Rentetan Kasus Binatang Buas Memangsa Manusia, Mungkin Kita Lupa akan Keseimbangan Ekosistem

MAMUJU--Hasmila (40), warga Desa Barakkang, Kecamatan Budong-Budong serta Asrianto (25) warga Desa Pangangaloang, Kecamatan Topoyo adalah dua korban keganasan buaya sungai di Kabupaten Mateng. Miris, sebab kejadiannya hanya berselisih sepekan saja.
Kejadian di atas mengingatkan publik atas peristiwa keganasan bintang buas lainnya yang memangsa manusia di Kabupaten Mateng. Masih segar dalam ingatan publik tentang nasib naas yang dialami Akbar (25) warga Kecamatan Karossan, Mateng yang ditemukan sudah tak bernyawa di dalam perut ular phyton medio Maret 2017 silam.
Mengenyampingkan penyebab utama dari rentetan peristiwa di atas, terdapat faktor lain yang ikut jadi penyebab atas tiga musibah tersebut. Setidaknya hal itu yang disampaikan Direktur Lembaga Inspirasi dan Advokasi Rakyat (LIAR) Sulawesi Barat, Harun Mangkulangit. Ia menilai, keserakahan manusia tak boleh dicoret dari daftar penyebab rentetan peristiwa itu.
"Maraknya sistem pertanian monokultur. Termasuk pembabatan hutan adalah penyumbang terbesar dari kebuasan mereka. Siklusnya bukan lagi hewan memangsa sesama hewan, tapi hewan memangsa manusia. Karena ruang hidup mereka dirampas," kata Harun kepada WACANA.Info, Senin (24/08).
Setiap aktivitas manusia dalam memanfaatkan segenap sumber daya alam yang ada, sambung Harun, mestinya dibarengi dengan semangat untuk senantiasa menjaga keseimbangan eksistem. Masyarakat idealnya memiliki kesdaran yang utuh tentang hal itu. Tidak dengan melakukan aktivitas eksplorasi sepuasnya, tanpa mempertimbabngkan keberlangsungan makhluk hidup lainnya.
"Ruang hidup mereka dirampas oleh sistem pertanian kapitalistik yang lebih berfokus pada profit. Kejadiannya akan terus terulang, ketika paradigma soal lingkungan tidak lagi berangkat dari cara pandang lokalitas setempat," demikian Harun Mangkulangit.
Hal senada juga disuarakan pegiat lingkungan hidup, Yansen. Ia berharap, semua pihak sudi melihat rentetan peristiwa di atas dari kaca mata lingkungan. Bagaimana menjaga keseimbangan ekosistem alam dengan tidak melakukan aktivitas pembangunan secara sporadis.
"Ada banyak faktor yang harus kita lihat. Bisa saja karena lingkungan mereka tergerus oleh pembangunan yang sporadis, dalam artian ada banyak lahan yang terus terbuka. Jadi habitat mereka itu terganggu. Termasuk rantai makanan mereka juga putus karena aktivitas pembangunan itu. Pertambangan, perkebunan, atau apa saja, itu bisa terjadi. Karena kalau lingkungannya terjaga, saya kira rantai makanan bagi hewan buas itu otomatis juga akan terjaga. Nah kalau dia hilang, otomatis hewan buasnya mau makan apa, logikanya kan begitu. Makanya dia keluar. Meski dia punya habitat di situ, tapi kalau rantai makanannya terputus oleh aktivitas pembanghunan, maka otomatis dia pasti keluar," beber Yansen.
Masih oleh Yansen, di sisi lain, pemerintah daerah wajib berbenah. Dalam artian, peta kerawanan serangan binatang buas harus segera disusun. Mengingat peristiwanya telah berulang hingga beberapa kali.
"Kalau sudah ada korban seperti itu, masa mau dibiarkan. Pemerintah harus bertindak. Kasihan kan masyarakat kita kalau terus terusan menjadi korban. Minimal pemerintah harus berkoordinasi. Minimal ada data. Bikin warninglah pemerintah kepada masyarakat bahwa misalnya jangan lagi ada aktivitas di sungai atau apa. Kalau memang harus beraktivitas di sungai, pemerintah baiknya menyiapkan fasilitasnya. Termasuk sosialisasi yang massif kepada masyarakat," tutup Yansen yang dihubungi via sambungan telepon.
Syarifuddin Mandegar pun demikian. Dewan pembina lembaga Esensi Sulawesi Barat itu menilai, rentetan peristiwa hewan buas memangsa manusia di atas boleh jadi dikarenakan hilangnya keseimbangan ekosistem alam. Meski ia tak menyebut hal itu sebagai satu-satunya faktor penyebab.
"Kerusakan ekosistem memang salah satu faktor binatang kehilang tempat berkembang biak. Rantai makanan mereka pun kemudian terputus. Akibatnya binatang bermigrasi ke pemukiman untuk mencari makan. Manusia dan binatang itu bagian dari ekosistem, dimana peran manusia sebagai makhluk yang berpikir adalah menjaga kelangsungan hidupnya dan di lingkungan sekitarnya," demikian Syarifuddin Mandegar. (Naf/A)