OPINI

Tentang Wisuda bagi Murid PAUD (atau Jenjang Dikdas dan Dikmen)

Wacana.info
Rendra Kusuma Wijaya. (Foto/Istimewa)

Oleh: Rendra Kusuma Wijaya, M.Pd (Dosen di FKIP Universitas Tomakaka, Fasilitator Sekolah Penggerak)


Sempat ramai di media sosial tentang perlu tidaknya penamatan ala wisuda digelar di jenjang pendidikan usia dini hingga dasar dan menengah (Dikda, Dikmen). Saya pun ingin membahasnya dalam dua latar belakang. 

Pertama, momennya tepat. Anak saya yang bungsu juga menamatkan pendidikannya di KBA IT Wildan. Yang kedua, karena saya adalah orang yang sehari-hari berkecimpung di dunia pendidikan. Ini semua murni pendapat saya tidak diendorse atau semacamnya. Tentu saja semua orang bebas berbeda atau sama dengan pendapat dengan saya. 

Lalu untuk memudahkan tulisan ini, saya akan menulisnya berdasarkan isu dan sudut pandang yang beredar di beberapa platform media sosial; netizen.

1. Kontennya, namanya, atau baju wisudanya (toga) ?.

Menurut saya, diantara ketiganya, yang paling esensi adalah konten kegiatannya. Jika mempermasalahkan wisuda TK hanya karena namanya wisuda, atau bajunya toga, maka sebenarnya itu hanyalah pernak-pernik acara. 

Yang harus ditelisik adalah isi acaranya. Menurut edaran Dirjen Paud No.219/C.C2.1/DU/2015, merujuk kepada Perpres No. 60/2013 tentang Pengembangan Anak Usia Dini, holistik integratif, termasuk Permendikbud No.137/2014 tentang Standar Pendidikan Anak Usia Dini dijelaskan di Poin 9 bahwa bentuk perpisahan bagi anak PAUD seyogyanya dimanfaatkan untuk menjalin komunikasi antara anak, orang tua, dan guru. Bukan layaknya wisuda yang membebani orang tua. 

Artinya terserah apa kostumnya, terserah apa nama kegiatannya, asalkan isi dari acara tersebut adalah silaturahmi menjalin komunikasi antara anak, guru, dan orang tua. Jadi mempersoalkan nama kegiatan dan kostum kegiatan bukan hal yang substantif dan esensial. Tentu hal yang sama akan berlaku pada wisuda siswa di level Dikdas dan Dikmen.

2. Wisuda sarjana akan kehilangan kesakralan karena peserta didik sudah terlalu sering ikut wisuda mengenakan toga di setiap jenjang pendidikannya.

Menurut saya, pendapat yang beredar tersebut tidak relevan dengan kejadian faktual di dunia nyata. Saya sering menyaksikan atau mengakses berita bahwa anak TK itu mengadakan pawai dengan berbagai kostum kebesaran setiap profesi dan adat yang ada. Bertahun-tahun saya menyaksikan itu dan bertahun-tahun juga saya melihat polisi, tentara, dokter, petani, pedagang, mekanik otomotif, pembalap, dan seterusnya. Nytanya, pemilik 'hak waris' ragam pakaian yang digunakan itu sama sekali tak kehilangan wibawa yang mereka miliki hanya karena anak TK mengenakan pakaian mereka. 

Anggota senat yang mengenakan toga pun tidak kehilangan kewibawaannya sebagai sebuah entitias terhormat di universitas hanya karena anak TK mengenakan pakaian mereka. Lalu bagaimana wisuda sarjana akan kehilangan kesakralannya hanya karena anak TK (atau siswa Dikdas dan Dikmen) mengenakan pakian wisuda mereka ?. Wisuda TK tidak akan sama sekali merusak wibawa dan kesakralan wisuda sarjana. Percayalah, wisuda sarjana dan wisuda magister itu beda rasanya, beda suasananya. 

3. Wisuda TK tidak ada manfaatnya dan memberatkan orang tua

Anak saya yang bungsu mengikuti penamatannya tanggal 18 Juni 2023 yang lalu di TK IT Wildan. Saya menyaksikan anak saya dan teman-temannya sangat antusias dan gembira sepanjang acara bahkan hingga setelahnya. Mereka bersemangat berlatih dan tampil di panggung dengan percaya diri. 

Untuk mendapatkan rasa percaya diri itu, saya tidak keberatan mengeluarkan sejumlah pengorbanan. Ada juga teman anak saya yang membacakan hafalan al-Quran di depan panggung penuh percaya diri dengan lancar sesuai lidah anak TK. 

Kami berharap acara penamatan ini akan berkesan untuk mereka sehingga mereka dapat termotivasi untuk mengenakan toga yang sebenarnya; toga sarjana, magister, doktor, bahkan toga senat universitas. Jadi acara wisuda atau penamatan akan selalu ada manfaatnya meskipun sekadar membangkitkan semangat percaya diri dan motivasi anak-anak untuk terus mengajar pendidikan hingga sarjana, magister, bahkan doktor.

