar dengan isu krisis iklim ini dan pada titik tertentu, meluncurkan serangkaian aksi atau tindakan yang berskala lokal," pungkas Agus Mawan. (*)