Serambi Ramadan

Puasa, Bukan Soal Dagang

Wacana.info
M. Syariat Tajuddin. (Foto/Istimewa)

M. Syariat Tajuddin (Pekerja Seni Budaya Mandar - Sulawesi Barat) 

Malam itu Kaco sungguh tak bisa berkata apa-apa. Dirinya hanya diam. Dalam batinnya sedang berderak-derak suara ayunan dacin dan menimbang-nimbang semua ihwal tentang dirinya juga ceramah yang baru saja terdengar olehnya. 

Malam itu hanya berjarak tiga empat depa dari mimbar. Muka Kaco tunduk menatap lantai ubin masjid itu. Kala itu Annanggurunya yang kepadanya Kaco begitu takdzim, sedang berceramah di masjid kampungnya. 

"Berpuasa dan jalanilah ibadah-badah bukan lantaran nafsumu untuk mendapatkan pahala dan surga. Tetapi beribadalah karena tujuan dan muara cintamu sedang engkau genap totalkan hanya engkau tujukan kepada Allah. Bukan karena selainNya, seperti pahala dan surga," begitu tutur annanggurunna i Kaco yang berceramah seusai shalat witir dan tarwih dua puluh malam itu.

Air mata Kaco pelan menetes-netes. Ada rasa bersalah juga rasa mafhum di dalam pemahamannya. Kaco merasa, selama ini puasa dan ibadahnya itu bentuk lain dari hitung-hitungan dagang yang hanya hendak peroleh laba dan keuntungan pahala dan kelak bisa diganjar dengan surga. 

Bukan lantaran cintanya kepada Allah. Bahkan tidak sedikit, ibadahnya lebih untuk sekedar direken oleh sesamanya, bahwa dirinya adalah orang yang alim. Dan begitulah ia selalu, dengan begitu telaten mengapdate setiap ibadah dan tindakannya melalui media sosialnya. 

Ada semacam kesadaran yang mendadak merayapi dirinya, bahwa cintanya kepada Allah, sebagaimanapun total dan penuhnya, juga tidak akan pernah mampu mengalahkan cinta Allah kepada Kaco. Atau jangan-jangan cinta Kaco justru adalah cinta yang plastik dan palsu. Cinta yang juga berharap dan penuh dengan kalkulasi serta perhitungan dagang dan pretensi. 

Dan lalu dalam benak Kaco, kembali betanya, ibadah mereka yang berpuasa dan beribadah lantaran nafsunya mendapat pahala dan masuk surga akan sah ?. 

"Sah, sepanjang sesuai dengan syarat dan rukun ibadahnya. Tetapi untuk diterima, itu murni prerogatif Allah. Tetapi cintailah Allah dengan menggunakan cintanya Allah yang melekat dan ada padamu. Insya Allah dengan begitu, cintamu kepada Allah akan bisa berada dalam satu frekwensi dengan cintanya Allah kepadamu," begitu tutur Annangguru dan membuat Kaco terasa terbetot dan tak lagi mampu berkata-kata lagi.  

Di kepala Kaco kemudian berputar-putar berita soal tunjangan hari raya, juga lagu Indonesia raya yang dinyanyikan sebelum shalat tarwih. Serta matinya begal ditangan ia yang kemudian menjadi tersangka. Juga soal bangunan bekas gereja yang kemudian menjadi tempat pelaksanaan sahalat tarwih. Juga soal emak-emak yang ngaku ditendang kemaluannya oleh aparat saat berada dalam pusaran massa yang tengah berdemonstrasi.

Kaco diam terpekur dan kini hanya merasa bahwa cinta dan ketulusannya haruslah diproyeksikan sebagai cinta dan ketulusan Allah yang dilekatkan kepadanya. Dengan begitu Kaco kian belajar paham, bahwa THR, lagu kebangsaan, bangunan gereja dan juga soal emak-emak adalah juga adalah petunjuk nyata, bahwa Allah begitu telaten merawat kepekaan Kaco terhadap banua

Dan dengan begitu dirinya tidak akan lagi berposisi sebagai pedagang yang melulu akan bertransaksi serta hitung-hitungan dengan Allah yang sungguh maha baik kepada Kaco, juga kepada banua tempat Kaco lahir, hidup dan bertumbuh sebagai warga. (*)