Asri Anas: Tenaga Kontrak Dilarang Mencalonkan Masih ‘Debatable’
MAMUJU--Anggota DPD RI asal Sulawesi Barat, Muhammad Asri Anas ikut mengomentari kebijakan pemerintah kabupaten Mamuju yang melarang tenaga kontrak untuk 'nyaleg'. Menurut Asri, jika Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 yang dijadikan rujukan, itu masih menyisakan ruang perdebatan yang panjang.
Dihubungi via sambungan telepon, Asri menjelaskan, KPU memang dengan tegas melarang ASN untuk mencalonkan pada momentum politik. Bercermin ke Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN, negara memang dengan jelas mengatur tentang ASN di Undang-Undang itu.
Misalnya, Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disingkat ASN adalah profesi bagi pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang bekerja pada instansi pemerintah. Kemudian Pegawai Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disebut Pegawai ASN adalah pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang diangkat oleh pejabat pembina kepegawaian dan diserahi tugas dalam suatu jabatan pemerintahan atau diserahi tugas negara lainnya dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Di Undang-Undang tersebut juga dengan jelas disebutkan bahwa Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat PNS adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, diangkat sebagai Pegawai ASN secara tetap oleh pejabat pembina kepegawaian untuk menduduki jabatan pemerintahan. Serta Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja yang selanjutnya disingkat PPPK adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, yang diangkat berdasarkan perjanjian kerja untuk jangka waktu tertentu dalam rangka melaksanakan tugas
pemerintahan.
Menurut Asri, adalah hal yang masih bisa didebat jika yang dimaksud pemerintah kabupaten Mamuju dalam kebijakannya di atas adalah tenaga kontrak itu sama dengan PPPK.
"Sebab dijelaskan di pasal 123 ayat 3, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 itu bahwa yang wajib mengundurkan diri jika mencalonkan diri sebagai anggota DPRD adalah pegawai ASN dan PNS. Tidak disebutkan tenaga kontrak, dan lain sebagainya di pasal itu," jelas Asri, Rabu (19/09).
Surat Edaran Tentang Larangan Bagi Tenaga Kontrak untuk Mencalonkan Diri. (Foto/Istimewa)
Yang juga dikatakan Asri, syarat pencalonan seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, di pasal 240 ayat 1 huruf k adalah mereka yang wajib mundur dari posisinya terkait niatan untuk mencalonkan diri adalah kepala daerah, wakil kepala daerah, aparatur sipil negara, anggota Tentara Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, direksi, komisaris, dewan pengawas dan karyrawan pada badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah, atau badan lain yang anggarannya bersumber
dari keuangan negara.
"Sekarang pertanyaannya, apakah tenaga kontrak bisa masuk ?. Kan prespektifnya begini, kalau itu memakai uang negara lewat gaji, kan anggota DPRD juga memakai uang negara untuk menggaji. Menurut saya tidak bisa itu dijadikan rujukan. Karena begini, itu masih bisa didebat. Sebab ada daerah yang melakukan itu, ada juga daerah yang tidak," sebut pria yang juga ketua DPW PAN Sulawesi Barat itu.
Dikatakan Asri, Partai Politik sesungguhnya bisa melakukan gugatan atas terbitnya aturan yang melarang tenaga kontrak untuk dicalonkan pada Pemilu 2019 mendatang. Kata Asri, dasarnya jelas, rujukan regulasinya tidak jelas.
"Sebenarnya kami pernah memperdebatkan hal ini. tetapi KPU tidak berani mengeluarkan larangan itu, karena landasan hukumnya tidak jelas," sambungnya.
Asri pun mengurai, kedudukan PPPK dengan tenaga kontrak kaitannya dalam pencalonan sebagai calon anggota legislatif itu merupakan dua hal yang sama sekali berbeda. Menurutnya, PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) itu memang tidak boleh mencalonkan. Sementara tenaga honorer dan tenaga kontrak atau tenaga sukarela itu tidak masuk di dalamnya, sebab tidak semua bisa disebut PPPK.
"Kalau PPPK itu memang harus mundur. Karena mereka memiliki durasi kerja. Dia sebenarnya satu level di bawah PNS, kan begitu. Menurut saya, kalau PPPK itu memang tidak boleh, sebab ia sudah menjadi ikatan dinas. Tapi kalau tenaga kontrak, atau tenaga honorer, atau tenaga suka rela, itu lain soal," pungkas Muhammad Asri Anas. (Naf/A)