Wisuda anak TK memberatkan orang tua ?. Tentu sebuah usaha memiliki beban pengorbanan tersendiri sebagaimana setiap zat pasti memiliki massa/berat. Berat pengorbanan itu dapat berupa biaya, waktu luang, atau tenaga ekstra yang orang tua keluarkan untuk acara penamatan ini. 

Apakah ini memberatkan orang tua ?, mungkin sebagian iya dan mungkin sebagian tidak. Tidak bisa di-'gebyah uyah', kata orang Jawa. Tidak bisa dipukul rata. Tetapi sebagai orang tua, kita harus sadar bahwa memang pendidikan anak itu memiliki berat pengorbanan tersendiri dan kita harus siap dengan itu. Jika kita merasa tidak dapat menanggung beratnya, maka dapat didiskusikan dengan pihak sekolah. 

Pun dengan pihak sekolah juga seharusnya tidak memaksakan kehendak bahwa semua siswa harus ikut penamatan dan tentu ikut menanggung berat pengorbanan yang timbul karena penghasilan ekonomi setiap orang tua tidak sama. Sangat tidak elok jika ada sekolah menahan ijazah siswanya hanya karena tidak ikut penamatan akibat tidak mampu menanggung berat pengorbanan acara itu. 

Ingat, acara penamatan hanya selebrasi dari akhir pendidikan di setiap jenjang. Ingat juga edaran Dirjen Paud No.219/C.C2.1/DU/2015 Poin 9 bahwa penyelenggaaraan penamantan tidak seyogyanya memberatkan orang tua. Solusinya, sederhanakan konten acaranya.

4. Wisuda TK pakai baju toga itu norak

Seorang oknum yang katanya kuliah S1 hingga S3 di luar negeri mengaku dirinya yang kuliah S1-S3 di luar negeri saja tidak mengenakan toga. Mengenakan toga untuk pelulusan anak TK itu norak, katanya. 

Bagi saya, yang justru norak adalah ketika seorang doktor tidak bisa membandingkan sesuatu dari sudut pandang yang sama. Rasanya mustahil bagi seorang doktor tidak mengetahui perbedaan latar belakang budaya, pemikiran, dan falsafah kehidupan sehari-hari antara dua negara yang tidak bertetangga, beda benua, beda garis lintang dan bujurnya, hingga beda keyakinan yang dianutnya. 

Apakah dia benar tidak tahu bagaimana sejarah baju toga hingga diadopsi di Indonesia dan tidak diadopsi di Negara tempat dia berkuliah dulu ?. Harus sama dulu dasar sudut pandangnya baru bisa membandingkan. Harus 'apple to apple', kata orang barat.

5. Acara penamatan adalah ajang bagi guru mencari cuan

Sebenarnya itu tidak benar. Dunia pendidikan memang dunia jasa. Guru perlu diupah agar guru dapat tetap bertahan hidup di dunia yang semakin tua ini. Kecuali guru boleh belanja gratis, bayar listrik gratis, bayar air gratis, dan seterusnya gratis, bolehlah guru mengajar gratis. 

Kembali ke penamatan. Menyelenggarakan penamatan butuh tenaga dan pikiran serta waktu dari guru-guru dan timnya. Di penamatan anak saya, saya melihat peserta penamatan dapat tampil dengan baik, duduk teratur padahal anak TK, berjalan dengan tertib naik ke panggung, terbayang tidak betapa keras usaha guru anak-anak ini melatih mereka ?.

Dekorasi di ruang penamatan sangat indah. Belum lagi urusan snack dan makan siang. Menghadirkan undangan, dan banyak lagi pekerjaan lainnya yang harus dikerjakan panitia. 

Saya pribadi merasa tidak masalah jika sebagian dari uang patungan untuk penyelengaraan penamatan anak saya dialokasikan untuk sedikit apresiasi berupa honor panitia. Saya tidak ingin hidup terlalu perhitungan dan pelit apalagi untuk kesan baik di kehidupan anak saya. Toh sampai saat ini belum ada guru bisa beli mobil karena korupsi dana penamatan.

6. Pentingnya aturan

Merujuk ke edaran Dirjen Paud di atas, sepertinya polemik ini sudah muncul sejak tahun 2015. Akan tetapi, aturan di edaran tersebut tidak secara tegas melarang atau secara tegas membolehkan. Ada peluang untuk melaksanakan atau tidak. Jika dilaksanakan, perjelas aturannya. Jika dilarang, pertegas larangannya. Kemudian segenap warga negara harus patuh terhadap keputusan pemerintah dan berhenti menjadikan acara penamatan wisuda TK sebagai polemik. 

Sekian dari saya, salam hormat...