Dipta, Pak Tua dan Sebatang Rokok

Oleh: Manaf Harmay (Pemimpin Redaksi WACANA.Info)
Dipta. Santri muda di salah satu pondok pesantren ternama di ibu kota Konoha. Jumat sore yang gerimis itu, ia diminta mewakili satu komunitas di kampungnya untuk menghadiri undangan sebuah sosialisasi tentang bahaya Narkoba yang diinisasi jemaat Gereja.
Ia yang memang sedang pulang kampung itu sempat terdiam. Lama. Sebelum melangkahkan kaki ke tempat pelaksanaan kegiatan, Dipta sempat gamang. Betapa tidak, sosialisasi tersebut rupanya dipusatkan di salah satu Gereja yang ada di kampungnya.
Batinnya memberontak. "Jangan sampai menghadiri undangan itu. Masuk ke rumah ibadah agama lain, bikin saya menanggung dosa," bisiknya dalam hati.
Tak butuh waktu lama bagi Dipta untuk mencari jawaban dari kegelisahannya itu.
Ia lalu teringat potongan video salah satu cendekiawan muslim kenaaman, Emha Ainun Nadjib di salah satu platform media. Tiktok nama platformnya. Jenis media sosial yang lebih sering diasosiasikan sebagai sarangnya video 'joget joget'.
"Kalau saya masuk kandang banteng, apakah saya menjadi banteng ?. Apakah bantengnya menjadi saya ?. Tidak juga kan ?,". Tegas Emha Ainun Nadjib saat menghadiri undangan PDI Perjuangan untuk sebuah acara.
"Kalau saya masuk PDIP, meskipun yang mengundang itu Ibu Megawati secara prbadi sebagai tokoh nasional, apakah berarti saya pro PDIP ?. Pro saya itu adalah pro kesejahteraan rakyat Indonesia. Saya mau menemani PDIP atau siapapun kelompok lain sepenjang mereka berjuang untuk seluruh rakyat Indonesia," lanjut ayah Noe, vokalis Letto itu.
Sosialisasi Tentang Bahaya Narkoba Dirangkaikan dengan Silaturrahmi FKUB di Salah Satu Gereja. (Foto/Manaf Harmay)
Bismillah. Dipta pun melangkahkan kakinya. Batinnya pasti. Niatnya tulus. Menghargai sekaligus tak ingin mengecewakan penyelenggara kegiatan. Ia pun tak ingin mencederai amanah dari komunitas tempat ia bergaul. Lagi pula, temanya pun menarik. Begitu dekat dengan persoalan utama yang dihadapi oleh generasi muda saat ini.
Baginya, menghargai orang lain, siapapun dia, masuk dalam kategori ibadah yang di bulan suci ini pahalanya dilipatgandakan. Pun dengan berguru. Menimah ilmu seputar bahaya Narkoba juga jadi satu aktivitas ibadah yang nilai pahalanya pasti adanya.
Ia pun memacu Honda Vario 150-nya. Bersegera menuju gereja tempat pelaksanaan kegiatan. Tak lagi ada keraguan di batin Dipta selama di perjalanan. Berganti dengan energi yang kuat untuk menghargai hajatan orang lain, serta semangat untuk menambah ilmu.
Debu jalanan belum banyak menempel di kemeja pola kotak-kotak warna biru yang dikenakan Dipta hari itu. Lalu sosok pak tua dari kejauhan tampak berdiri dari motor jenis bebeknya. Mencegat Dipta sekaligus mengarahkannya ke sebuah lorong. Rupanya, lorong yang hanya cukup untuk dilintasi satu kendaraan roda empat itu jadi satu-satunya akses menuju Geraja yang dituju.
Dengan senyumnya yang ramah. Sambil sedikit menundukkan wajahnya. Sosok pak tua yang panitia Gereja itu mengarahkan Dipta dengan motor matic berwarna putihnya untuk menuju Gereja. Beberapa mobil dan motor terlihat sudah tersusun ramai di pelataran Gereja itu. Benar saja, sosialisasi tentang bahaya Narkoba sudah dimulai. Bapak Polisi dari kesatuan keamanan dan ketertiban masyarakat sudah memulai materinya.
