Zakat yang Menjaga Harta dari ‘Stroke’

Wacana.info
Dr. Anwar Sadat (Foto/Facebook)

Oleh: Dr. Anwar Sadat, M.Ag (Wakil Ketua III STAIN Majene)

Pelajaran pertama dan utama dalam mencermati perintah ber-zakat tidak lain adalah tazkiyatan (mensucikan). Ritual ibadah berdimensi sosial yang kita lakukan di waktu tertentu setiap tahun ini memang dapat membersihkan diri, jiwa dan harta (QS. At-Taubah:103). 

Maksudnya dengan mengeluarkan zakat, kita telah berupaya membersihkan jiwa dari sifat kikir dan membersihkan harta dari yang seharusnya menjadi hak orang lain. Sebaliknya orang yang menerimanya akan bersih jiwanya dari penyakit iri hati terhadap orang yang mempunyai harta. 

Logika 'meilirik' dari satu sisi, bila seorang mengeluarkan zakat berarti hartanya akan berkurang. Tetapi bila 'dipotret'dengan kacamata Islam, pahala sipenderma justru bertambah dan harta yang dimiliki pasca pengeluaran zakat akan membawa berkah, semakin tumbuh berlimpah karena mendapat ridha dari Allah SWT (QS. Ar-Rum: 39). 

Di sinilah letak rahasia makna leksikal dari zakat itu sendiri. Yakni zaka, yazuku, zakaan. Artinya, tumbuh, suci dan berlimpah.  

Pelajaran kedua yang dapat kita telusuri adalah sadar akan kondisi harta yang dimiliki. Dalam konteks kriteria dikeluarkannya harta, Sayyid Sabiq memberikan catatan khusus sebagai berikut:

a. Kondisi harta hendaklah berlebih dari kebutuhan-kebutuhan vital seperti buat makan, pakaian, tempat kediaman, kendaraan dan sarana mencari nafkah.
b. Berlangsung selama satu tahun (haul) yang masa permulaannya dihitung dari saat memiliki nisab. Maka harus cukup selama satu tahun penuh. Seandainya terjadi kekurangan di tengah tahun, lalu kembali cukup, maka permulaan tahun pada saat cukupnya itulah yang jadi patokan.
       
Secara umum ketika membaca regulasi perundang-undangan di Indonesia, harta yang patut ditunaikan zakatnya adalah (1) emas, uang dan perak, (2) perdagangan dan perusahaan, (3) hasil pertanian, dan hasil perikanan, (4) hasil pertambangan, (5) hasil peternakan, (6) hasil pendapatan dan jasa, dan (7) rikaz.

Keterangan di atas dapat kita lihat pada UU No 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat. Regulasi ini merupakan peletak dasar pengelolaan zakat yang sudah dikenal sejak lama. 
Untuk penyempurnaanya, pemerintah kemudian menerbitkan UU No 23 tahun 2011 disusul dengan operasional pelaksanaannya yakni peraturan pemerintah No 14 tahun 2014. Kemudian terbit beberapa peraturan tentang mekanisme pembagiannya.

Pelajaran ketiga yang dapat kita rasakan secara personal khususnya di masa penyebaran pademi covid-19 seperti sekarang ini adalah sebagai berikut:
 
a. Menghindarkan penumpukan kekayaan perseorangan yang pada gilirannya menciptakan ego sektoral di tempat tertentu.
b. Membantu meringankan penderitaan saudara kita dari kesulitan hidup dan penderitaan yang berkepanjangan.
c. Menjadi solusi alternatif pemecahan masalah dari al-gharim, ibnu sabil dan para mustahik lainnya.
d. Megembangkan solidaritas (persaudaraan) sesama umat manusia.
e. Mengimbangi ideologi kapitalisme dan komunisme.
f. Menghilangkan sifat bahil dan loba pemilik kekayaan dan penguasa modal.
g. Mencegah jurang pemisah antara si kaya dan si miskin yang dapat menyuburkan kejahatan sosial.
h. Melatih diri bertanggung jawab secara personal terhadap kepentingan masyarakat dan kepentingan yang lebih jauh dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
i. Mendidik rasa disiplin dan loyalitas seorang untuk peduli pada hak orang lain.
j. Sebagai jaminan sosial menolong kelompok orang yang lemah yang terpapar oleh pengaruh penyebaran pandemi covid -19.

Harus dibenamkan dalam lubuk hati kita bahwa orang yang hidupnya hanya bisa makan dan makan tanpa dibarengi dengan olah raga, mengeluarkan keringat atau racun/kotoran dari dalam tubuhnya, maka akan mudah terserang stroke dan berbagai penyakit lainnya.

Ketika seseorang hanya bekerja menumpuk dan menumpuk harta tanpa mau 'berkeringat' atau mengeluarkan sedikit dari hartanya untuk membantu saudara-saudaranya, maka hartanya otomatis akan mengalami 'strok' karena bercampur dengan kotoran yang seyogyanya mesti dikeluarkan. 
  
Sungguh memakan harta secara berlebihan tanpa memikirkan adanya hak orang lain dari harta itu sama saja mengkomsumsi daki-daki (kotoran yang melekat di badan) manusia. Wallahu a'lam bis shawab... (*)
  
Rea Barat,  12 Mei  2020