Waspada dengan ‘Virus’ Khuldi

Oleh: Dr. Anwar Sadat, M.Ag (Wakil Ketua III STAIN Majene)
Manusia adalah satu-satunya makhluk yang diberi kemampuan untuk memilih dan menentukan sendiri perbuatan berdasarkan pertimbangan akalnya. Manusia pun jadi satu-satunya jenis makhluk yang menyatakan kesediaan menerima amanah dari Allah SWT untuk menjadi khalifah di permukaan bumi.
Atas dasar pertimbangan akal yang dimiliki, bentuk kejadian manusia memang tercipta paling istimewa. Manusia bekerja untuk meraih manfaat hingga pada tingkat yang maksimal. Dengan potensi akal itu pula, ia kemudian berjuang untuk menghindarkan kesulitan atau kendala yang dihadapi.
Di samping memiliki akal, manusia juga dibekali potensi lain yaitu nafsu yang senantiasa mendorong manusia untuk melakukan sesuatu. Kecenderungan ini terkadang membuatnya lalai dan mengabaikan pertimbangan akal.
Sebuah kisah abadi yang terbentang dalam Al Quran menggambarkan 'tidak akurnya' akal dan nafsu pada diri Nabi Adam dan istrinya.
Pada awal penciptaannya, setelah menyelesaikan sebuah perkenalan dengan malaikat 'disponsori' Allah SWT, Nabi Adam dan Hawa kemudian diberikan kesempatan untuk tinggal di Surga. Sejumlah fasilitas kenikmatan bisa digunakan kecuali satu jenis yang terlarang yaitu mendekati salah satu pohon yang sengaja ditumbuhkan oleh Allah SWT sebagai ujian pertama (QS al Baqarah: 35).
Sifat asli manusiapun kemudian muncul yaitu ketika bisikan nafsu mulai menguasai dan pertimbangan akal terabaikan, yang muncul selanjutnya adalah kelalaian. Itulah yang menimpa kedua moyang manusia (Adam dan Hawa). Syaitan berhasil menggelincirkan keduanya untuk memakan buah terlarang kemudian tampak dari keduanya aurat mereka dan sadarlah mereka bahwa telah melampaui batas (QS al-Baqarah: 36).
Tidak sedikit pemikir-pemikir kontenporer menganggap kisah ini hanya merupakan kisah simbolik dari perkembangan psikologi manusia. Syeh Muhammad Abduh menjelaskan bahwa kejadian itu sesungguhnya tidak benar-benar terjadi akan tetapi hanya merupakan penggabaran metaforik tentang subtansi dan aksidensi untuk dijadikan pembelajaran bagi manusia.
Berbeda halnya dengan penafsiran klasik secara umum yang tetap meyakini kisah ini sebagai kisah teladan yang patut untuk dicermati.
Pertanyaannya, mengapa begitu cepat Nabi Adam dan Hawa tergelincir oleh bisikan syaitan? Bukankah keduanya baru saja menerima anugerah terindah berupa Al Jannah dan iblis dan syitan baru saja resmi menjadi musuh abadi manusia ?.
Di sinilah menurut penulis letak pembelajarannya.
Sifat dan karakter manusia justru normal saat belum dapat fasilitas, akan tetapi ketika memperoleh sedikit kenikmatan di situlah mulai terlihat kepermukaan potensi yang selama ini terpendam dalam jiwa dan karakternya.
Sungguh 'virus-virus' khuldi bisa merusak dan menjerumuskan kita semua. Wallahu a'lam bis shawab..
Rea Barat, 11 Mei 2020