May Day, Bukan Gaya-Gayaan

Oleh: Anhar (Direktur Eksekutif Pusat Studi Strategis Malaqbi)
'Tidak dibayarkannya upah buruh sesuai UMP, pertanda ketidakseriusan pemerintah dalam menangani problem pekerja'
Tidak berlebihan jika buruh atau pekerja disebut sebagai tulang punggung perekonomian bangsa. Sebab kaum pekerjalah yang memilin kapas hingga menjadi busana, mengolah batu dan pasir menjadi biji besi dan baja, menanam hingga memanen sawit, memeras tebu, merajut jala, menggerakkan lokomotif dan diesel demi peradaban manusia.
Akan tetapi, sejarah membuktikan atas semua jasa-jasanya itu justru kaum buruh harus menanggung beban penderitaan atas penindasan dan penghisapan oleh pemilik modal dan penguasa bangsanya sendiri.
Kita semua sudah biasa mendengar dan menyebut istilah kerja dan tenaga kerja. Kedua istilah ini telah mengisi perkembangan manusia dan kemajuan masyarakat. Mulanya manusia kerja berburu, kemudian dengan kerja bercocok tanam, kerja beternak hewan, serta meningkat dengan kerja dalam perkebunan, industri, perhotelan, pariwisata, perbankan dan perkantoran pemerintah.
Hasil kerja yang dicapai manusia, luar biasa. Kerja manusia telah menimbulkan kemajuan-kemajuan yang menakjubkan di bidang ilmu pengetahuan, teknik dan produksi serta layanan (jasa).
Sekarang sampailah kita pada masyarakat di mana sebagian besar menerima upah dan sebagian kecil mengupah.
Sehari-hari kita sudah terbiasa dengan istilah kerja, tapi jarang dikaitkan dengan tenaga kerja. Seakan-akan keduanya terpisah. Walaupun sering kita ucapkan dan dengar, tapi jarang dipilah dan dihubungkan kerja dengan tenaga kerja.
Dengan memahami dan menyadari hal ini, sangatlah layak dan sangat berhak bagi semua orang yang bekerja di seluruh dunia untuk menyatakan betapa hebatnya mereka karena melalui kerja yang sudah dihasilkannya, kemajuan masyarakat telah mereka penuhi. Ini berarti seluruh hasil yang dicapai masyarakat didasarkan atas kerja.
Secara umum problem yang dihadapi buruh hampir sama, masih sekitar persoalan upah, pelanggaran hak-hak normatif dan kurangnya kesempatan bagi buruh untuk berserikat (membentuk serikat buruh) yang independent.
Dalam situasi perburuhan yang saat ini belum mampu untuk mengartikulasikan problem-problem yang dihadapi, maka perlu adanya spirit perjuangan untuk mendorong kesedaran kritis bagi kaum buruh yang posisinya selalu ditindas.
Selain persoalan hak-hak normatif yang masih jadi hal yang sangat urgent untuk segera diselesaikan, sesungguhnya masih ada problem ekonomi politik yang juga menghantui buruh secara umum. Persoalan perlindungan kerja bagi buruh yang tertuang dalam UU ketenaga kerjaan Pasal 86 tentang keselamatan dan kesehatan kerja yang sampai saat ini belum di berlakukan maksimal oleh perusahaan-perusahaan, tentunya akan sangat menjadi presedent buruk bagi bangsa yang mengaku demokratis ini.
Namun dari beberapa kebijakan pemerintah baik pusat maupun daerah yang menyangkut persoalan perburuhan hingga saat ini masih tidak memihak terhadap buruh itu sendiri, penyelesaian perselisihan hubungan industrial dengan jalan forum penyelesaian antara buruh dengan pengusaha (dwi partit), dan apabila perselisihan belum selesai akan di lanjutkan dengan jalan forum penyelesaian antara buruh dengan pengusaha dan pemerintah sebagai pihak pengengah/penyelesaian masalah (tripartite).
