Inspirasi

Handriani, Srikandi Pendidikan Desa Aralle Timur

Wacana.info
Kepala Sekolah SMPN 6 Buntu Malangka, Handriani. (Foto/Istimewa)

Laporan: Rendra Kusuma Wijaya (Dosen di FKIP Universitas Tomakaka, Fasilitator Sekolah Penggerak III)

Namanya Handriani. Seorang guru yang tinggal di Dusun Kalabatu, Desa Aralle TImur, Kecamatan Buntu Malangkayang, Mamasa. Guru yang memendam kegelisahan luar biasa melihat anak-anak di desanya cenderung tak kuasa melanjutkan pendidikannya ke SMP selepas mereka lulus SD. 

Dari dusun terdalam Desa Aralle Timur, untuk keluar ke ibu kota Kecamatan Aralle memakan waktu tempuh yang cukup jauh, terlebih jika ditempuh dengan berjalan kaki. Mengendarai motor ?, mayoritas dari warga tak punya sepeda motor. Apalagi jika hendak ke kota Kecamatan Buntu Malangka yang justru sangat lebih jauh lagi. 

Salah satu alternatif terdekat jika ingin bersekolah ke SMP adalah di SMPN 2 Buntu Malangka di Desa Salutambun, Kecamatan Buntu Malangka.
Jika ingin bersekolah di sana, siswa dari desa Aralle Timur ini pun mesti berjalan kaki melalui jalan pintas, satu jam lamanya. 

Pun demikian bagi Handriani. Selama ia bertugas di SMPN 2 Buntu Malangka, ia berjalan kaki melalui jalan pintas untuk tiba di SMP tersebut. Jalur yang lebih cepat dibanding mengendarai sepeda motor melewati jalan poros. Letak geografis Aralle TImur memang lebih dekat ke Kecamatan Aralle, meskipun Aralle Timur adalah wilayah kecamatan Buntu Malangka. 

Kondisi ini memaksa banyak anak usia sekolah tidak melanjutkan sekolahnya ke jenjang SMP. Inilah yang menjadi kegelisahan seorang Handriani.

Medio 2016 silam, Handriani diangkat menjadi kepala sekolah SMPN 2 Buntumalangka. Dengan wewenang yang ia miliki, perempuan murah senyum itu memutuskan untuk membentuk kelas jauh dari SMPN 2 Buntu Malangka di Aralle Timur. Harapannya, program itu dapat mengurangi jumlah anak putus sekolah. 

Sebuah ide yang direspon baik perangkat desa, Maka dibangunlah kelas jauh dari SMPN 2 Buntu Malangka di Dusun Kalabatu, Desa Aralle TImur. Lokasinya persis di wilayah kantor Desa Aralle Timur sesuai kesepakatan dan dukungan dari kepala desa. 

Kelas jauh itu meminjam gedung serbaguna milik pemerintah desa yang dinamai BPM (Balai Pertemuan Masyarakat). Gebrakan Handriani ini membawa sedikit angin segar bagi siswa yang terancam tak mampu melanjutkan sekolah. Siswa dari Desa Aralle Timur menjadi banyak yang melanjutkan pendidikan SMP tanpa harus berjalan kaki lebih jauh ke Salutambun di mana SMPN 2 Buntu Malangka terletak.
 
Melihat perkembangan kelas jauh itu, seluruh pemangku kebijakan di Aralle Timur merasa sudah tak relevan lagi bagi kebutuhan pendidikan menengah pertama di desa itu. Handriani dan seluruh pemangku kebijakan mulai mengupayakan supaya kelas jauh tersebut dapat menjadi bibit yang dapat bersemi menumbuhkan tunas mandiri sebuah SMP Negeri. 

RKB SMPN 6 buntu Malangka. (Foto/Rendra Kusuma Wijaya)

Alhasil, upaya mereka tidak sia-sia. Pada tahun 2020, rekomendasi pemisahan kelas jauh ini untuk menjadi satuan pendidikan mandiri pun terbit. Di tengah belenggu Covid-19 yang sedang merajalela, Handriani beserta guru-guru, dan pemangku kebijakan desa berhasil mendapatkan ijin operasional dan akta pendirian sekolah secara bersamaan. 

Mulai dari situ kelas jauh itu pun berubah menjadi satuan pendidikan mandiri dan diberi nama SMPN 6 Buntu Malangka dan Handriani sendiri diangkat pemerintah setempat untuk menjadi kepala sekolahnya.
 
Sekilas, perjuangan Handriani dan guru-guru lainnya terasa sangat epik dan cukup mudah. Sebenarnya tidak. Apa yang dilalui Handriani itu sungguh sangat berat berikut dengan berbagai tantangannya. Ketika kelas jauh yang dirintisnya secara mandiri, otomatis tidak ada lagi aliran dana operasional dari SMPN 2 Buntu Malangka. Handriani harus berjuang sendiri bersama tim gurunya dan dengan dukungan pemerintah desa agar sekolah tetap dapat beroperasi. 

Mereka membangun RKB yang sangat jauh dari kata layak untuk kebutuhan belajar bagi siswa-siswa mereka. RKB ini terbuat dari anyaman bambu. Sangat ala kadarnya, bukan anyaman bambu yang terlihat baik dan berkualitas. Keadaan ekonomi penduduk desa yang secara umum terbilang cukup sulit bikin Handriani segan untuk meminta lebih banyak bantuan dari warga desa. 

