Naom Comsky dan Hegemoni Media

Wacana.info
Syarifuddin Mandegar

Oleh: Syarifuddin Mandegar (Pemerhati Sosial)

Beberapa hari yang lalu, saya membaca teori seorang tokoh Lingustik yang sangat terkenal dibelahan benua Amerika. Atas sumbangsinya di dunia Linguistik, Ia meraih gelar professor lewat salah satu teorinya yang paling terkenal tentang ‘tata bahasa generatif. Tokoh itu bernama “Avram Noam Chomsky”.

Tokoh linguistik ini dilahirkan di Philadelpia Amerika tanggal 17 Desember 1928. Dalam perjalanan hidupnya, ia orang Amerika yang paling benci terhadap Amerika dan dia pun sangan membenci Yahudi meskipun Yahudi adalah ideologi yang dia anut. Comsky dibesarkan dikelurga terdidik dan berkat pendidikan orang tuanya, kemudian ia tumbuh menjadi seorang tokoh tersohor di Amerika. Tak heran jika pada usianya 27 Tahun, dia telah memperoleh gelar Doktor di bidang Linguistik.

Tidak hanya sampai digelar doktor saja, di usianya yang masih terbilang muda,  dalam beberapa literasi  yang mengisahkan riwayat hidup Naom Comsky, ternyata ia tidak hanya tenar sebagai tokoh linguistik, namun Comsky juga adalah seorang aktivis politik dan ahli di bidang komunikasi yang sangat piawai. Ditengah kepiwaiaannya di bidang komunikasi, dia kemudian memfokuskan penelitiannya terhadap penindasan kaum kapitalis lewat hegemony media.

Lewat penelitiannya, Comsky kemudian menuliskan sebuah teori yang paling monumental, yakni “Manufacturing Consent”.

Teori ini mengupas tentang bagaimana merekayasa kesadaran masyarakat melalui instrumen media. Media adalah senjata paling ampuh dalam membentuk kesadaran untuk mengikuti keinginan para politisi dan para pengambil kebijakan meskipun kadang tidak berkesesuaian dengan kesadaran masyaerakat secara kodrati. Pengaruh kaum kapitalis dalam propaganda media, maka Manufacturing Consent yang sangat menumental itu berubah menjadi Manufacturing Content, yakni bagaimana merekayasa isi media demi mewujudkan kepentingan para penguasa.

Apa yang dicetuskan oleh Naom Comsky tentang rekayasa media berdasarkan kepentingan para penguasa bukan hal baru, namun kenyataan itu sedang tampak di depan mata kita, bahwa hampir seluruh aktivitas kehidupan kita sangat dipengaruhi hegemoni media. Mulai dari cara berpakaian, model rambut, hingga cara merekayasa wajah dan bentuk tubuh tidak terlepas dari pengaruh media. Dan yang sedang kita bicarakan sekarang adalah adalah bagaimana kepentingan politik para penguasa untuk merekayasa isi media untuk mempengaruhi masyarakat.

Menurut Comsky, media massa sekarang ini sedang dikuasai oleh dua kepentingan kelompok besar, satu kepentingan kelompok pemerintah, dua kepentingan kelompok big bisnis. Kedua kelompok besar itu senantiasa menggerogoti integritas dan independensi media massa. Jadi saat ini kita sedang terperangah melihat propaganda media di bawah kendali kedua kelompok besar itu.

Pemandangan itu memang cukup mencengangkan, namun ketika kita ingin menarik media keluar dari kendali kedua kelompok itu, secara tidak langsung kita membuat media kehilangan ruang materil. Dalam dunia bisnis, investor dikenal dengan pemilik modal dan media bertindak sebagai penyedia sumber daya. Artinya, kepentingan media juga adalah bisnis. Jadi antara media dengan investor (pemerintah dan the big bisnis) adalah saling membutuhkan. dari sini terlihat hubungan erat antara media dan kedua kelompok tersebut mengelaborasi kepentingan-kepentingannya kehadapan publik.

Mungkin para pemerhati media, kelompok intelek dan demikian juga saya sedang memikirkan bagaimana mengindependenkan media. Harapan seperti itu memang ideal, namun apakah pekerja media juga berpikiran sama dengan kita..? sementara problem terbesar media adalah tidak bisa lepas dari kepentingan bisnis. Media adalah salah satu jenis koorporasi dalam dunia literasi otomatis yang namanya koorporasi tentu saja menajemen pengelolaannya adalah menajemen bisnis.

Jadi memaksakan media untuk lepas dari kepentingan kelompok pemerintah dan the big bisnis sebagaimana harapan kita, tidaklah mustahil. Namun bukan hal yang mudah diwujudkan. Posisi dilematisnya adalah media memiliki senjata ampuh yakni undang-undang kebebasan pers dan pada saat yang  sama, masyarakat membenturkan media dengan nilai-nilai etik. Kedua hal itu berada pada kubangan ambigu.

Sehingga terkadang kita merasa setiap keputusan atau keyakinan yang kita ambil berdasarkan keputusan kita sendiri padahal keputusan atau keyakinan itu bersumber dari media yang kita baca. Karena itu kata Comsky, untuk mensiasati pengaruh media dalam membentuk opini kita maka kita perlu bersikap kiritis terhadap semua isi media yang disajikan kepada kita. Jadi apapun yang kita baca, kita tonton dan kita pandang tentang media, tergantung kualitas sikap kritis kita.

Sample terdekatnya adalah Pilkada DKI, sejak putaran pertama hingga putaran kedua, dimana siteru kedua kubu antara Ahok-Jarot versus Anies-Sandi sangat sengit. Saking sengitnya, hingga Pilkada yang sejatinya bernuansa demokratis, berubah wajah menjadi Pilkada nuansa Agama. Kisruh itu menyita perhatian tidak hanya masyarakat Jakarta, namun efeknya juga terasa hingga ke pelosok negeri katulistiwa ini.

Kisruh itu kemudian menjadi perbincangan monumenter disetiap tayangan stasiun TV Swasta,  seolah tidak ada lagi ruang yang tersisa untuk merefresh penatnya akal sehat karena setiap hari mengkonsumsi suguhan pertentangan kelompok pendukung kedua kontestan Pilkada itu yang dikemas dengan isu sara lewat slogan tolak pemimpin non muslim hingga pada akhirnya secara tidak sadar masyarakat terbelah menjadi faksi kafir dan non kafir.

Ironisnya, kalangan Ulama juga ikut dibuat gaduh. Tadinya, para Ulama itu tidak mesti diseret-seret ke depan layar kaca. namun demi melampiaskan hasrat Manufacturing Content, media pun menelanjangi etikanya lalu para ulama itu diadu domba. Dan dengan enteng dipenghujung acara, Host-nya berkata “kami hanya menyuguhkan, silahkan publik yang menilai” Mereka menebar penyakit kemudian menyuruh si sakit mengobati dirinya sendiri. lucunya, Komisi Penyiaaran Indonesia (KPI) seakan dibuat tak berdaya, sebab Lembaga Independen itu pun juga butuh media untuk aktualisasi.

itulah salah satu contoh bagaimana media bekerja dalam mempropaganda masyarakat. selebihnya mari menimbang apa yang kita tonton dan baca dengan akal sehat yang kritis. Bahwa kita tetap butuh media, bukan berarti semua informasinya ditelan mentah-mentah dan tidak punya daya analasis yang cerdas seperti Naom Comsky. Wassalam…(*)