Edukasi Politik; Jangan Cuma Dibincang di Momentum Pemilihan Saja

MAMUJU--Di Pemilihan serentak tahun 2024, Sulawesi Barat masuk dalam daerah dengan tingkat kerawanan tinggi untuk tahapan dan dimensi kampanye. Sulawesi Barat masuk dalam daftar 10 besar provinsi di Indonesia yang terkategori merah untuk tahapan dan dimensi kampanye pada Pemilihhan serentak tahun ini.
Ada empat indikator yang jadi penilaian utama pada tahapan dan dimensi kampanye ini. Pertama materi kampanye yang mengandung SARA, fitnah, hoaks, hasutan dan adu domba dengan skor 4.56, dugaan praktik politik uang (4.37), penggunaan fasilitas negara yang digunakan untuk kampanye di tingkat provinsi dan Kab/Kota dan pelibatan aparatur pemerintah dalam kegiatan kampanye di tingkat provinsi dan Kab/Kota yang sama-sama memperoleh skor 3.99.
Masa kampanye memang selalu jadi fase dimana sejumlah kerawanan itu punya potensi yang tinggi. Kata Syarifuddin Mandegar, semua pihak tak boleh tutup mata atas ragam kerawanan di atas. Bukan sekadar memberi beban tanggung jawab itu kepada KPU dan Bawaslu saja.
Syarifuddin Mandegar, dewan pembina lembaga Esensi Sulawesi Barat itu menilai, masih tingginya tingkat kerawanan pada tahapan dan dimensi kampanye di Sulawesi Barat itu juga dipengaruhi minimnya edukasi politik kepada masyarakat. Edukasi politik idealnya terus dilakukan secara berkelanjutan, bukan hanya dibincang pada saat momen-momen pemilihan saja.
(Sumber/Bawaslu Sulbar)
"Nah, yang terjadi sekarang kan kita hanya membicang tentang strategi edukasi politik ke masyarakat hanya pada saat mau Pemilu atau Pilkada saja. Bagi saya, proses pendidikan politik itu mesti dilakukan secara terus menerus. Bahkan setelah Pemilu dan Pilkada. Bagi saya, ini yang belum kita lakukan," ujar Syarifuddin Mandegar dalam sebuah diskusi di Ngalo Rock Coffee, Karema, Mamuj, Senin (16/09).
Kampanye yang mengandung SARA, fitnah, hoaks, hasutan dan adu domba jadi indikator dengan skor yang paling tinggi. Di mata Syarifuddin Mandegar, potensi memainkan cara kotor itu sudah mulai terlihat, khususnya di ruang-ruang media sosial.
Selain menuntut tanggung jawab KPU dan Bawaslu, Syarifuddin menilai, ada dua pihak yang tak boleh lepas dari tanggung jawab dalam memberikan pendidikan politik kepada masyarakat. Partai politik, dan civil society.
Syarifuddin Mandegar, mantan aktivis HMI itu menjelaskan, partai politik tak boleh lepas tangan setelah ia tuntas dengan seabrek syarat administrasi pada saat mengusung satu pasangan calon tertentu. Justru karena partai politik yang mengusung pasangan calon, ia hendaknya bertanggung jawab atas apa dan bagimana edukasi politik itu berjalan ideal.
(Sumber/Bawaslu Sulbar)
"Setidaknya mengedukasi internal partainya dulu. Bagi saya, Parpol punya tanggung jawab itu. Bagaimana ia memberi pembelajaran poilitik kepada masyarakat, mensosialisasikan pasangan calon yang dia usung dengan cara-cara yang beradab. Bukan justru ikut serta dalam memproduksi SARA, fitnah, hoaks, hasutan dan adu domba," beber dia.
Hal yang sama juga berlaku bagi civil society. Peneliti ahli pertama Bapperida Sulawesi Barat menjelaskan, masyarakat sipil sebagai objek utama dalam satu proses demokrasi harus memiliki rasa tanggung jawab dalam setiap pilihan politiknya.
"Kan masyarakat yang akan menyalurkan hak politiknya di TPS. Makanya civil society punya peran penting dalam menciptakan proses demokrasi yang sehat. Sebagai pemegang hak atas terpilihnya kepala daerah, kelompok masyarakat wajib menerjemahkan tanggung jawab itu dengan cara-cara yang baik. Bukan justru ikut serta larut dalam berbagai macam cara terlarang dalam proses pemilihan," simpul Syarifuddin Mandegar. (*/Naf)