Integritas Pemuka Agama di Tahun Politik

Oleh: Nur Salim Ismail (Sekrrtaris FKUB Sulbar)
Pemilihan umum tahun 2024 cukup menyita perhatian bangsa Indonesia. Bukan hanya di kalangan para politisi. Tapi juga cukup hangat dalam perbincangan para pemuka agama. pandangan para pemuka agama tentu beragama dalam merespon dinamika politik yang terus
berlangsung.
Tapi ini bukan soal dukung mendukung. Juga bukan pada domain siapa yang pantas dan tidak pantas. Para pemuka agama sedang berpikir keras tentang upaya menjaga marwah dan kehormatan agar tetap berada pada posisi sebagai pengayom terhadap segenap pemangku kepentingan politik.
Tahun 2024 adalah masa pelaksanaan hajatan pemilihan umum legislatif, pemilihan presiden dan pemilihan kepala daerah. Ini benar-benar ujian yang tidak mudah untuk dilalui. Apa yang selama ini dibayangkan oleh para pemuka agama untuk menjadi pengayom bagi semua, tentu tidak sesederhana yang dibayangkan, di tengah hadirnya para pemuka agama yang telah terjun bebas dalam keberpihakan pilihan politik secara vulgar di hadapan publik. Mereka adalah teladan yang selama ini menjadi rujukan umat. Namun kali ini, para pemuka agama tersebut telah menunjukkan sikapnya yang cukup terbuka atas keberpihakannya terhadap politik.
Fenomena ini menjadi pertanda yang cukup serius dalam konteks mengayomi umat agar tidak terpolarisasi secara ekstrim antara satu dengan lainnya. Dalam konferensi nasional Forum Kerukunan Umat Beragama ke-VIII di Papua 23-26 Oktober 2023 lalu, terkuak dua kutub pandangan yang berbeda di kalangan pemuka agama.
Pertama, anggapan terhadap perlunya para pemuka agama memiliki tanggung jawab keumatan dalam dimensi pengambilan kebijakan politik. Pandangan ini bukan tak beralasan. Sebab ada kekuatiran tersendiri ketika mereka yang dipandang jernih dari pusaran pragmatism politik, cenderung melepas diri dari tanggung jawab kemaslatan umat lewat jalur politik. Konsekuensi dari poros pemikiran tersebut meniscayakan para pemuka agama memasuki ruang politik, menyuarakan kepentingan politik serta berpihak secara politik.
Kedua, juga tak dapat dipungkiri, pilihan menjaga jarak dari lingkaran politik praktis juga tidak selamanya terkonotasi sebagai pelarian dan sikap cari aman dari jebakan politik. Justru argumen mengayomi umat menjadi pijakan berpikir untuk tidak berada pada satu kutub keberpihakan politik. Pada poin ini, pemuka agama tampil bak orang tua yang sedang menyaksikan anaknya saling berebut kue, lalu bertindak sebagai penengah terhadap anak-anaknya.
Jika pandangan kedua menganut prinsip tidak elok menggiring agama ke dalam pusaran politik, sebaliknya pandangan sebelumnya beralasan bahwa agama harus menjadi bagian dari gerakan politik. Inilah, titik persinggungan satu isu yang kini dikenal sebagai politik identitas.
Tanpa harus jauh merangkai ulang terminologi politik identitas, hal terpenting untuk menjadi pertanyaan adalah, jika menggiring agama sebagai bagian dari setting politik, tidakkah ini dapat dikategorikan sebagai perilaku agen penjual ayat-ayat Ilahi?. Sebaliknya, jika prinsipnya bahwa agama tidak boleh dibawa ke dalam ranah politik, tidakkah ini akan menjadi problem keyakinan sekaligus moral sebagai umat beragama ?. Khususnya dalam Islam, sikap tidak membawa agama dalam politik, sama halnya dengan pembenaran bahwa ada dimensi kehidupan yang memposisikan agama sebagai objek terlarang untuk dilibatkan. Atau dengan kata lain ada ruang lepas kendali agama dalam kehidupan politik.
Padahal diketahui, kata Lukman Hakim Saifuddin (Menteri Agama RI 2014-2019), seluruh pergerakan manusia tidak lepas dari petunjuk-petunjuk agama. Lalu apa titik temu dari dua pandangan di atas ?. Inilah pentingnya memposisikan moderasi beragama dalam ranah kehidupan sebagai pilar penting menjaga dan merawat masa depan agama dan keberagamaan dalam konteks pemilu mendatang.
Dalam konsep Islam dikenal dua dimensi keberagamaan. Ada dimensi universal, ada pula dimensi elementer. Dapat juga diistilahkan dengan dimensi ushuliyah dan dimensi furuiyah. Dalam dimensi universal, ajaran agama manapun meyakini kebenarannya. Misalnya ajaran seputar keadilan, kejujuran dan kesetaraan, seluruhnya tidak ada satupun agama yang memungkirinya. Sementara hal-hal yang bersifat elementer/ furuiyah, sebaiknya tidak menjadi bagian dari narasi yang diperbincangkan dalam wilayah politik praktis.
Pada posisi inilah, ajaran agama yang dapat dituangkan dalam praktik politik adalah yang berkaitan dengan nilai-nilai universal. Bahkan ini menjadi tanggung jawab bersama untuk merawat masa depan kebangsaan yang berpijak pada nilai-nilai universal sesama penganut agama dan keyakinan.
Sebaliknya, jika menggunakan wilayah elementer agama sebagai bagian dari praktik berpolitik, di sinilah problem keberagamaan yang berpeluang menjadi pemicu disintegrasi sosial. Pemilahan ini juga sekaligus menjadi semacam tools praktis bagi para pemuka agama agar tak mudah terjebak dalam ruang-ruang politik yang terus bergerak cepat dalam segala dinamikanya.
Maka tetaplah berdiri tegak sebagai penjaga umat yang senyumnya memberikan keteduhan, diamnya sebagai teguran dan sikapnya sebagai teladan dalam kehidupan.
Abepura Jayapura, 27 Oktober 2023
Nur Salim Ismail,