Pertahankan Lahan Gambut untuk Kelangsungan Ekosistem di Sekitarnya !

MAMUJU--Anggota Komisi IV DPR RI, Suhardi Duka meminta pemerintah Kabupaten Mamuju untuk memberi fokus perhatian pada potensi lahan gambut. Kata dia, Kecamatan Tommo jadi daerah yang memiliki lahan gambut paling besar ytang mesti diperhatikan eksistensinya.
Berbicara di forum sosialisasi pengendalian kerusakan lahan gambut yang digelar di d'Maleo Hotel Mamuju Senin (18/10), Suhardi Duka menjelaskan, gambut merupakan ekosistem dunia yang mesti dipertahankan. Membiarkan lahan gambut terus berkurang, sama halnya dengan mengaminkan terganggunya ekosistem yang ada di sekitarnya.
"Di masa depan, ekonomi dunia yakni ekonomi karbon. Nanti negara penghasil CO2 yang dihasilkan dari gambut akan dihargai. Kemarin, kalau tidak salah dari Norwegia memberikan nilai gambut kita (Indonesia) itu Rp 50 Triliun," ujar Suhardi Duka.
SDK, begitu ia akrab disapa, memprediksi jika suatu saat bakal ada negara yang memproduksi dan mengonsumsi karbon dioksida dari gambut. Untuk itu, mulai saat ini DPR dan KLHK mesti serius melihat peluang tersebut.
"Saya minta sepuluh kelompok yang bisa mengelola dan mempertahankan gambut di Mamuju. Satu kelompok dimodali Rp 60 Juta," ungkapnya.
Sementara itu, Bupati Mamuju, Sutinah Suhardi menganggap, keseriusan DPR RI dan KLHK mengelola gambut di Mamuju tentu berangkat dari realita bahwa Mamuju memiliki potensi tersebut.
Kelompok yang bakal bertugas melindungi dan mengelola gambut, kata Sutinah, harus diberi pemahaman terhadap perlindungan dan pemanfaatan ekosistem gambut yang memadai.
Kasubdit Perencanaan Pengendalian Kerusakan Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI, Huda Achsani, Suhardi Duka dan Bupati Mamuju, Sutinah Suhardi. (Foto/Diskominfosandi)
"Potensi besar ini tentu akan sangat bermanfaat menunjang kehidupan generasi saat ini maupun yang akan datang. Jika kita mampu melakukan pengelolaan ekosistem sebagaimana yang tertuang dalam peraturan pemerintah untuk skala kabupaten Mamuju, tentu luar biasa," sumbang Sutinah.
Menjaga ekosistem lahan gambut dapat menjadi sumber pendapatan bagi negara dan daerah. Pelestarian lahan gambut sekaligus jadi upaya nyata mengurangi resiko kerusakan gambut.
Pemerintah pun sedang menyiapkan skema jual beli karbon yang diharapkan bisa menurunkan emisi. Harapannya, dampak perubahan iklim bisa ditekan. Di sisi lain, Keuntungan dari jual beli karbon dari lahan gambut diprediksi mencapai Rp 70 Triliun, namun jika dipelihara dengan baik, potensinya bisa mencapai Rp 350 Triliun.
Kasubdit Perencanaan Pengendalian Kerusakan Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI, Huda Achsani mengungkapkan, Indonesia penyimpan karbon dioksida hingga 46 Giga Ton. Delapan hingga 14 Persen karbon dioksida tersebut berada di gambut.
"Di Sulbar,terdapat dua KHG (Kesatuan Hidrologis Gambut) seluas 42.476 Hektar atau 67,01 Persen. Yakni di KHG sungai Pasangkayu hingga sungai Bambalamotu seluas 28.340 Hektar dan sungai Salo Lariang hingga sungai Pasangkayu, seluas 14.136 hektar," kata Huda.
Fungsi lahan gambut seluas itu kemudian dibagi menjadi dua. Selain berfungsi sebagai fungsi lindung seluas 19.628 Hektar, lahan gambut pun punya fungsi budidaya, seluas 22.794 Hektar. Luasan tersebut sesuai dengan Keputusan Menteri LHK Nomor SK.130/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017 tentang Penetapan Peta Fungsi Ekosistem Gambut Nasional.
"Kerusakan ekosistem gambut dapat terjadi jika drainase pengelolaan buruk. Hal itu dapat mengakibatkan gambut menjadi kering sehingga terjadi kebakaran hutan dan lahan serta depresi lahan, akibat dari itu juga timbul banjir dan emisi karbon," sambung dia.
Ia mengaku, keberadaan gambut memiliki berbagai manfaat. Antara lain gambut bisa menyimpan 30 Persen karbon dunia, mencegah kekeringan dan mencegah pencampuran air asin di irigasi pertanian. Gambut juga menjadi rumah bagi satwa langka. (*/Naf)