Mengajarkan Islam dengan Membaca Konteks

Oleh: Dr. Nur Salim Ismail, M.Si
Wakil Pimpinan Pondok Pesantren Ihyaul Ulum DDI Baruga, Majene
"Jangan sampaikan Islam dalam bahasa langit jika umat sedang bertanya dalam bahasa bumi".
Ungkapan ini bukan sekadar kiasan, melainkan renungan serius bagi siapa saja yang menjalankan misi dakwah. Dakwah yang ideal bukanlah dakwah yang menggugurkan kewajiban semata, tetapi dakwah yang menyentuh sisi paling dalam dari jiwa manusia, menghargai keberagaman sosial, dan menjawab kebutuhan aktual umat. Di sinilah urgensi pendekatan fiqih dakwah kontekstual menjadi relevan dan mendesak untuk diarusutamakan, terutama di tengah masyarakat Indonesia yang plural dalam budaya, ormas, dan tafsir keislaman.
Selama ini, kita masih menjumpai banyak praktik dakwah yang mengandalkan semangat, tetapi minim strategi. Sering kali kita menyampaikan kebenaran dengan cara yang tidak bijak, menggunakan diksi yang tidak ramah, atau membacakan teks tanpa membaca konteks. Padahal dakwah, sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an (An-Nahl: 125), diperintahkan untuk disampaikan 'bil hikmah wal mau’izhah al-hasanah'—dengan kebijaksanaan dan nasihat yang baik. Hikmah dalam ayat tersebut adalah penanda penting bahwa metode dan pendekatan dalam dakwah tidak bisa diabaikan.
Indonesia adalah negara dengan kekayaan budaya yang luar biasa. Bukan hanya secara geografis, tetapi juga dalam ekspresi keberagamaan umat Islam. Di satu daerah, dakwah dengan metode retoris-emosional bisa diterima, sementara di daerah lain, masyarakatnya lebih responsif terhadap pendekatan rasional dan dialogis. Di satu tempat, simbol-simbol tradisi lokal sangat kuat, sementara di tempat lain, warna Arabisme lebih menonjol. Realitas ini menuntut para mubaligh untuk tidak membawa semangat uniformitas, apalagi superioritas mazhab atau ormas, dalam berdakwah.
Namun kenyataannya, kita masih kerap menyaksikan ceramah yang bersifat 'monokultural', yaitu menyampaikan Islam dengan pendekatan tunggal dan seragam, seolah umat ini satu warna, satu cara pikir, dan satu tingkat pemahaman. Tidak jarang mubaligh menyampaikan istilah-istilah teknis dalam ilmu fikih atau tasawuf tanpa penjelasan memadai, atau bahkan memaksakan penyelesaian isu-isu khilafiyah di ruang publik yang justru memperkeruh suasana kebatinan umat.
Di sinilah muncul kegelisahan: mengapa kebenaran yang seharusnya menyatukan malah menimbulkan jarak ?. Jawabannya bukan pada isi Islam, melainkan pada cara Islam itu disampaikan. Kita mungkin benar dalam substansi, tetapi gagal dalam pendekatan. Kita fasih dalam dalil, tetapi lalai dalam dialog. Kita kuat dalam hujjah, tetapi lemah dalam empati.
Dalam sejarah kenabian, Rasulullah ﷺ telah memberi teladan luar biasa tentang kontekstualisasi dakwah. Di Makkah, dakwah beliau bersifat sabar, simbolik, dan spiritual. Fokusnya adalah membangun fondasi tauhid, menumbuhkan kesadaran ruhani, dan membentuk pribadi-pribadi tangguh. Ketika berada di Madinah, strategi dakwah beliau berubah menjadi lebih sistemik, politis, dan sosial. Rasul memimpin negara, mengatur pasar, menengahi konflik, dan membentuk konstitusi sosial lintas agama. Artinya, strategi dakwah berubah sesuai kondisi sosial masyarakat.