Hal-hal yang di lakukan tidak pernah menguntungkan buruh sebagai komponen penting dalam perusahaan, belum lagi masih banyaknya ketiadaan serikat buruh yang bebas intervensi pihak pabrik/perusahaan sehingga serikat buruh yang seharusnya menjadi radikal konsentrasi yang mempunyai kekuatan hukum di mata UU bagi buruh dalam menyelesaikan setiap persoalan-persoalan perburuhan tidak dapat di andalkan dalam menyelesaikan problem- problem perburuhan.
Parahnya lagi, bahwa yang menyadari problem-problem perburuhan hanya sebagian kecil dari beberapa elemen buruh dan kalangan aktivis buruh. Dampaknya, tindakan-tindakan yang selama ini diambil kurang representatif. Ini terlihat dari beberapa buruh yang ternyata masih banyak yang tidak menyadari bahwa upah yang diterimanya itu masih di bawah standar pengupahan atau sangat rendah.
Standar pengupahan di Sulawesi Barat sesuai dengan regulasi yang ditetapkan meliputi Upah Minimum Provinsi (UMP) atau Upah Minimum Regional (UMR) dari tahun 2015 sebesar 1.655.500,- naik Rp 208.500 atau 12,6 Persen menjadi Rp 1.864.000 pada 2016. Tahun 2017 ini kembali ditetapkan menjadi Rp. 2.017.780,- atau naik 8,25 Persen. Nilai minimal itu yang harus dibayarkan oleh si pemberi kerja(perusahaan/kantor/pabrik) dan harus menjadi perjuangan kaum pekerja atau penerima upah.
Sayang, nilai tersebut hanya sebatss angka dan bilangan-bilangan yang membandingkan tahun pertahun. Sebab, itu semua belum dapat dirasakan oleh sejumlah besar pekerja. Momentum hari buruh atau May Day di Sulawesi Barat pun hanya menjadi seremonial bagi sejumlah aktivis buruh maupun aktivis kampus sebab tidak menyentuh langsung pada pokok persoalan yang dialami kaum pekerja.
Melakukan aksi gerakan ekstra parlemen, setelahnya lupa atau mungkin sekedar menampilkan bendera dan jejeran nama lembaga pada sebuah selebaran untuk sekedar diingat bahwa masih eksis.
Sebab bisa dipastikan, setelah May Day maka semua teriakan, semua seruan, selebaran dan yang menjadi perjuangan buruh praktis terlupakan.
Selain itu beberapa kegiatan pun dilakukan pemerintah, seperti dialog atau diskusi yang tak tak bermuara, serta jalan santai yang seolah mengaburkan kesadaran akan perjualan kelas buruh, karena jauh dari apa yang menjadi semangat perjuangan kelas buruh itu sendiri.
Jangankan memberi sanksi, pemerintah daerah bahkan tidak pernah mengekspos perusahaan yang selama ini tidak memberi upah layak bagi pekerja sesuai UMP. Hal tersebut penting sehingga bisa memberi pembelajaran bagi khalayak ramai tentang apa dan bagaiman pemberian upah yang sesuai regulasi yang ditetapkan hingga sanksi jika tidak merealisasikannya.
Meski ada dari sebagian mereka yang sadar, namun kesadaran mereka tidak pada suatu tindakan kritis yang diikuti dengan kerja-kerja konkret bagi penyelesaian problem yang ada. Padahal persoalan pengupahan juga di jamin oleh Undang-undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003, seperti yang tertuang dalam Pasal 90 dan 91, tanpa peduli atas nilai lebih yang dicuri.
Buruh harusnya ’melawan’ jika merasa tidak puas dengan gaji yang diterimanya karena tidak sesuai dan tidak mencapai UMP.
Perjuangan buruh adalah perjuangan bersama. Bukan milik para elit yang dibingkai dalam seremonial, atau sekedar slogan. Buruh adalah mereka yang bekerja dan menerima upah, dalam kelasnya melakukan kewajiban dan menuntut pemberikan hak yang kemudian diatur dan dijamin oleh Undang-Undang.
Buruh harus bergerak, berserikat untuk mendobrak dan memperjuangkan kelasnya dalam konteks ketertindasannya. Jika tidak, mungkin buruh sedang dibungkam dengan kesadaran semu yang susah untuk diartikan, karena takut atau ditakut-takuti. (*)