Persoalan Sampah di Polman yang Seperti Tak Berujung
POLMAN--Sudah sejak beberapa hari terakhir, sampah yang didominasi oleh limbah rumah tangga tampak menumpuk di beberapa titik di kota Polewali. Tak cuma di Polewali saja, sejumlah titik di Kecamatan Wonomulyo dan Matakali tumpukan sampah dengan mudah kita temukan bertumpuk di pinggir jalan, atau di depan rumah-rumah warga. Persoalan sampah di 'Bumi Tipalayo' ini memang jadi salah satu isu utama yang sejak beberapa waktu terakhir terus menjadi sorotan publik.
Sampah yang berserakan itu selain merusak pemandangan kian diperparah dengan aroma tak sedap yang bersumber dari limbah rumah tangga itu. Seolah jadi gambaran betapa buruknya pengelolaan sampah di daerah ini.
Kondisi tersebut disebabkan oleh Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah di Desa Amola, Kecamatan Binuang yang telah ditutup.
Tumpukan Sampah di Tepi Jalan Protokol Kota Polewali. (Foto Diunggah Minggu 9 Januari 2021/Instagram Polman Update)
Dikutip dari harian Sulbar Expres edisi 5 Januari 2022, Bupati Polman, Andi Ibrahim Masdar mengungkapkan, pihaknya bakal membuka TPA baru yang terletak di Desa Tamangalle, Kecamatan Balanipa.
Fasilitas tersebut diharapkan menjadi solusi efektif mengatasi persoalan sampah agar tak lagi jadi persoalan yang berlarut-larut.
"TPA lama sudah kita tutup. Semua alat yang ada di TPA lama sudah kita ambil semua dipindahkan ke TPA baru," kata Andi Ibrahim Masdar.
Reaksi Keras Warga Balanipa
Rencana Kecamatan Balanipa dijadikan TPA oleh Pemerintah Kabupaten Polman mendapat penolakan dari warga. Aliansi mahsiswa/pemuda Balanipa dengan tegas bersikap menolak keberadaan TPA di Kecamatan Balanipa.
Asfin, salah seorang pemuda Balanipa menguraikan, tidak ada alasan logis bagi masyarakat Balanipa untuk menerima penempatan TPA di wilayah tersebut. Terlebih karena Kecamatan Binuang dan Luyo yang sebelumnya juga dengan tegas menolak keberadaan TPA di wilayahnya masing-masing.
"(Potensi) pencemaran lingkungan, dengan dengan jalan provinsi. Apalagi berada di wilayah lahan tani Subur. Dekat dengan aliran sungai bersih, pelayanan kesehatan (Puskesmas Pambusuang), dekat area sekolah (SMPN 2 Balanipa) serta wilayah TPA yang berpotensi longsor. Belum lagi sosialisasi serta transparansi tentang TPA ini yang menurut kami sangat minim," beber Asfin dikutip dari rilis media yang diterima WACANA.Info belum lama ini.
Seorang Ibu Rumah Tangga Ikut Berorasi di Tengah Aksi Unjuk Rasa Penolakan TPA di Kecamatan Balanipa. (Foto/Istimewa)
Aksi demonstrasi pun digelar. Terlebih karena proses pengangkutan sampah mulai dilakukan di Kecamatan Balanipa. Informasinya, sampah-sampah yang diangkut tersebut berasal dari Kecamatan Luyo.
"Itu juga sangat bertentangan dengan UU pasal 18 tahun 2018 tentang pengelolahan sampah," tegas Asfin, mahasiswa Unsulbar itu.
Perbaiki Manajemennya, Perbaiki Komunikasinya
Persoalan sampah sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari proses perubahan satu wilayah. Perubahan menuju sebuah kota besar. Wakil Ketua DPRD Sulawesi Barat, Abdul Rahim menilai, masalah sampah sudah jadi bagian integtral dari sebuah perubahan suatu daerah untuk menjadi maju.
"Pertanayaannya adalah sejauh mana pemerintah daerah secara manajerial mampu mengelola persoalan sampah itu. Sampah ini akan terus terproduksi. Makin banyak orang, tentu makin banyak sampah. Hanya daerah yang tidak dihuni saja yang kemungkinan tidak ada sampah. Itu sudah jadi konsekuensi logis. Sekarang persoalannya, sejauh mana kemapuan pemerintah dalam hal menjalankan sebuah sistem pengelolaan sampah ini, bisa menjadi lebih tertata, bahkan bisa menjadi nilai ekonomis," beber Rahim yang ditemui di ruang kerjanya, Senin (10/01).
Oleh Rahim, persoalan yang dihadapi oleh Kabupaten Polman beberapa waktu terakhir hanya akan terjawab jika pemerintah setempat bisa lebih cerdas dalam menentukan pola dan manajemen dalam hal bagaimana mengelola sampah itu. Termasuk dalam hal bagaimana memastikan bahwa titik TPA sampah itu benar-benar bisa menjamin agar tidak menimbulkan postensi gangguan kesehatan bagi masyarakat sekitar.
