Puasa; Belajar dari Sifat Ibu

Wacana.info
Ilustrasi. (Foto/Net)

Oleh: Abdul Muttalib (Pegiat Budaya)

Terbangun di malam yang suntuk. Dalam diam yang menusuk. Tersuruk ke sudut menunggu kantuk yang rewel. Ditemani televisi yang kian bawel. Televisi yang masih terlihat sibuk menggelar lomba bicara. 

Banyak menyajikan polemik berujung perdebatan yang tiada henti. Saling tuding. Saling huja. Lucunya mulai terasa lumrah ketika dikemas menjadi informasi yang seolah penting untuk dinikmati. 

Betapa telaten televisi dalam mangasuh, menyuapi, membentuk persepsi dan mengarahkan kesadaran penikmatnya. Mengajari cara protes, menyanggah, bahkan mendebati dengan ujaran yang lebih banyak membuat geleng-geleng kepala. 

Semuanya diarahkan untuk bicara. Semuanya dituntut berkomentar. Tapi malah alpa untuk menanamkan pembiasaan agar sekali waktu mengambil jarak untuk diam. Minimal tidak membuat riuh. Minimal tidak membuat bising. Minimal tidak memperkeruh keadaan. 

Mungkin diam tak lagi dianggap produktif. Sepi tak bermakna. Semua butuh terang. Tiada lagi yang butuh gelap. Tiada lagi yang patut jadi rahasia. Tiada lagi yang butuh misteri. Semuanya harus dibongkar. Semuanya harus dibagi. 

Seolah tidak ada perasaan yang patut dijaga. Maka, tidak heran jika tangis kesedihan dan tawa kebahagiaan, sama pentingnya dan diberi porsi untuk diabadikan secara ekslusif. 

Dikemas secara apik untuk dijadikan panduan pemanis sajian skandal yang kembali disulap menjadi informasi. Sayangnya, lagi-lagi terasa penting untuk dikunyah. 

Televisi memang sukses melahirkan para komentator handal, tapi meniadakan sosok pendengar yang mensifati ibu. Ibu yang lebih banyak diam sewaktu mendengarkan curahan hati anaknya. 

Ibu yang girang membuka ruang perenungan seraya menumbuhkan kemandirian berfikir dan bersikap. Kalaupun bicara, bahasanya pendek. Tetapi begitu santun menginterupsi kesadaran terdalam. 

"Jika menurutmu itu baik dan benar, ya lakukanlah nak. Ibu hanya bisa mendoakanmu." 

Ibu sangat paham, rumus diam di posisi tertentu itu baik. Dan bicara di momentum yang salah sudah pasti tidak benar. 

Jangan-jangan diam adalah strategi menunggu momentum. Mungkin diam adalah skenario bertahan. Tetapi bisa jadi, diam adalah bentuk penjernihan keadaan serupa kondisi Sitti Maryam A.S ketika diminta puasa bicara oleh Tuhan, kekasih hatinya. (*/Naf)