Mengembalikan Pelajaran Bahasa Daerah di SMP

Oleh: Rendra Kusuma Wijaya (Dosen di FKIP Universitas Tomakaka/Fasilitator Sekolah Penggerak III)
Kisaran tahun 1993 sampai tahun 2002, beruntung rasanya saya pernah mendapat pelajaran bahasa daerah Mamuju. Kala itu di SMP Negeri 2 Mamuju. Adalah Ibu Iriani Rasyid dan Bapak Lukman (semoga Allah Subhanahuwataala merahmati keduanya) sang pengampu mata pelajaran bahasa daerah Mamuju.
Bahasa daerah utama yang dipelajari waktu itu adalah bahasa Mamuju, meski untuk beberapa topik khusus juga menggunakan bahasa Mandar. Bahasa Mamuju sejatinya tidak memiliki aksara. Maka waktu itu digunakanlah aksara lontara Bugis sebagai simbol tulis. Sepengetahuan saya, lontara bugis pada dasarnya adalah aksara yang berasal dari lontara Makassar namun memiliki tiga huruf tambahan yaitu /nka/, /mpa/, dan /nca/.
Bagi saya, belajar bahasa daerah itu perlu dan penting. Sebab jadi hal yang menegaskan jati diri kita. Bahasa merupakan identitas suatu bangsa atau suku. Oleh karena itu, suatu bangsa atau suku dinamakan sesuai dengan nama bahasa yang digunakannya.
Indonesia memiliki banyak bahasa daerah yang tersebar di seluruh wilayah NKRI, itu lah jati diri Bangsa Indonesia. Kekayaan bahasanya adalah kebanggaan jati diri yang harus kita jaga dan pelihara sebagai generasi pewaris Negara ini. Maka ketika seorang pewaris sudah kehilangan apa yang diawarisi, maka sama saja dia sudah kehilangan identitasnya sebagai pewaris.
Bahasa akan punah bersama punahnya penuturnya. Sudah banyak bahasa yang punah di dunia ini meskipun bisa saja manusianya masih ada. Dalam sejarah ada beberapa bahasa yang hampir punah, misalnya bahasa Yuchi, bahasa yang dituturkan oleh penduduk Tennesse di Amerika Serikat bagian tenggara yang meyisakan sua atau tiga penutur saja. Bahasa Cheerokee, adalah bahasa yang dulu dituturkan luas di Carolina, sebuah negara bagian di Amerika Serikat yang kabarnya kini tinggal memiliki sekitar 22 Ribu penutur.
Bahasa Topoyo, adalah sebuah bahasa di Mamuju Tengah yang berbeda dengan Bahasa Mamuju. Kini penuturnya pun juga mulai berkurang meskipun keturunannya masih terjaga. Lebih jauh lagi, ada sekitar 20 bahasa yang dinayatakan punah begitu penutur terakhirnya meninggal dunia. Sebut saja bahasa Juwa di Brazil, bahasa Bering Aleut di Rusia, bahasa Ngandi di Australia utara, bahasa Ngaza di Tanzania, dan masih banyak lagi.
Bahasa-bahasa tersebut dinyatakan punah sekitar tahun 2018 hingga tahun 2022 lalu. Baru saja bukan ?.
Jika suatu bahasa masih memiliki banyak penutur dari generasi yang berbeda, mungkin bahasa tersebut masih akan bertahan hingga beberapa tahun mendatang. Namun jika anda adalah orang terakhir yang menuturkan bahasa anda, maka bahasa tersebut akan punah dalam beberapa tahun lagi; ketika anda wafat.
Kewajiban melestarikan bahasa ada di pundak pewaris bahasa itu sendiri, barulah kemudian menjadi tanggung jawab orang lain yang ada di sekitarnya. Dalam konteks bahasa Mamuju, semua orang Mamuju dapat dianggap bertanggung jawab atas punahnya bahasa Mamuju suatu saat kelak jika tidak lagi dituturkan di masyarakat.
Anda, wahai para pembaca yang bertanggung jawab, bukan sesiapa lagi. Tetapi anda.
Bayangkan, berapa banyak orang yang belajar bahasa Inggris padahal bahasa Inggris bukanlah bahasa mereka. Bukan identitas mereka. Bayangkan, berapa banyak orang yang belajar bahasa Korea hanya karena mereka suka kebudayaan pop Korea. Berapa yang hari ini getol belajar bahasa Mandarin hanya karena ingin kerja di perusahan Tiongkok dengan iming-iming gaji selangit.