Wakil Ketua DPRD Sulbar, Abdul Rahim. (Foto/Manaf Harmay)
Legislator Provinsi asal Polman itu menilai, pemerintah Kabupaten Polman dalam hal ini Bupati Polman perlu untuk mengubah pola komunikasi kepada masyarakat. Misalnya, Bupati sudi untuk duduk bersama dengan masyarakat, terlibat dalam diskusi secara terbuka, bahkan dari ke hati-hati dengan seluruh pilihan solusi yang ada. Rahim yakin, dengan komunikasi yang lebih egaliter lagi resistensi yang timbul di tengah masyatakat tidak akan sekuat sekarang.
"Tapi saya kira, mungkin yah, mungkin karena pemangku kebijakan yang ada di sana itu cenderung melihatnya sebagai seusuatu yang tidak terlalu urgen atau tidak terlalu prinsip, sehingga semuanya dianggap bisa dilewati dengan kewenangan yang dimiliki. Sehingga itu kemudian menuimbulkan titik balik berupa aksi perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat. Saya melihatnya ini karena komunikasi yang dilakukan tidak secara egaliter. Duduk bersama. Pikiran Bupati itu apa sih, kenapa harus di Balanipa. Yah tentu harus ada kajiannya, visibility study-nya. Sebab harus bisa mengkalkulasi seluruh aspek. Aspek kenyamanan masyarakat, aspek kesehatan yang tentu lebih utama. Karena itu kajian ilmiahnya menjadi mutlak adanya untuk melihat aspek-aspek itu," terang Rahim, politisi NasDem itu.
Kepala Daerah, sambung Rahim, harus bisa menjelaskan, memaparkan kepada masyarakat tentang pola dan sistem manajemen yang akan digunakan dalam hal apa dan bagaimana pengelolaan sampah itu. Terlebih jika melihat fakta tentang manajemen pengelolaan sampah utamanya dalam prespekstif kota maju, dimana limbah tersebut menyimpan potensi ekonomi yang tak kecil. Tidak lagi sampah dianalogikan sebagai kotoran. Ia justru dilihat dengan kaca mata ekonomi yang jika dikelola dengan benar, bukan hanya memberi keuntungan bagi masyarakat sekitar, tapi juga bisa menyumbang rupiah bagi pendapatan daerah.
"Saya kira Bupati juga suda melakukan studi banding terkait persoalan ini. Kenapa itu tidak dicoba ?. Kenapa tidak dijelaskan dengan baik ?. Kalau pengelolaan sampah ini dijalankan dengan baik, tentu ini akan menjadi ruang bagi kita dalam membuka lapangan kerja bagi masyarakat setempat. Itu bisa menjadi solusi yang kongrit di tengah sulitnya kita menyediakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat. Tinggal itu yang saya kira perlu dikomunikasikan dengan bagik. Jangan terkesan, rencana penempatan TPA itu dilakukan dengan menggunakan pendekatan otoritas seorang Bupati, seorang penguasa, tidak boleh seperti itu. Kalau demikian adanya, tentu masyarakat akan mengatakan bahwa kami juga punya hak untuk bertahan. Nah semua itu harusnya dilakukan dengan menggunakan pendekatan yang lebih humanis, egaliter. Tidak boleh lagi dengan menggunakan tangan besi," pungkas Abdul Rahim.
Risiko Penyakit di Balik Tumpukan Sampah
Selain merusak pemandangan serta aroma tak sedap akibat tumpukan sampah yang tak terkelola, kondisi tersebut pun sangat mungkin menjadi sumber penyakit. Kepada WACANA.Info, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Barat, drg. Asran Masdy memberi penjelasannya.
Menurut drg. Asran, dampak buruk bagi kesehatan akibat tumpukan sampah yang tak segera dimusnahkan sudah menjadi pengetahuan umum. Tak sebatas orang kesehatan saja yang mengetahuinya.
Kadis Kesehatan Provinis Sulbar, drg. Asran Masdy. (Foto/dinkes.sulbarprov.go.id)
"Bahwa akan ada ulat dan banyak lalat di tumpukan sampah itu. Lalat yang hinggap di sampah kemudian terbang lagi dan bisa saja hinggap di makanan kita. Ia membawa kotoran dan kuman yang ada disampah. Sehingga saat kita memakannya, kita bisa terkena diaere atau disentri karena ada kuman di situ. Saya kira bukan hanya orang kesehatan saja yang memahami itu," ujar drg. Asran.
Dalam dunia kesehatan, sambung dia, terdapat yang namanya kebersihan lingkungan. Di dalamnya dengan jelas disebutkan bahwa sampah itu harus secepatnya dikelola.
"Apakah itu dikubur, atau dibakar. Sehingga tidak bertumpuk yang bisa jadi penyebab ada lalat sebagai pembawa ragam penyakit. Apalagi di musim seperti sekarang ini. Saya kira penyakit-penyakit pencernaan yang paling rawan," begitu kata drg. Asran Masdy. (*/Naf)