Pemicu Potensi Konflik Sosial di Sulbar, Faktor Politik Salah Satunya

MAMUJU--Potensi konflik sosial yang semula hanya berwujud benturan budaya di masyarakat, bisa saja meluas sebagai dampak perkembangan global yang menuntut perubahan kultur masyarakat agraris, tradisional menjadi masyarakat industrialis. Globalisasi yang disertai digitalisasi teknologi informasi juga mempertajam kelas-kelas sosial di masyarakat yang memperkuat potensi muncul konflik sara, agraria, politik, dan lain-lain yang mengarah pada konflik sosial dalam skala besar.
Hal itu disampaikan Herdin Ismail di Rakor penanganan konflik sosial tahun 2023 yang diinisasi oleh Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Provinsi Sulawesi Barat di salah satu jotel di Mamuju, Rabu (14/06). Asisten I Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat itu menjelaskan, aktualisasi berbudaya suatu kelompok etnik, tak jarang dianggap menyalahi aturan atau bersinggungan dengan kelompok etnik lainnya.
Benturan-benturan antar budaya tersebut menyimpan potensi konflik sosial di masyarakat Indonesia, yang dapat mengganggu harmonisasi kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara yang pada gilirannya dapat menciptakan instabilitas wilayah bahkan negara.
"Secara umum, kultur masyarakat di Provinsi Sulawesi Barat yang berpotensi menimbulkan konflik sebagai dampak dari gesekan-gesekan di masyarakat di antaranya konflik berdasarkan budaya, konflik berdasarkan agama, konflik agraria, konflik hubungan industrial serta konflik politik," sebut Herdin yang pada kesempatan itu mewakili Pj Gubernur Sulawesi Barat, Zudan Arif Fakrulloh.
Asisten I Pemprov Sulbar, Herdin Ismail. (Foto/Istimewa)
Pemilu dan Pilkada serentak tahun 2024, masih Herdin, mesti mendapat atensi khusus dari semua pihak. Dalam hal ini bagaimana agar even nasional itu dapat berjalan sebagaimana mestinya di Sulawesi Barat, tanpa adanya konflik sosial di tengah masyarakat.
"Pemilu dan Pilkada serentak 2024 secara langsung diperkirakan juga akan menyerap energi politik masyarakat daerah, termasuk kelompok-kelompok kepentingan dan kelompok-kelompok politik di daerah," pungkas Herdin Ismail.
Di agenda yang sama, Kepala Badan Kesbangpol Provinsi Sulawesi Barat, Amri Ekasakti menguraikan, tim terpadu penanganan konflik sosial yang telah terbentuk di Sulawesi Barat idealnya menjadi wadah bersama bagi pihak terkait dalam hal maksimalisasi penanganan potensi konflik di masyarakat.
"Penanganan konflik sosial harus dilaksanakan secara sinergi, terpadu dan terkoordinasi dengan seluruh tingkatan pemerintahan. Baik itu di tingkat nasional, tingkat provinis, maupun tingkat kabupaten," ucap Amri.
Selain dipicu oleh faktor politik, faktor kebudayaan serta keyakinan juga jadi perhatian khusus dalam hal upaya penanganan konflik sosial di Provinsi Sulawesi Barat. Terlebih karena provinsi ke-33 ini dihuni oleh ragam etnis dan keyakinan yang dinilai menyimpan potensi terjadinya konflik di tengah masyarakat.
"Potensi konflik antar masyarakat yang didasari singgungan keyakinan perlu menjadi perhatian, karena akan dengan mudah menciptakan instabilitas. Konflik agama, baik antar sesama agama, maupun dengan agama lain," sambung Amri.
"Potensi konflik sosial yang dapat terjadi, apabila terdapat provokasi dari kelompok di masyarakat yang menginginkan terjadinya chaos dan mengambil keuntungan dari etnis akan sangat mungkin terjadi apabila tidak diantisipasi," tutup Amri Ekasakti.
Sekadar informasi, Rakor penanganan konflik sosial tahun 2023 hari itu juga dihadiri oleh perwakilan Korem 142/Tatag, perwakilan BIN Sulawesi Barat, serta dihadiri oleh tim terpadu terpadu penanganan konflik sosial Provinsi Sulawesi Barat. (ADV)