Kebudayaan yang Tak Melulu Soal Pertunjukan Seni Semata

MAMUJU--"Nilai kebudayaan itu harus masuk ke dalam kurikulum pendidikan kita. Ia mesti diterjemahkan dalam kurikulum sebagai pendidikan karakter. Menurut saya, dimulai sejak usia dini. Ini penting, agar nilai budaya itu masuk ke dalam setiap sendi kehidupan masyarakat kita. Bagaimana agar pola hidup dengan segenap nilai budaya yang telah menjadi karakter hidup masyarakat membuat perkembangan teknologi itu mengikuti karakter masyarakatnya,".
Hal itu diterangkan pembina Gusdurian wilayah Sulawesi, Maluku dan Papua, Dr Syamsurijal Adhan dalam diskusi publik 'tafsir ulang budaya siriq di tengah masyarakat' belum lama ini. Kata dia, kebudayaan bergerak dengan begitu dinamisnya. Tak semata-mata diwariskan. Kata Syamsurijal, terus bergerak, dibaca dan dan ditulis kembali oleh setiap generasi.
"Dari kejala kebudayaan itu semua, apakah dari seluruh budaya yang bersifat dinamis itu tetap menuju kepada apa yang disebut dengan kehidupan sosial yang lebih memanusiakan ?. Kalau tidak, berarti harus dikoreksi," sambung Syamsurijal dalam diskusi yang diinisasi oleh Pitu Sinema dan WACANA.Info itu.
Jika tujuan utama dari kebudayaan adalah bagaimana menciptakan kehidupan sosial yang lebih memanusiakan, jalan terbaik untuk mewujudkannya adalah dengan memasukkan kebudayaan ke dalam sistem pendidikan. Menurut Syamsurijal, kurikulum pendidikan idealnya mengadopsi budaya serta segala kearifan lokal sebagai nafas utamanya.
Nilai budaya serta segala kearifan lokal yang berlaku di tengah masyarakat baiknya telah tertanam secara kuat sejak dini. Mulai menanamkan segala nilai kebudayaan dan kearifan lokal tersebut sejak sedini mungkin, kata Syamsurijal, akan memberi efek yang positif bagi perkembangan generasi. Ia akan menjadikan nilai budaya serta kearifan lokal itu sebagai nafas utama dalam setiap gerak dan langkahnya.
Ilustrasi. (Foto/Net)
"Tentang siriq misalnya yang menurut saya belum masuk secara baik ke dalam sistem pendidikan kita. Bagi saya, meski siriq mengalami pergeseran makna atau ditemukan ulang, ia mestinya lebih produktif menuju ke apa yang disebut kehidupan sosial yang lebih memanusiakan. Tentu dengan memanfaatkan berbagai jenis perkembangan teknologi saat ini. Ada banyak negara yang melakukan hal itu, Jepang misalnya. Termasuk Cina yang hari ini muncul sebagai salah satu negara super power, dimana mereka bergerak lebih maju dengan tidak tinggalkan kebudayaannya. Seharusnya kita bisa seperti itu. Nilai budaya kita mestinya dipadukan dengan proses perkembangan zaman, dijadikan sebagai etos, semangat kita untuk lebih berkembang bersama perkembangan zaman. Itu yang kita lupakan" beber Syamsurijal dalam diskusi yang digelar di Ngalo Rock cafe, Karema, Mamuju itu.
Melihat kebudayaan secara utuh, secara lebih mendalam, juga jadi hal yang juga menjadi catatan penting bagi Syamsurijal, Menurutnya, ada semacam kekeliruan saat sebagian orang hanya sekadar memahami kebudayaan sebatas apa yang ia lihat atau apa yang ia dengar. Padahal, kebudayaan berikut nilai luhur yang ada di dalamnya wajib hadir dalam setiap sendi kehidupan masyarakat.
"Sistem pendidikan kita tak menjadikan kebudayaan sebagai bagian penting, sistem pereknomian kita juga seperti melupakan akar kebudayaan, pun dengan sistem politik kita saat ini. Kita baru berbicara tentang kebudayaan kalau misalnya itu terkait dengan pertunjukan, tari-tarian atau hal yang bersifat fisik lainnya, musik dan sebagainya. Atau dijadikan daya tarik wisata dan seterusnya. Celakanya, kebudayaan saat ini sama sekali tidak dijadikan nilai hidup dalam setiap praktek kehidupan kita sehari-hari," pungkas Dr Syamsurijal Adhan.
Untuk informasi, duskusi publik 'tafsir ulang budaya siriq di tengah masyarakat' hari itu juga mendudukkan satu pembicara lainnya. Selain Dr Syamsurijal Adhan, dewan pembina lembaga Esensi Sulawesi Barat, Syarifuddin Mandegar juga jadi pembicara pada diskusi publik yang dihadiri oleh puluhan orang dari berbagai katar belakang tersebut. (*/Naf)