Sangat disayangkan jika mereka belajar bahasa ini dan itu, sementara di saat yang bersamaan mereka lupa akan bahasa daerahnya sendiri, identitasnya sendiri. Beruntung karena bahasa Indonesia dilindungi dalam kurikulum sehingga segenap anak bangsa ini harus mempelajari bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Lantas, bagaimana dengan bahasa daerah yang tidak dimasukkan dalam kurikulum sekolah ?. Rasanya akan sulit bertahan, melawan dominasi bahasa Inggris, Korea, Jerman, dan lainnya. Padahal bahasa daerah adalah salah satu jati diri kita sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang kaya raya akan budaya dan juga bahasa.
Untuk hal ini, selain kesadaran individu, pemerintah perlu campur tangan. Pemerintah melalui dinas pendidikan dapat menerapkan kebijakan agar bahasa daerah diajarkan kembali di SMP atau SMA seperti pada kurun waktu 1993-2002 dulu.
Pelestarian yang terpenting adalah penuturan, bukan pendokumentasian bahasa. Bagaimana caranya supaya generasi muda dapat menuturkan bahasa tersebut sebagaimana adanya dalam kehidupan sehari-hari. Kebijakan ini mungkin tidak populer seperti kebijakan ekonomi dan pembangunan. Tetapi kebijakan ini akan sangat penting karena menyangkut identitas diri kita.
Kebijakan ini sangat mungkin untuk diadakan kembali dalam kurikulum sekolah kita. Apalagi dengan adanya kurikulum merdeka yang sudah dikenalkan pemerintah kepada beberapa sekolah belakangan ini dan akan diterapkan mulau tahun pelajaran 2023-2024 secara menyeluruh pada siswa baru.
Kurikulum Merdeka bersifat fleksibel pada setiap satuan pendidikan untuk merancang tujuan pendidikannya sesuai keadaan dan keunikan setiap satuan pendidikan. Artinya, setiap sekolah dapat saja menerapkan pelajaran bahasa daerah di sekolahnya tanpa melanggar aturan kurikulum nasional.
Bahkan kurikulum merdeka juga memberikan ruang pada pelestarian kearifan lokal untuk dilakukan setiap sekolah melalui Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5). Tetapi, apakah setiap sekolah harus sendiri-sendiri mengajarkan pelajaran ini di sekolahnya ?.
Pada dasarnya setiap sekolah bisa saja secara mandiri mengajarkan bahasa daerah di sekolahnya sesuai karakteristik kurikulum merdeka. Namun akan lebih baik jika pemerintah lewat dinas pendidikan memberikan regulasi dan panduan agar ada keseragaman di setiap sekolah menengah pertama, khususnya di Kabupaten Mamuju.
Keseragaman itu dapat berupa pembatasan hanya jenjang SMP saja yang mempelajari bahasa daerah. Penyusunan capaian pembelajaran bahasa daerah harus dilakukan oleh dinas pendidikan sehingga guru di sekolah dapat membuat tujuan pembelajaran dan alurnya sendiri.
Pelajaran bahasa daerah tersebut dimasukkan dalam pelajaran intrakurikuler atau diletakkan dalam pembelajaran projek harus diputuskan dinas pendidikan secara seragam. Jika ini dilakukan dalam beberapa tahun ke depan, Insya Allah, bahasa daerah akan terus memiliki penuturnya di masa-masa yang akan datang dan terhindar dari ancaman kepunahan bahasa.
Lalu, jika memang akan diajarkan, apakah semua jenjang pendidikan dasar dan menengah akan mendapat pelajaran bahasa daerah ?. Bagi saya, cukup sekolah menengah pertama saja yang belajar bahasa daerah supaya di sekolah dasar generasi muda kita belajar bahasa persatuan Indonesia dengan baik. Di sekolah menengah pertama generasi muda kita akan belajar bahasa asing sebagai keterampilan hidup.
Jika begini sudah sesuai dengan semboyan balai bahasa; 'Utamakan Bahasa Indonesia, Lestarikan Bahasa Daerah, dan Pelajari Bahasa Asing'. (*)