Kita dan Bioetika
Oleh: Syarifuddin Mandegar (Pemerhati Sosial)
Istilah Bioetika mungkin tidak sepopuler ahok dan anis baswedan yang setiap hari mengisi kolom media, tidak hanya dibenak warga DKI, namum dibenak seluruh rakyat Indonesia, kedua sosok itu sangat akrab dibincangkan.
Populer atau tidak, bioetika bukanlah kontestan pilkada yang lagi ngetren dipentas demokrasi. Bioetika hanyalah istilah yang lahir dari rahim bahasa Yunani pada tahun 1960-an dan pada tahun 1970 pertama kali digunakan oleh seorang yang bernama Van R Potter yang dituliskan dalam salah satu bukunya “Bioethics : A Bridge To The Future” yang artinya Indonesia-nya kurang lebih seperti ini : sebuah jembatan untuk masa depan (lebih dan kurangnya arti itu mohon dimaafkan). Maklum bahasa asing saya masih mengeja.
Kendatipun saya belum pernah bertemu sosok Van R Potter dan saya yakin para pembaca pun belum pernah bertemu dengan beliau. Namun sejarah telah banyak menceritakan pemikiran Van R Potter tentang pengertian Bioetika. Selain Van R Potter, berbagai literatur lainnya bahkan kamus besar bahasa Indonesia pun sama-sama sepakat bahwa Bioetika secara etimologi berasal dari kata yunani yang terdiri dari dua suku kata yakni “bios (hidup) dan ethos (adat istiadat)”.
jika ditelisik secara harfiah maka Bioetika adalah etika hidup. Dalam pengertian yang lebih luas lagi, menurut William Chang, OFM Cap dalam bukunya tentang Bioetika Sebuah Pengantar dapat dipahami sebagai penerapan etika pada ilmu biologis, obat, pemeliharaan kesehatan. Penerapan Bioetika pada pada ragam pengetahuan dan perilaku kehidupan itu, tidak lain tujuannya untuk memperbaiki mutu atau kualitas hidup.
Dari pengertian ini, kita dapat menarik kesimpulan bahwa bioetika adalah ilmu terapan yang ketika seorang ilmuan biologis, pemberian obat oleh dokter pada yang sakit serta perilaku hidup sehat tidak didasari oleh etika hidup maka ilmuan bisa saja menggunakan ilmunya untuk membodohi orang bodoh, dokter akan berpotensi melakukan mallpraktek dan perilaku hidup sehat akan tergadai oleh penggunaan obat-obat terlarang yang merusak kehidupan para pecandunya.
Karena itulah kehadiran Bioetika dalam setiap dimensi kehidupan kita berfungsi sebagai alat bedah untuk mengkaji dan menganalisis data-data empirik perbuatan manusia, dimana peran Bioetika membedah keabsahan campur tangan manusia dalam setiap wujud perbuatan yang dihasilkan dari sikap kedirian kita, entah itu baik atau buruk.
Selain hal-hal yang bersifat empirik itu, Nilai tresenderntal manusia juga menjadi hal yang fundamental disorot Bioetika dalam hubungannya manusia dengan Sang Pencipta sebagai nilai mutlak. Nilai-nilai trasenden itu sendiri, dalam ilmu Bioetika, merupakan objek yang dikaji secara metodologis.
Secara metodologis, bioetika membantu para pakar medis dan mereka yang terjun dalam berbagai disipilin ilmu untuk menginjeksi nilai-nilai yang baik dan benar terhadap perilaku manusia dari tinjuan sosiologis, psikologis dan sejarah. Dalam konteks ini, meskipun dianggap berlebihan, penulis berkesimpulan bahwa Bioetika adalah ilmu hadap diri.
Perannya yang begitu vital ini, Bioetika membimbing kita untuk memahami diri kita, hidup dan matinya kita, bagaimana mengatasi penyakit yang bersemayam dalam diri kita, cara kita mendapatkan makanan dan minuman serta cara kita melawan badai budaya cepat saji yang sedang kita lakoni.
Corak kehidupan yang makin kompleks, membutuhkan sandaran yang menempatkan manusia sebagai makhluk beradab yang dengannya manusia mampu meningkatkan kualitas ikhtiarnya. Tidak hanya bermodalkan segudang pengetahuan serta strata akademik namun prestise-prestise itu sejatinya makin membuka lebar pintu-pintu bioetika untuk membimbinnya. Ibarat orang yang sedang kahausan maka secangkir air adalah sandaran untuk menghilangkan dahaganya. Seperti itulah bioetika bekerja. (*)










