OPINI

Agama; Publik dan Privat

Wacana.info
Nur Salim Ismail. (Foto/Facebook)

Oleh: Nur Salim Ismail (Ketua Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama Sulbar)

Tahun ini, umat Islam akan menggelar Shalat Idul Fitri dalam dua gelombang. Ada yang menggelar pada hari Jumat, ada pula yang menunaikan pada hari Sabtu. Keduanya memiliki pendekatan yang berbeda antara Metode Hisab dan Metode Rukyatul Hilal. 

Tidak dipungkiri, perdebatan dan selisih pandangan itu akan tetap bermunculan dari berbagai sisi. Apalagi jika telah menjadi konsumsi segenap elemen masyarakat. Untuk itu, perlu ikhtiar bersama untuk menemukan sejumlah langkah penguatan ukhuwah Islamiyah sebagai pijakan penting, utamanya dalam momen-momen seperti saat sekarang ini. 

Pada dasarnya, penetapan 1 Syawal berada dalam wilayah Ijtihadiyah dengan dua metode mainstream, Rukyah dan Hisab. Sebagaimana kemungkinan menghasilkan perbedaan, namun jangan lupa, juga memungkinkan munculnya persamaan.

Maka dalam  menyikapi persoalan ini, agaknya diperlukan instrumen lain yang lebih sosiologis, agar tak lepas menjadi konsumsi debat kusir di kalangan awam. Kita memiliki sejumlah rekam jejak terkait rangkaian aktivitas beragama dalam dua domain besar. Yaitu privat dan publik. 

Pada domain privat, praktik beragama dilakukan dalam bentuk hubungan keintiman antara seorang hamba dengan Tuhan. Tidak melibatkan pihak selain keduanya. Shalat Tahajjud misalnya itu merupakan domain privat. Bahkan semakin rahasia ibadah Tahajjud seorang hamba maka akan semakin tinggi pula bobot ibadahnya. 

Sementara domain publik diasumsikan sebagai praktek beragama yang tidak murni hanya melibatkan seorang hamba dengan Tuhan. Tapi juga di dalamnya ada keterlibatan pihak lain, yang nantinya membutuhkan pengaturan lebih lanjut. 

Penentuan haji misalnya, pada awalnya hal tersebut menjadi urusan tiap-tiap hamba. Namun karena memiliki dimensi sosial terkait proses pemberangkatan, diplomasi antar negara, penetapan biaya perjalanan dan lain sebagainya, maka dibutuhkan pengaturan yang melibatkan pemerintah. 

Pada contoh yang lain, misalnya, tentang penentuan zakat fitrah, apakah menggunakan uang atau beras, hal tersebut masuk dalam wilayah kajian fiqhiyah yang mengandung ikhtilaf antara keduanya. Maka di sinilah pintu masuk pemerintah. Landasannya jelas, bahwa ini bukan semata hubungan personal antara hamba dengan Tuhan. Tapi di dalamnya juga melibatkan aspek lain, seperti: harga beras, klasifikasi jenis beras, otoritas amil dan lain sebagainya. 

Lalu bagaimana dengan pelaksanaan Idul Fitri yang kali ini akan terjadi dalam dua gelombang? Sekali lagi bukan pada ranah menegasikan salah satu dari dua metode antara rukyat dan hisab. 

Apa yang dihadapi saat ini secara objektif harus diakui akan mengundang kegelisahan besar di benak umat. Jika demikian, penting kiranya agar ke depan, perdebatan yang kian meruncing itu dapat menemukan titik landai ketika kita mengajukan kaidah: "Jika telah menjadi ketetapan pemerintah, hilanglah ikhtilaf didalamnya". 

Bagaimana memaknai kaidah di atas? Bahwa dalam etika keilmuan, semua pihak dapat menunjukkan eksistensi kepakarannya. Tapi di atas semua itu, para ilmuwan sejatinya disadarkan pada pijakan kemaslahatan. Titik temu kemaslahatan itu kita sebut dengan meminjam kosa kata al Quran: Kalimatun Sawa. Dalam konteks kebangsaan kita, berbeda boleh, tapi merawat titik temu jauh lebih penting. 

Wallahu a'lam