Diam yang Bukan Emas
Oleh: Achmad Ervan Paturusi, S.TP., M.Si
Peribahasa silence is gold atau dalam bahasa Indonesia diam itu emas adalah ungkapan yang melukiskan bahwa diam lebih baik dari pada banyak bicara. Mungkin ungkapan ini dimaksudkan agar kita lebih mawas diri dalam berbicara. Lebih banyak berpikir dari pada banyak berbicara. Lebih banyak pertimbangan sebelum berbicara. Bahkan mungkin mendorong seseorang untuk lebih banyak bertindak dari pada berbicara.
Lebih jauh lagi, dewasa ini diam pun juga digolongkan oleh para ahli sebagai salah satu bentuk komunikasi non verbal. Sebuah komunikasi yang tidak saja bermakna negatif tapi bisa juga bermakna positif. Diam pun dari sudut pandang ilmu komunikasi bisa diartikan sebagai sebuah ekspresi jika seseorang pada tahap sedang melakukan komunikasi dengan dirinya sendiri (intrapersonal communication) . Pada tataran spritual, diam bisa menjadi sarana untuk berkontemplasi ataupun berzikir.
Namun demikian, ada beberapa kondisi yang tidak menginginkan kita untuk diam. Kondisi yang memerlukan kita untuk berbicara. Seperti dalam percakapan keseharian kita. Percakapan antar pribadi baik dalam lingkungan keluarga, lingkungan bertetangga, dan lingkungan kerja. Bahkan pada komunikasi yang melibatkan orang yang lebih banyak jumlahnya dan dalam lingkup yang lebih luas. Seperti komunikasi publik dan komunikasi massa.
Berbicara dengan jelas dan maknanya bisa ditangkap oleh lawan bicara sangat penting dalam berkomunikasi. Karena bisa terkait dengan nyawa dan keselamatan orang banyak.
Prof. Dr. Ibnu Hamad dalam tulisannya 'Komunikasi untuk Kehidupan' tentang kecelakaan pesawat Boeing 777 milik Asiana Airlines Korea Selatan yang jatuh di Bandara Internasional San Fransisco AS, Sabtu 6 Juli 2013. Pesawat dengan route Seoul-San Fransisco membawa 307 penumpang termasuk 16 awak kabin.
Ekor pesawat membentur landasan ketika mendarat. Pesawat terbakar, dua penumpang tewas, 181 luka ringan dan berat, sisanya selamat. Kecelakaan tersebut diakibatkan oleh kegagalan komunikasi antara dua Lee yang disebabkan kultur asia. Keengganan bertanya antar pilot junior terhadap pilot senior. Kedua Lee tidak berkomunikasi dengan baik karena faktor budaya senioritas.
Ilustrasi. (Foto/Net)
Demikian pula kecelakaan pesawat terbang Sukhoi Superjet 100 di Gunung Salak Jawa Barat pada tanggal 9 Mei 2012. Tragedi hilangnya pesawat Adam Air pada tanggal 1 Januari 2007 di Teluk Majene Sulawesi Barat. Tidak ada ditemukan korban hidup dari kedua kecelakaan pesawat tersebut. Terungkap bahwa kedua kecelakaan pesawat disebabkan oleh kegagalan komunikasi antara pilot dengan co-pilot dan/atau pilot dengan petugas menara kontrol.
Komunikasi yang baik sama pentingnya dengan alat-alat penerbangan yang canggih. Boleh dikatakan penerbangan adalah perjalanan dengan komunikasi. Sejak akan lepas landas hingga mendarat pilot senantiasa berkomunikasi dengan pengatur lalu lintas bandara terdekat dengan pesawat. Tanpa dan tidak boleh terputus.
Masih banyak lagi contoh-contoh kejadian yang begitu dekat dalam kehidupan sehari-hari kita . Keluarga yang berakhir dengan perceraian karena saling diam tanpa bicara untuk sekian lama. Manajemen yang buruk karena saluran komunikasi antara atasan dan bawahan yang buntu atau sengaja dibuntukan.
Pencaplokan ruang publik seperti lapangan atau taman bermain atau jalan di kompleks perumahan karena dijadikan garasi, kebun atau rumah yang perluas bangunannya. Orang merokok seenaknya di kawasan bebas asap rokok.
Sebuah penyimpangan yang berkembang menjadi gaya hidup segelintir orang dan akhirnya menjadi sebuah ideologi yang dipaksakan melalui media sosial dan film. Sekelompok kecil siswa bolos sekolah, merokok lalu minum minuman beralkohol dilanjutkan dengan tawuran. Kemampuan berbahasa asing kita yang tidak berkembang. Khususnya keterampilan berbicara kita.
Semua itu terjadi karena kita lebih memilih untuk diam daripada berbicara. Jadi, diam yang bukan lagi emas. (*)