Contoh kecil namun bermakna: kepada masyarakat Badui yang kasar dan belum beradab, Rasulullah tidak menjawab dengan kemarahan, tetapi dengan kesabaran dan kelembutan. Dalam hadits disebutkan, pernah seorang Badui buang air kecil di masjid. Para sahabat naik pitam. Tapi Rasulullah berkata, 'Biarkan dia. Setelah itu, siram saja tempatnya dengan air'. Beginilah cara Rasul mendidik bukan hanya masyarakatnya, tetapi juga para da’i yang akan melanjutkan risalah.
Para Wali Songo di Nusantara adalah cerminan bagaimana fiqih dakwah berjalan beriringan dengan kearifan lokal. Sunan Kalijaga, misalnya, menggunakan wayang sebagai medium dakwah. Ia tidak menghapus budaya, tetapi menafsirkan ulang budaya agar menjadi jembatan menuju nilai-nilai tauhid. KH Ahmad Dahlan memperbaharui cara umat berislam dengan merintis pendidikan modern dan pelayanan sosial. KH Hasyim Asy’ari membangun sistem pesantren berbasis toleransi fikih, bahkan terhadap ormas lain yang memiliki manhaj berbeda.
Apa yang mereka lakukan sesungguhnya adalah praktik ijtihad budaya—sebuah keberanian untuk memahami Islam secara kontekstual tanpa harus kehilangan ruh dan prinsip ajarannya. Bukan berarti menyamakan semua agama, tetapi menyesuaikan pendekatan dengan medan dakwah. Di sinilah letak pentingnya maqashid dakwah: menjaga jiwa, akal, harta, agama, dan kehormatan manusia.
Membangun Peta Audiens
Dakwah yang baik memerlukan pemetaan audiens. Sebelum menyampaikan ceramah, seorang dai perlu menanyakan: siapa audiens saya ?. Apa masalah utama yang mereka hadapi ?. Bagaimana tingkat pemahaman agama mereka ?. Bahasa apa yang paling mereka pahami ?. Siapa tokoh yang mereka kagumi ?. Tanpa pemetaan ini, seorang dai hanya seperti menembakkan anak panah ke dalam kegelapan.
Dalam konteks masyarakat digital hari ini, mubaligh juga perlu memahami ekosistem informasi yang membentuk pola pikir umat. Dakwah tidak lagi cukup dari mimbar masjid. Generasi muda lebih banyak menyerap nilai dari media sosial, podcast, bahkan video singkat. Maka, dakwah pun harus menjangkau ruang-ruang baru ini dengan narasi yang bermakna, bukan ujaran yang menghakimi.
Merawat Kebijaksanaan Dakwah
Fiqih dakwah kontekstual tidak menghilangkan prinsip-prinsip Islam, tetapi justru menjadi jalan untuk menyampaikannya secara lebih tepat guna. Ia mengajarkan bahwa tidak semua kebenaran perlu disampaikan sekaligus. Ada ruang untuk proses, ada tahapan dalam perubahan. Fiqih ini juga menekankan pentingnya ta’anni (tidak tergesa-gesa) dan tadarruj (bertahap), sebagaimana Allah menurunkan wahyu selama 23 tahun, bukan dalam satu malam.
Sebagaimana kata-kata bijak dari para ulama: "Berfikirlah seperti ulama, berbicaralah seperti sahabat, dan bertindaklah seperti kekasih." Inilah trilogi dakwah kontekstual. Mubaligh masa kini haruslah seorang yang tajam berpikir, lembut berbicara, dan penuh cinta dalam bertindak.
Tugas kita hari ini bukan hanya menyampaikan Islam, tetapi menghadirkan Islam yang hidup dan relevan bagi manusia modern. Kita tidak hanya butuh dai yang fasih dalam retorika, tetapi juga empatik dalam menyentuh hati. Kita tidak cukup hanya menghafal dalil, tetapi harus bisa membaca realitas sosial. Kita perlu dai yang menjadi jembatan, bukan tembok; yang memeluk, bukan memukul.
Dakwah bukan tentang siapa yang paling benar, tetapi siapa yang paling mampu menyampaikan kebenaran dengan cara yang bijaksana. Fiqih dakwah kontekstual bukanlah kompromi terhadap prinsip, melainkan strategi luhur agar Islam sampai ke hati manusia, bukan hanya ke telinga mereka. (*)