Sosialisasi Tentang Bahaya Narkoba Dirangkaikan dengan Silaturrahmi FKUB di Salah Satu Gereja. (Foto/Manaf Harmay)
"Tak apalah. Paling tidak masih sempat dapat meterinya," begitu Dipta membatin, sambil mencari kursi lowong di bangunan Geraja yang tak begitu luas itu. Sebagian besar kursi plastik berwarna hijau di ruangan Gereja itu banyak diisi oleh pemuda pemudi Gereja. Semuanya tampak serius mengikuti materi yang disampaikan oleh bapak polisi yang tampil begitu semangatnya.
Selain pendeta, podium utama di ruangan Gereja yang proses pembangunannya terbilang baru tuntas itu, juga diisi oleh beberapa figur. Ada Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), ada sekretaris FKUB, serta satu kursi kosong. Besar kemungkinan, kursi kosong itu diisi oleh bapak polisi yang tadi.
Hujan pun turun. Gemericik suaranya saling bertautan dengan sederet materi yang dibawakan oleh bapak polisi yang hadir lengkap dengan dua ajudannya. Selain materi tentang bahaya Narkoba, agenda tersebut sekaligus jadi ajang silaturrahmi antarumat beragama. Ketua dan sekretaris FKUB juga diberi kesempatan berbicara.
"Kita tak mesti merasa lebih baik dari orang lain. Itu berpotensi jadi satu jenis keburukan yang baru. Kita sedang belajar menata diri agar menjadi lebih baik dari hari kemarin. Terus belajar untuk menata iman yang sempurna lewat budi baik antarsesama,". Setidaknya, itu yang sempat dicatat Dipta. Sekaligus jadi kesimpulan yang ia ambil dari materi kerukunan antarumat beragama yang dibawakan oleh Ketua dan sekrtaris FKUB. Kebetulan, keduanya juga jadi pemuka agama Islam di kampung tempat Dipta bermukim.
Sesekali. Mungkin berkali-kali, Dipta melihat jam analaog yang melingkar di tangannya. Sekadar memastikan jam buka puasa di pertengahan Ramadan hari itu. Sambil melihat kesibukan pemuda pemudi Gereja menyiapkan ragam hidangan berbuka puasa, Dipta berdiri dari tempat duduknya.
Memilih untuk melihat indahnya pemadangan di luar Gereja. Gereja itu memang terletak di ketinggian. Dari bawah tenda yang terpasang di luar Gereja, laut terlihat begitu indahnya.
Dipta. Saat hendak mengabdikan momen indah tersebut, tak sengaja sirumpa' mata dengan sosok pak tua tadi. Ia yang sedang duduk di atas motor bebek dua taknya sedang menikmati sebatang rokok kreteknya. Pak tua yang melihat Dipta berdiri tak jauh darinya itu dengan cekatan, dengan sebegitu cepatnya, menyembunyikan rokok kreteknya di sela-sela jarinya.
"Belum buka puasa Pak ?," dengan senyum, pak tua itu membuka perbincangan. Dengan sebatang rokok yang ia selipkan di sela-sela jarinya.
"Belum Pak. Sebentar lagi," jawab Dipta membalas senyuman ramah dari pak tua itu.
Tak lama berselang. Waktu berbuka pun tiba. Dipta memilih mengakhiri ibadah puasanya hari itu dengan menenggak segelas air mineral. Dilanjut dengan menyantap hidangan es buah yang telah disiapkan oleh pemuda pemudi Geraja.
Bagi Dipta, momen sirumpa' mata dengan pak tua itu jadi satu hal yang sangat berkesan. Di jalan pulang, menuju Masjid untuk melaksanakan ibadah salat maghrib, Dipta belum move on dari momentum tak sengaja dengan sosok pak tua itu. Momen saat sosok itu memilih menyembunyikan rokok kreteknya.
"Bisa jadi, itu yang dimaksud dengan menghargai orang berpuasa. Yang rupanya juga sangat dipahami oleh saudara-saudara kita yang tak seiman dengan kita," begitu kata Dipta, dalam hati.
Di atas motornya, Dipta hanya senyum-senyum sendiri....