Humaniora

Gelar Ulama; Dari Cermin ke Panggung

Wacana.info
Nur Salim Ismail. (Foto/Istimewa)

Oleh: Nur Salim Ismail (Wakil Pimpinan Pondok Pesantren Ihyaul Ulum DDI Baruga, Majene)


Dalam sejarah Islam, gelar-gelar keulamaan seperti ustadz, mubaligh, atau kiai, bukan sekadar panggilan kehormatan. Ia adalah cermin—penanda kedalaman ilmu, kematangan akhlak, dan tanggung jawab ruhani yang panjang. 

Namun hari ini, kita menyaksikan pergeseran makna yang mengusik: gelar itu perlahan berubah menjadi panggung. Dari ruang kontemplasi menuju ruang representasi. Dari amanah menuju performa.

Di tengah derasnya arus digital dan minat publik terhadap dakwah, muncul satu pertanyaan yang mendesak untuk kita renungkan bersama; siapa sejatinya yang layak disebut sebagai ustadz, kiai, atau bahkan ulama?. Apakah cukup dengan penampilan yang religius, kemampuan menyampaikan dalil, atau jumlah pengikut yang banyak?. Atau apakah sebenarnya ada ukuran-ukuran mendalam yang harus dipenuhi sebelum seseorang pantas menyandang identitas itu ?.

Realitas hari ini memperlihatkan sebuah kegandrungan baru; publik kian mudah melabeli seseorang dengan panggilan ustadz atau kiai, bahkan terkadang tanpa pernah tahu latar belakang pendidikan, integritas ilmiah, maupun kualitas spiritual yang dimiliki. Fenomena ini menjadikan identitas keagamaan seolah sebatas label performatif, bukan lagi amanah ilmiah yang sarat tanggung jawab.

Dalam tradisi keilmuan Islam klasik, gelar seperti ustadz dan kiai tidak muncul begitu saja. Ia lahir dari proses panjang pendidikan, pengabdian, dan pengakuan sosial. Seorang ustadz bukan sekadar penceramah, melainkan guru yang memahami substansi ilmu, mampu membaca kitab turats, menguasai perangkat ushul fiqh, memahami kaidah tafsir, dan mampu merespons problematika umat dengan kecermatan nalar dan keluasan hati.

Sementara itu, kiai bukan hanya simbol tradisional. Dalam konteks pesantren, kiai adalah murabbi—pendidik ruhani yang bukan hanya memberi ilmu, tetapi juga menjadi teladan kehidupan. Gelar 'kiai' biasanya tidak diperoleh melalui klaim diri, melainkan melalui pengakuan kolektif masyarakat yang menyaksikan keistiqamahan ilmu dan akhlaknya dalam jangka waktu yang panjang.

Namun dalam era digital hari ini, batas-batas itu menjadi kabur. Media sosial menciptakan ruang di mana siapa saja dapat tampil, bicara agama, dan membentuk audiens tanpa melalui proses legitimasi keilmuan. Popularitas sering kali menggantikan otoritas. Seorang influencer religi bisa menjadi panutan jutaan orang hanya karena gaya retorikanya menarik, tanpa ada jaminan bahwa apa yang ia sampaikan benar secara metodologis dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Tak mengherankan bila keresahan muncul dari banyak kalangan. Sebagian umat ingin mendengar nasihat agama yang membimbing, namun di sisi lain muncul ketakutan; apakah yang mereka simak benar-benar datang dari seseorang yang memiliki kapabilitas ?. Ataukah justru dari figur yang hanya mahir memainkan gestur religius dan narasi instan ?.

Keresahan ini juga diungkapkan oleh almarhum Anregurutta KH. Sanusi Baco, ulama karismatik dari Sulawesi Selatan. Beliau dengan sangat jernih mengatakan bahwa “Seorang Da’i yang kehabisan bahan ceramah lebih berbahaya daripada pasien yang kehabisan darah.” Ungkapan ini bukan sekadar peringatan atas kekeringan isi, tetapi juga kritik mendalam terhadap kurangnya referensi, kemiskinan bacaan, dan dangkalnya pemahaman yang bisa membahayakan umat.

Dari sinilah penting kiranya kita membedakan antara gelar simbolik dan gelar substantif. Yang pertama adalah apa yang tampak; panggilan yang diberikan karena tampilan, sorban, atau ketenaran. Yang kedua adalah kualitas yang tertanam; keluasan ilmu, kematangan rohani, dan tanggung jawab intelektual.

