Silpa dan Stunting, Catatan Penting DPRD atas Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD Tahun 2020

Wacana.info
Paripurna DPRD Sulbar dengan Agenda Pemandangan Umum Fraksi-Fraksi Atas Penjelasan Gubernur Terhadap Ranperda Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD Tahun 2020. (Foto/Manaf Harmay)

MAMUJU--Ketidaksesuaian Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran Tahun Berkenan (Silpa) serta masih buruknya angka stunting di Provinsi Sulawesi Barat jadi dua catatan penting yang disampaikan oleh sebagian besar fraksi di DPRD Sulawesi Barat. 

Seperti yang dibunyikan lembaga legislatif itu pada agenda paripurna pemandangan umum fraksi-fraksi atas penjelasan Gubernur terhadap Ranperda pertanggungjawaban pelaksanaan APBD tahun anggaran 2020, Senin (14/06).

Fraksi Demokrat misalnya. H Abidin, anggota fraksi Demokrat yang didaulat membacakan pemdangan umum hari itu mengatakan, jumlah Silpa tahun 2020 merujuk pada data yang ia miliki senilai Rp. 98.129.974.473. Berbeda dengan Silpa yang diungkap oleh Gubernur dalam hal ini disuarakan oleh Wakil Gubernur Sulawesi Barat pada pertemuan sebelumnya yang mengatakan Silpa tahun 2020 sebesar Rp. 103.192.697.843,52.

"Terdapat selisih sebesar Rp. 5.062.723.370,52. Mohon penjelasannya yang betul," ucap H Abidin, legislator Demokrat DPRD Sulawesi Barat itu di hadapan sejumlah peserta rapat paripurna.

Menurut dia, hal tersebut merupakan bagian yang sangat penting untuk dipahami secara utuh. Sebab dalam rangka penyususnan Ranperda tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, kesalahan sekecil apapun dapat dihindari.

"Sebab hal ini akan menjadi dokumen daerah dan tercatat dalam lembaran sejarah perjalanan kita sebagai sebuah provinsi," tegasnya.

Pun jika benar Silpa di tahun 2020 senilai Rp. 103.192.697.843,52, pemerintah provinsi Sulawesi Barat idealnya melakukan evaluasi secara menyeluruh atas Kinerja di masing-masing OPD. Juru bicara fraksi Hanura DPRD Sulawesi Barat, Ahmad Iksan Syarif menegaskan, kondisi tersebut membuktikan ketidakmampuan OPD dalam menyerap anggaran.

"Banyak program atau kegiatan pemerintah yang tidak terlaksana sehingga Silpa Tahun Anggaran 2020 ini jumlahnya cukup besar," ungkapo Iksan Syarif.

Mantan Anggora DPRD Mamuju itu berharap agar pemerintah dalam penyusunan anggaran tahun berikutnya dapat menjadikan fakta tersebut sebagai poin terpenting dalam bahan kajian. Khususnya kepada OPD yang capaian realisasi programnya tidak mencapai target.

"Karena Silpa tahun anggaran 2020 ini bukan jumlahnya yang kecil, begitu banyak program yang seharusnya dilaksanakan dan direalisasikan pada tahun anggaran 2020, tetapi tidak dapat direalisasikan," beber Ahmad Iksan Syarif.

Kekurangan gizi kronis, yang disebabkan oleh kurangnya asupan gizi dalam waktu yang cukup lama, hingga mengakibatkan gangguan pertumbuhan pada anak atau yang lebih dikenal dengan istilah stunting juga jadi sorotan DPRD Sulawesi Barat. H Abidin dalam pemaparannya menilai, koordinasi lintas sektor yang tak berjalan maksimal bikin penanganan masalah stunting di provinsi ke-33 ini terkesan amburadul.

"Akibatnya provinsi Sulbar menduduki peringkat kedua tertinggi setelah NTT terhadap buruknya penanganan penyakit stunting di Indonesia. Fraksi Demokrat mempertanyakan mengapa hal ini terjadi ?. Lalu langkah-langkah apa yang perlu diakselerasi untuk menurunkan tingginya presentase stunting di Sulbar ?," keluh H Abidin.

