‘Sitinaja’

Wacana.info
Suhardi Duka. (Foto/Manaf Harmay)

Oleh: Dr. H. Suhardi duka MM                                                                                            

Dalam putaran gravitas bumi yang menandai terbit dan terbenamnya matahari serta tumbuh dan gugurnya daun, manusia, burung dan bahkan ikan dilaut punya cerita masing masing. Bagi manusia  tidak satu dimensi yang mewarnai kehidupan itu, ada politik, ekonomi sosial dan bahkan romantika anak manusia di setiap petak-petak sejarah.

Perebutan tahta dan kekuasaan sering menjadi pusaran utama yang selalu mewarnai, karena tidak berdiri sendiri, dalam pusaran kekuasan pasti terbalut politik ekonomi dan bahkan cinta. Katakanlah seperti kisah Mahabarata antara Kurawa dan Pandawa dalam perang Baratha Yuda di Hastina Pura. Menjadi klosal karena memang ceritanya konflik.

Perang Baratha Yudha (Foto/Ilustrasi)

Ada kesetiaan, ada penghianatan, ada kelicikan, ada ketulusan ada pula kepongahan dan balas dendam ada juga penghormatan serta kesetiaan. Setiap perjalanan sejarah selalu ada kondisi yang tercipta seperti itu, dan bahkan sampai sekarangpun tidak luput di mata kita. 

Mengapa demikian karena manusia tidak pernah menjadi manusia budaya. Bahkan ia larut meninggalkan dirinya dan akar budayanya, menjelma menjadi yang mengabdi pada materi ataupun jabatan dan kekuasaan. Manusia meninggalkan jati dirinya sebagai mahluk yang mulia, penyayang yang sekaligus pembeda di antara mahluk yang ada di muka bumi ini.

Perang di Irak timur tengah, di Afri Barat, teroris, menjadi bukti bahwa nurani manusia semakin tipis dan menjauh dari lubuk hatinya.

Beda halnya dengan Romantika yang satu ini, 'Ashiqui' memberi pelajaran bahwa di dunia ini masih ada cinta dan ketulusan di tengah kemajuan dan pengaruh materi yang mendunia. Di sini juga menggugah hati kita akan sebuah pengorbanan dan kesadaran yang menyatu dengan cinta yang tulus, tanpa bumbu politik dan tipu muslihat. 'Hum tere bin abre nahin sakte...'(aku tampamu kini tak dapat hidup ), 'tere bina kya wajood mere...'(tanpamu apalah arti keberadaanku ). Dan lirik selanjutnya adalah 'bila kelak aku berpisah denganmu maka aku juga berpisah dari diriku...'. Sungguh suatu bait yang indah dan mendalam, dalam lagu 'Tum Hi Ho' yang menjadi sound track di film ini.

Film Ashiqui. (Foto/Net)

Sesungguhnya kultur asli masyarakat Mamuju itu adalah setia, lurus dan jujur tidak ada intrik dan politik kekuasaan. Yang ada adalah kesetaraan, kesesuaian, kecocokan. Atau biasa di sebut 'sitinaja'

Kultur masyarakat Mamuju terikat dengan ajaran agama, tidak memberikan amanah kepada seseorang yang tidak memiliki keahlian. 'U'de sitinaja', tidak sesuai tdak pas dengan demikian bisa sempit bisa longgar. Kalau itu yang terjadi maka tidak elok dan tidak akan mendapat pengakuan dan penghargaan dari masyarakat.

Satu lembaga yang tidak mendapat pengakuan publik maka juga tidak memiliki pengaruh maupun kewenangan walaupun lembaga itu formal. 

Ukuran dan indikator seseorang baik dan bisa menjadi panutan di masyarakat Mamuju, adalah satunya kata dengan perbuatan  'sitinaja kedona ampe buah loana'. Orang yang tidak sesuai bicara dan perbuatan akan menjadi badut yang tak berharga di mata publik Mamuju.

Masyarakat mamuju, itu juga lebih suka diam atau suka menelan walau pahit. Tapi diamnya tidak berarti tampa makna. 

Saya termasuk yang mendorong tumbuhnya kembali lembaga adat dan kerajaan di Mamuju, demi untuk bisa menjadi lembaga dan literasi pewarisan budaya daerah. Lembaga adat sejatinya merangkul semua nilai-nilai budaya daerah, bukan untuk menjadi pembeda antara raja dan rakyat karena saat ini tidak ada beda dalam sistim kewarganegaraan. Tidak ada warna darah, semuanya merah di depan hukum sama kedudukan Raja dan rakyat. Hukum tidak membedakan itu. Lembaga adat dibutuhkan untuk mengayomi yang lemah membela hak-hak rakyat dan adat.

Dengan demikian Raja menjadi sangat dihormati oleh warganya karena pembelaannya. Dan sosok H.Andi Maksum Dai, Maradika Mamuju telah mampu melakukannya selama ini denga baik, semoga saja putra mahkota dapat belajar dari parjalanan karakter Maradika saat ini. 

Hal yang juga sangat penting dalam memperingati HUT mamuju, persoalan kesejahtraan rakyat jangan menjadi lalai, kewajiban pemerintah untuk tetap fokus memperbaiki layanan tanpa diskriminasi, keluarga pejabat dan rakyat harus tetap sama dalam mendapatkan layanan kesehatan, pendidikan dan sosial ekonomi. Yang kedua, pembangunan ekonomi dan kesejahteraan yang terus dapat ditingkatkan dengan mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran. Kemudian stabilitas kehidupan sosial politik dapat terus terjaga dengan baik, utamanya dalam pemerataan pembangunan.

Pengukuhan Putra Mahkota Kerajaan Mamuju. (Foto/Humas)

Pemerintah jangan menghabiskan energi untuk hal hal yang tidak subtansi, yang tidak menyangkut hajat hidup orang banyak, jangan elitis dan mengabaikan control dan kritik. Pemerintah sesungguhnya tidak butuh pujian yang dibutuhkan adalah saran dan pertimbangan bahkan koreksi, untuk itu tidak menutup kanal untuk dapat menerima saran dan perbaikan, karena hal yang sedemikian itu bukti rasa sayang nya rakyat terhadap pemerintah ataupun pejabat itu sendiri.

Tulisan ini hanya sekedar coretan ringan dalam memperingati HUT Mamuju, mengingat saya tidak dapat hadir memenuhi undangan panitia, karena masih fokus pada kesibukan baru yang belum dapat saya lepas kepada orang lain.

Selamat HUT Mamuju yang ke 477. Sukses dan tetap jaya mamuju menuju 'Allo campalogana to Mamunyu'. (*/Naf)