Handriani tidak ingin menyerah begitu saja. Bersama guru-gurunya dan dukungan pemerintah desa, Handriani terus mengupayakan bantuan dari pemerintah untuk membangun RKB yang lebih layak dibanding RKB beranyamkan bambu yang tetap alakadarnya. Upaya terus dilakukan tetapi bantuan dari pemerintah atau pihak lain tak kunjung datang. 

Suasana PBM di SMPN 6 Buntu Malangka. (Foto/Rendra Kusuma Wijaya)

Sekali lagi kepala desa memperkenankan gedung BPM digunakan sebagai ruang guru berkumpul saat tidak mengajar dan sebagai tempat menyimpan buku-buku teks. Handriani beruntung, ketika SMPN 2 Buntu Malangka mengadakan pembaruan meja dan kursi belajar, ada beberapa meja dan kursi yang sudah tidak dipakai dihibahkan ke SMPN 6 Buntu Malangka. Selain itu, dengan keterbatasan sarana mengajar, guru-guru juga berinisiatif membuat alat peraga atau media pembelajarannya sendiri memanfaatkan potensi alam sekitar.

Sementara itu ada juga guru lain yang kualifikasi akademiknya sebenarnya non-guru (bidan dan apoteker) namun mereka ikut membantu mengajar sebisanya untuk memenuhi kebutuhan guru. 

Itu semua merupakan sisi yang perlu dikagumi, sekaligus cerita inspiratif. Mereka lebih memilih mengajar anak-anak di kampung mereka di samping juga berperan sebagai tenaga kesehatan, bidan dan farmasi di desa tersebut. 

Sebagai orang asli yang lahir besar di kampung itu, mereka terpanggil untuk mengajar generasi muda dan mengabaikan tawaran kerja di kota yang sesuai dengan kualifikasi akademik mereka sebagai bidan pendidik dan sebagai apoteker.
 
Sementara itu, ketiadaan sarana dan prasarana yang memadai, termasuk tenaga pengajar tak berkualifikasi cukup, membuat sebagian lulusan sekolah dasar memilih tidak bersekolah di SMPN 6 Buntu Malangka. Mereka memilih kembali ke SMPN 2 Buntu Malangka di Desa Salutambung. 

Sebagian orang tua menginginkan pengalaman pendidikan yang lebih baik dengan dukungan sarpras yang lebih baik pula. PIlihan orang tua ini tidak dapat disalahkan. Semua orang tua menginginkan yang terbaik untuk anaknya. 

Akan tetapi pilihan ini makin membuat SMPN 6 Buntu Malangka sulit untuk menjalankan operasionalnya karena jumlah siswa yang semakin berkurang berimbas ke dana BOS yang juga sedikit. Sejak kelas jauh ini menjadi mandiri, siswa angkatan pertama berjumlah 16 orang dan sudah tamat tahun ini (Tapel 2022-2023). Angkatan kedua yang saat ini ada di kelas IX berjumlah 6 orang, dan selanjutnya kelas VIII berjumlah 12 orang sedangkan hasil PPDB tapel 2034-2024 hanya berjumlah 5 orang.

Seorang Bidan yang Direkrut untuk Membantu Mengajar Pelajaran Bahasa Inggris di SMPN 6 Buntu Malangka. (Foto/Rendra Kusuma Wijaya) 
 
Keberadaan RKB dan sarpras yang layak serta hal-hal pendukung lainnya diharapkan mengubah mindset orang tua untuk kembali memilih SMPN 6 Buntu Malangka sebagai tempat menitipkan anak-anak mereka untuk dididik sebaik mungkin. Keberadaan sarpras yang layak diharapkan dapat menyerap semua peserta didik lulusan sekolah dasar yang ada di Desa Aralle Timur. 

Meningkatnya jumlah siswa tentu berpengaruh kepada bantuan operasional sekolah yang dapat digunakan untuk membiayai operasional sekolah yang masih bisa dihitung dan tanpa tanda minus. Belum lagi upah guru yang harus dibayarkan sebagai penghargaan atas dedikasi guru yang mengajar di sekolah itu. Beban operasional inilah yang membuat Handriani harus memutar ide dan pikiran agar kebutuhan pembiayaan tetap terpenuhi.

Dari sudut pandang lainnya, keberadaan RKB seharusnya menjadi tanggung jawab dinas pendidikan setempat mengingat ini adalah SMP negeri. Pemerintah wajib menegakkan tiang-tiang RKB yang layak dan membatasi ruangan dengan dinding yang pantas bernaungkan atap yang teduh. 

Handriani berkisah, suatu saat yang lalu, Bupati Mamasa pernah menjanjikan bantuan RKB. Akan tetapi sampai saat ini Handriani masih menunggu realisasi janji tersebut. 
 
Tidak hanya RKB, Handriani juga sudah sering meminta guru ASN PNS atau PPPK ke Dinas Pendidikan untuk ditempatkan di sekolahnya. Guru dengan status PNS atau PPPK tentu akan membuat Handriani sedikit lebih ringan dalam memikirkan biaya upah honor karena sudah ditanggung pemerintah. 

Namun sampai sekarang Handriani masih menunggu dan menunggu itu semua dapat terwujud. Meski demikian, Handriani tetap bergerak mengajar generasi dengan guru-guru honorer sukarela yang hendak mewakafkan diri mereka untuk kemajuan pendidikan di Desa Aralle TImur. 

Harapan bersama tentu saja sekolah ini segera mendapatkan bantuan RKB dan ruang guru. Setidaknya siswa dapat belajar dengan teduh dan aman demikian guru dapat merancang pembelajaran di ruang guru dengan tenang. (*)