Sorai Puan; Inisiasi untuk Ruang Aman dan Inklusif bagi Perempuan
Laporan: Dian Hardianti Lestari
MAMUJU--Kalangan Perempuan yang datang dari berbagai komunitas di Sulawesi Barat kini punya wadah ruang baru untuk menyuarakan kepentingannya. Dinamai Sorai Puan a.k.a Soeara untuk Ruang Aman dan Inklusif bagi Perempuan.
Lahir sebagai wadah kolaborasi untuk memperkuat ruang aman dan inklusif bagi perempuan, termasuk perempuan disabilitas. Inisiatif itu lahir di momentum hari anti kekerasan terhadap perempuan yang diperingati secara global mulai tanggal 25 November hingga 10 Desember.
Sorai Puan digagas sebagai ruang bagi komunitas perempuan, aktivis muda, pelajar, mahasiswa, dan jaringan difabel untuk saling mendengar, saling mendukung, dan bergerak bersama. Gerakan terseut juga jadi respon atas masih tingginya angka kekerasan terhadap perempuan serta masih minimnya akses layanan di daerah.
“Kami ingin ada ruang dimana perempuan tidak harus kuat setiap saat. Ruang yang menerima saat kita menangis, saat kita marah, dan ruang yang mendengar suara kita tanpa takut disalahkan.” ujar Rosida dari komunitas Manakarra book club.
Dari Cerita ke Gerakan
Sebagai langkah awal, Sorai Puan menggelar diskusi publik di puncak hari anti kekerasan terhadap perempuan. ‘Dari Cerita ke Gerakan – Perempuan Ciptakan Ruang Aman dan Inklusif’ jadi tema diskusi yang digelatr 8 Desember 2025 yang lalu.
Sebuah agenda yang terselenggara atas dukungan FAMM Indonesia melalui Yayasan Karampuang dan dukungan pusat rehabilitasi YAKKUM lewat Yayasan Gema Difabel Sulawesi Barat, serta dukungan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Mamuju.
Berdasarkan data SIMFONI-PPA, tercatat bahwa kekerasan paling banyak terjadi di rumah. Diikuti kekerasan di sekolah dan ruang publik. Jika melihat usia, data menunjukkan yang paling banyak mendapat kekerasan ialah remaja usia 13-17 tahun. Akses terhadap layanan pengaduan dan pendampingan masih terbatas, terutama bagi perempuan di desa dan perempuan disabilitas.
“Dari data ini, kita bisa melihat kondisi perempuan di Sulawesi Barat, bagaimana kerentanan anak, bahkan ditempat yang harusnya aman, yaitu rumah. Dan data yang ada ini masih kasus yang terlapor, kita belum bicara mengenai kasus-kasus yang tidak terlaporkan.” papar Dian Hardianti Lestari, pemantik diskusi dari yayasan Karampuang.
Di tengah ragam tantangan yang dihadapi perempuan, termasuk beban gender yang dilabelkan, perempuan masih mampu berdaya dan bergerak jika suaranya didengar dan didukung melalui gerakan kolektif. Diskusi hari itu bukan hanya tentang angka kekerasan, tapi bagaimana perempuan memulai langkah untuk berdaya dan bersuara.
Bagian paling menyentuh dari kegiatan tersebut datang di sesi perempuan bercerita. Sebuah ruang yang disiapkan untuk mendengar kisah langsung dari perempuan yang mengalami kekerasan atau ketidakadilan dalam berbagai bentuk.
Sesi ini menghadirkan lima perempuan dari latar belakang yang berbeda dengan masing-masing cerita yang mereka alami.
Mereka ialah Marhamah (relawan Merah Putih), Hasnaeni (sekolah perempuan Indonesia), Nopi (difabel preneur), Zahratun Nisa (pelajar), serta Isnawat (mahasiswa). Secara bergantian, mereka menceritakan pengalaman hingga bagaimana ia menerima diri dan bangkit untuk bergerak.
Ada yang bercerita tentang perundungan, ada yang berbagi pengalaman bangkit dari lingkungan yang tidak mendukung, juga ada teman difabel yang saat ini sudah memulai UMKM-nya
.
“Menurut saya perempuan hidup bukan hanya untuk menempati ruang, tapi kenapa tidak kita yang menciptakan ruang, dari situ saya mau bergerak, kita sebagai perempuan tidak hanya sekedar hadir tapi juga bisa berdaya. Akhirnya saya bersama adik-adik di kalukku mengumpulkan sumber daya, lahirlah Pustaka Merah Putih, Sanggar Merah Putih dan Relawan Merah Putih yang masih berjalan sampai saat ini,” terang Marhamah.
Langkah Awal dari Gerakan Panjang
Kegiatan tersebut ditutup dengan satu komitmen bersama untuk menghentikan kekerasan terhadap perempuan serta menciptakan ruang aman dan inklusif bagi perempuan di Sulawesi Barat. Salah satu komitmen itu datang dari Saada yang bersedia membantu kalangan perempuan yang ingin belajar bahasa isyarat. Hal ini kemudian menjadi catatan agenda Sorai Puan selanjutnya.
“Saya Saada. Saya berkomitmen membantu teman-teman belajar bahasa isyarat agar kita dapat berkomunikasi dengan nyaman," terang Maya Sarmila, juru bahasa isyarat menerjemahkan bahasa dari Saada.
Aprilya Sewang, dari forum Genre Sulawesi Barat juga menyampaikan harapannya agar kegitan dengan isu utama perempuan dapat tetap terlaksana. Tak hanya di momentum hari anti kekerasan terhadap perempuan saja.
“Kegiatan hari ini bisa membuka wawasan bagi perempuan, bagaimana cara menghadapi kekerasan terhadap perempuan, bagaimana menjadi orang yang bisa ditempati untuk bercerita. Harapan saya, kegiatan ini bisa diperluas lagi, bukan hanya pada peringatan 25 November saja, tapi bisa dilaksanakan kapanpun," harap Apriliya.
Setali tiga uang, Sarliana dari yayasan Gema Difabel menilai, kegiatan tersebut merupakan titik awal dari upaya mewujudkan ruang yang aman dan saling mendukung bagi perempuan.
“Kami berharap dan berusaha agar gerakan ini tidak berhenti di momen ini saja, tapi dapat terus tumbuh. Semoga Sorai Puan ini bisa menjadi ruang baru untuk kita sama-sama belajar, bersuara, dan bergerak demi terciptanya ruang aman dan inklusif di Sulawesi Barat.” terang Sarliana. (*/Naf)