Di titik inilah tradisi keilmuan Islam memegang satu fondasi penting yang sering kali diabaikan dalam wacana keagamaan kontemporer; sanad. Dalam khazanah Islam, sanad bukan hanya urutan nama para guru dan perawi, tetapi merupakan peneguh spiritual sekaligus pengikat moral keilmuan. Ia menjamin bahwa ilmu yang disampaikan bukan hasil reka-reka pribadi, melainkan warisan yang otentik dari generasi ke generasi, bersambung hingga Rasulullah SAW.

Rasulullah bersabda: “Barang siapa mengatakan sesuatu dariku yang tidak aku katakan, maka hendaklah ia menyiapkan tempat duduknya di neraka.” (HR. al-Bukhari no. 109, dari Salamah bin al-Akwa‘). Hadis ini bukan hanya peringatan atas dusta lisan, tetapi juga teguran keras terhadap penyampaian agama tanpa legitimasi sumber.

Oleh karena itu, sanad bukan sekadar perangkat akademik, melainkan wujud tawadhu’ ilmiah. Ia menahan seseorang dari tergesa-gesa menyampaikan pendapat, apalagi membangun doktrin, tanpa pijakan pada mata rantai ilmu yang sah. Sebab jika agama dipelajari tanpa sanad, maka besar kemungkinan seseorang akan berbicara seputar Islam menurut selera pribadi, atas nama analisis, kebaruan wacana, atau bahkan narasi progresif yang sesungguhnya lepas dari akar.

Sanad adalah pengingat bahwa ilmu agama bukan produk kreativitas bebas, tetapi amanah yang menuntut kedisiplinan, kesabaran, dan ketundukan terhadap otoritas keilmuan yang sah. Maka seseorang tidak bisa serta-merta mengaku sebagai ustadz atau pembaru, jika ia tak memiliki jalur keilmuan yang jelas. Sebab yang dipertaruhkan bukan hanya kualitas argumen, tetapi juga kelestarian dan keotentikan risalah itu sendiri.

Kita juga perlu membedakan secara jernih antara da’i, mubaligh, ustadz, dan kiai. Seorang da’i adalah penyeru kebaikan. Ia bisa siapa saja, asal memiliki dasar keagamaan yang memadai dan tidak menyebarkan kesesatan. Mubaligh adalah penyampai pesan-pesan agama, biasanya lewat mimbar atau forum publik. Tapi tetap dibutuhkan akurasi dan adab dalam penyampaian.

Ustadz adalah guru—ia memiliki legitimasi keilmuan, biasanya melalui pendidikan formal atau jalur keilmuan pesantren yang mapan. Adapun kiai adalah puncak dari pengakuan sosial atas integritas ilmu, akhlak, dan kebermanfaatannya secara luas.

Sayangnya, di zaman simulakra ini, simbol-simbol itu makin mudah dipakai, meski substansinya belum dimiliki. Ini seperti memberi gelar insinyur kepada seseorang hanya karena ia memakai helm proyek dan membawa penggaris besar, tanpa pernah belajar teknik sipil. Atau menyebut seseorang dokter, hanya karena sering memberi saran kesehatan, tanpa pernah kuliah kedokteran.

Dalam menghadapi realitas ini, kita perlu melakukan dua hal; pertama, menahan diri untuk tidak gegabah memberi label keagamaan kepada orang lain. Kedua, menahan diri untuk tidak gegabah menyematkan label itu pada diri sendiri. Kita sedang menghadapi situasi di mana gelar bisa menjadi jebakan. Dan yang lebih berbahaya, umat bisa tertipu oleh penampilan, bukan oleh kedalaman.

Panggilan 'ustadz' atau 'kiai' seharusnya menjadi cermin, bukan panggung. Ia seharusnya menjadi ruang tanggung jawab, bukan alat ekspansi pengaruh. Sebab, jika gelar tidak lagi bersandar pada ilmu dan akhlak, maka yang tersisa hanyalah simulasi kealiman—ia tampak seperti ulama, tapi tidak menghadirkan pencerahan. Ia berbicara atas nama agama, tapi tidak mewakili cahaya agama.

Karenanya, yang mulia bukanlah yang dipanggil ustadz atau kiai. Tetapi yang hidup dalam kejujuran ilmu dan ketulusan akhlak, entah ada gelar atau tidak. Karena kemuliaan dalam Islam tidak lahir dari panggilan, melainkan dari kedalaman jiwa dan kebermanfaatan ilmu. (*)