Menjabat Lebih dari Setahun, Bukan Karteker Namanya

MAMUJU--Jadi sesuatu yang hampir pasti bagi pemerintah Provinsi Sulawesi Barat bakal dinahkodai oleh seorang karteker Gubernur. Itu setelah tuntasnya masa kepemimpinan Gubernur, Wakil Gubernur, Ali Baal dan Enny Anggraeni tahun 2020. Sementara desain pelaksanaan Pemilukada baru akan digelar secara serentak di pertengahan tahun 2024.
Jika seperti itu. Besar kemungkinan pelantikan Kepala Daerah terpilih hasil Pemilukada baru dapat dilaksanakan di Februari tahun 2025. Dengan kata lain, masa jabatan penjabat Gubernur di Sulawesi Barat bakal jauh lebih lama lagi.
Suhardi Duka, Anggota Komisi IV DPR RI menilai, penting bagi pemerintah pusat untuk lebih bijak dalam hal pengisian kekosongan jabatan Kepala Daerah. Kata dia, prinsip utama yang wajib untuk diperhatikan adalah kebijakan terkait karketer tak boleh menabrak konstitusi.
Dalam sebuah kesempatan berbincang dengan Suhardi Duka, ia mengurai, karteker sebaiknya tak menjabat lebih dari setahun. Lain cerita jika figur tertentu mesti menduduki jabatan itu lebih dari setahun.
"Sebab menjurut saya sudah melanggar konstitusi (jika karteker menjabat lebih dari setahun). Karena konstitusi kita mengatakan bahwa Kepala Daerah itu dipilih secara demokratis. Itu lah yang kemudian dijabarkan ke dalam Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah bahwa Kepala Daerah dipilih secara langsung," sebut Suhardi Duka, Selasa (19/10).
Jika hitungannya bakal menjabat selama lebih dari setahun, akan jauh lebih baik jika figur karketer itu dipilih oleh DPRD. Bagi Suhardi Duka, prinsip demokratis tetap terpenuhi jika opsi pemilihan penjabat Kepala Daerah diserahkan ke DPRD.
"Kalau Kepala Daerah dipilih oleh parlemen, itu menurut saya tidak melanggar Undang-Undang karena itu juga sifatnya demokratis," sambung Bupati Mamuju dua periode itu.
Bagi Ketua DPD Demokrat Sulawesi Barat itu, pengangkatan penjabat Kepala Daerah oleh pemerintah pusat sama sekali tak mencerminkan semangat demokratisasi dalam pemerintahan. Dengan kata lain, langkah itu jika diambil oleh pemerintah pusat bakal membuka celah konstitusi yang selama ini senanatiasa dirawat oleh seluruh komponen Bangsa.
"Itu tidak demokratis namanya (jika pemerintah pusat mengangkat penjabat Kepala Daerah). Kecuali kalau hitungannya bulan. Tapi kalau hitungannya tahun, sampai dua atau tiga tahun, itu bukan karteker namanya. Pemerintah pusat kalau mau, bisa saja dalam masa itu Kepala Daerah dipilih oleh DPR, sampai dengan tahun 2024. Sampai dengan dilantiknya Gubernur baru hasil pemilihan secara langsung. Karena konstisusi kita mengatakan seperti itu," urai pria yang akrab disapa SDK itu.
"Kalau tidak mau melanggar konstitusi, yah jangan dilakukan. Bagi saya, jalan terbaiknya adalah penjabat Kepala Daerah yang masa jabatannya lebih dari satu tahun itu baiknya dipilih oleh DPRD," sambung dia.
SDK juga menyinggung isu TNI/Polri yang diproyeksikan bakal mengisi beberapa jabatan Kepala Daerah di tahun 2022 nanti. Tak ada masalah, kata SDK, jika kekosongan jabatan Kepala Daerah itu diisi oleh figur dari TNI atau Polri.
"Pemerintahan ini kan sifatnya sipil. Apakah dilarang TNI/Polri bisa menjabat Kepala Daerah ?, bagi saya boleh saja. Tapi sipilkan dulu. Jangan TNI/Polri aktif yang menjadi Kepala Daerah. Jangan bikin kekecauan dalam konstitusi kita," pungkas Suhardi Duka. (Naf/A)