Silpa Tinggi Bukan Prestasi

Jumlah Silpa yang sebegitu besarnya bukan jadi sesuatu yang dapat dijadikan sebuah prestasi. Sekretaris Daerah Provinsi Sulawesi Barat, Muhammad Idris mengakui hal tersebut.

Ditemui usai paripurna, Idris menjelaskan, hingga saat ini, besaran Silpa masih menjadi salah satu item yang terus didiskusikan dengan beberapa pihak terkait. Termasuk dengan DPRD Sulawesi Barat.

Sekprov Sulbar, Muhammad Idris. (Foto/Manaf Harmay)

"Karena itu, memang ada satu prinsip pengelolaan keuangan, kalau banyak Silpa itu dimana pun di instansi pemerintahan dianggap ada masalahnya. Silpa yang tadi ini biasanya ada dua sumbernya; kas dengan luncuran. Kalau luncuran terakhir itu yang banyak biasanya muncul Silpa yang besar. Ini akan dikonsolidasikan datanya dulu, karena pertama memang dulu hitungannya itu Rp 98 Miliar, data yang masuk ini sampai Rp 1.3 Miliar," tutur Muhammad Idris di hadapan sejumlah wartawan.

Badai Covid-19 yang bikin perencanaan keuangan daerah mengalami banyak perubahan juga jadi salah satu pemicu hingga Silpa di tahun 2020 sebegitu besarnta. Menurut Idris, kondisi tersebut bikin daya serap anggaran benat-benar terkoreksi sedemikian radikalnya.

"Tentu ini akan disampaikan besok dalam jawaban Guberur, supaya clear mengenai data Silpa ini. Tapi poinnya memang Silpa itu bukan prestasi pengelolaan keuangan yang baik. Meski saya belum tahu uraiannya, tapi kemungkinan muncul dari adanya pandemi yang akhirnya bergeser kiri kanan dan mengalami perubahan sekian kali. Itu tentu berpengaruh terhadap daya serap. Daya serap itu yah kemungkinan Silpanya dari situ," jelas pria asal Majene itu.

Stunting Bukan Soal Sim Sala Bim

Hal yang oleh Muhammad Idris masih perlu dimaksimalkan adalah upaya meneka angka stunting di Sulawesi Barat. Tingginya angka stunting yang oleh berbagai sumber Sulawesi Barat duduk di peringkat kedua setelah Provinsi NTT angka stunting-nya itu mesti menjadi pekerjaan semua pihak.

Muhammad Idris menguraikan, menuntaskan masalah tersebut membutuhkan road map yang jelas. Yang cara mengukurnya tak pas jika dilakukan dalam waktu singkat.

"Stunting bukan persoalan sim sala bim. Itu kita akui. Daerah manapun yang ada stuntingnya itu harus dikelola dengan road map yang baik. Sulbar ini memang tinggi sesudah NTT, dan itu dimana-mana sudah kita programkan. Bahkan secara nsional sudah membantu kita," ucapnya.

Masih oleh dia, hal paling penting yang mesti segera dilakukan adalah bagaimana membentuk kolektifitas kerja antarlembaga pemerintahan yang bagus. Pemerintah provinsi, sebut Idris, pada prinsipnya ingin membantu kabupaten, sebab kasus stunting itu itu ada di kabupaten, bukan di provinsi.

"Tapi diakui kalau level provinsi yah memang kita yang bertanggung jawab," tegasnya.

Selain kolektifitas kerja yang baik, sinkornisasi program juga jadi poin yang segera mesti diwujudkan. Mana yang harus betul-betul dikelola dengan overlay. Termasuk mempertegas tanggung jawab pemerintah kabipaten dan tanggung jawab pemerintah provinsi.

"Itu yang saat ini kita validkan. Bahwa lambat, yah sekali lagi stunting itu bukan pekerjaan sim sala bim. Bukan pekerjaan kayak membangun jembatan, hari ini dikerja, kelihatan hasilnya besok. Ia membutuhkan waktu sekitar lima atau enam tahun kedepan. Yang jelas diusahakan ada road map yang jelas untuk penyelesaiannya," simpul Muhammad Idris. (Naf/A)