Waspada Potensi Distraksi Keuangan di Tahun Politik

MAMUJU--“Apalagi pemilu kita tahun depan itu setahun penuh diwarnai nuansa politik. Mulai dari Pemilihan Umum untuk jenjang legislatif dan Pemilihan Presiden. Kemudian ada juga Pemilihan Kepala Daerah baik tingkat provinsi maupun kabupaten. Artinya sepanjang tahun kita akan merasakan situasi politik yang cukup intens dan arah kebijakan semua jenjang pemerintahan harus diakui akan disedot kesana juga,”. Hal itu disampaikan Ketua DPRD Sulawesi Barat, Suraidah Suhardi usai menghadiri Musrenbang RKPD Tahun 2024 di Mamuju, Kamis (13/04).
Ditengah segenap upaya pemerintah Provinsi Sulawesi Barat dalam menyiapkan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) tahun 2024, semua pihak pun mesti bersiap untuk menghadapi peluang terjadinya distraksi keuangan daerah. Kata Suraidah, peluang pergeseran anggaran sangat terbuka lebar menuju sejumlah momentum politik yang akan dihelat di tahun 2024 mendatang.
Dari kohesi sosial hingga fluktuasi ekonomi yang menurut politisi cantik Partai Demokrat itu bisa jadi pemicunya.
Suraidah Suhardi saat Berbicara di Forum Musrenbang RKPD Tahun 2024. (Foto/Istimewa)
“Ini adalah momentum politik yang bergulir secara nasional. Artinya kondisi apapun bisa berubah tak terkecuali dengan keuangan bila terjadi situasi yang tidak stabil,” urai Suraidah.
Mantan Ketua DPRD Mamuju itu pun berharap, pemerintah provinsi maupun kabupaten untuk dapat bersiap diri dengan kondisi tersebut.
“Jaring pengaman mesti disiapkan. Jangan sampai karena momentum politik, malah arah kebijakan pemerintah juga teralihkan dan abai terhadap kebutuhan dasar masyarakat,” harapnya.
Suraidah menambahkan, salah satu potensi paling dekat di tahun Pemilu ini adalah kondisi eknomi yang cukup fluktuatif.
“Misalnya inflasi pada berbagai sektor penting untuk disiapkan. Jangan sampai pesta demokrasi menyisakan pesta kesedihan bagi rakyat. Padahal substansi Pemilu adalah kepastian politik, ekonomi, hukum dan sejumlah sektor dasar lainnya,” simpul Suraidah Suhardi.
Jangan Jatuh Miskin !
Gejolak ekonomi khususnya di tahun politik bukan tidak mungkin berakibat buruk pada upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat Sulawesi Barat. Apa yang disampaikan Suraidah Suhardi di atas punya nafas yang sama dengan statistisi ahli muda, BPS Sulawesi Barat, Pertiwi Tanihaha.
Dalam ulasannya beberapa waktu lalu, Pertiwi menguraikan, Berdasarkan data BPS, diperkirakan ada sekitar 165,72 ribu penduduk Sulawesi Barat terkategori miskin pada Maret 2022. Angka ini bertambah sekitar 13 ribuan penduduk dibandingkan kondisi pada bulan yang sama di tahun 2020.
Artinya meskipun ada indikasi perekonomian mulai berjalan normal namun pemulihan tersebut belum memberikan dampak positif pada masalah kemiskinan.
Lebih rinci, BPS memperkirakan jumlah penduduk miskin di perkotaan pada periode yang sama sebanyak 27,99 ribu jiwa atau turun sekitar 0,27 persen dibandingkan dengan kondisi september 2021 dan turun sebesar 3,68 persen dibandingkan bulan yang sama pada tahun 2020.
Pertiwi Tanihaha. (Foto/Istimewa)
Kemiskinan di perdesaan memiliki cerita yang berbeda, angkanya terus merangkak naik dari sekitar 120,34 ribu orang pada maret 2020 menjadi 137,73 ribu orang di bulan yang sama tahun 2022. Hal ini bisa menjadi indikasi bahwa pemulihan ekonomi yang dimaksud belum menjangkau kantong-kantong kemiskinan yang ada di wilayah perdesaan di Sulawesi Barat .
Bercermin dari data tersebut, Musrenbang RKPD Tahun 2024 harus jadi titik mula perencanaan kebijakan pembangunan daerah yang pro terhadap upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Termasuk di dalamnya mengantisipaso potensi gejolak perekonomian daerah khususnya di tahun politik menuju kontestasi elektoral tahun 2024.
Kemiskinan, kata Pertiwi Tanihaha, sejatinya perlu dilihat dari banyak dimensi. Setidaknya ada enam dimensi utama yang perlu mendapat perhatian dalam menangani isu kemiskinan, yakni ekonomi, kesehatan, pendidikan, sosal, lingkungan, dan keamanan.
Pemahaman tentang keenam permasalahan ini akan membuat kita mengerti profil mereka yang hidup berlabel miskin. Dengan pengetahuan itu, kita akan mampu menyusun kebijakan yang lebih baik dalam upaya pengentasan kemiskinan. Para pembuat kebijakan perlu melihat dimensi-dimensi ini dengan cara terintegrasi agar penanganan kemiskinan yang dilakukan dapat berdampak secara efektif pada pengurangan penduduk miskin.
"Penanganan masalah kemiskinan saat ini masih berjalan sendiri-sendiri, koordinasi masih menjadi sekedar formalitas semata. Akhirnya program pemerintah seperti tanpa mempertimbangkan keterkaitan antar aspek dan dimensi tersebut," begitu kata Pertiwi Tanihaha. (*/Naf)