Nabi Nuh dan Banjir Bandang yang Melanda Kaumnya

Wacana.info
Dr. Anwar Sadat, M.Ag. (Foto/Facebook)

Oleh: Dr. Anwar Sadat, M.Ag (Wakil Ketua III STAIN Majene)

Dalam sebuah diskusi mata kuliah fiqh kontenporer beberapa tahun silam di salah satu PTKIS di kota Makassar tempat penulis mengabdikan diri, ada pertanyaan menarik muncul dari mahasiswa. Konon mahasiswa tersebut baru saja menjadi seorang muallaf sebelum merantau ke kota Daeng dari wilayah asalnya, Flores. 

Pertanyaan tersebut adalah mengapa Islam terlalu banyak membatasi orang dalam konteks makanan?. Misalnya, Islam mengharamkan untuk memakan daging babi yang secara faktual banyak dikomsumsi orang di hampir semua negara maju. Pertanyaan ini juga banyak dilontarkan teman-teman saya saat masih duduk di bangku SLTA dulu sahut mahasiswa tersebut.  

Jawaban penulis selaku dosen saat itu adalah:
1. Kemajuan dhahir sebuah negara bukan ukuran benar tidaknya perilaku masyarakat dalam negara tersebut. Misalnya, kota Las vegas, Amerika yang melegalkan perjudian massal dan pelacuran. Jepang yang sangat maju di bidang industri lalu melegalkan bunuh diri. Bahkan menyediakan tempat khusus bagi orang yang sudah diujung frustrasi dan lain sebagainya.

2. Adapun tentang keharaman memakan daging babi sudah dicantumkan dalam Al Quran 15 abad silam, tepatnya di QS.al Baqarah: 173. Bahkan pengharaman untuk memakan daging hewan ini menurut beberapa kalangan ditemukan juga dalam kitab-kitab samawi sebelumnya.

3. Bukan berarti kita tidak bisa menampilkan pendapat rasional yang bisa diterima oleh masyarakat. Salah satu pendapat dari ulama kita adalah karena Allah SWT hendak menguji keimanan dan ketaatan kita. 

Pendapat lain yang cukup populer adalah karena daging babi banyak mengandung bibit penyakit di antara adalah cacing pita yang meskipun dipanaskan hingga 100 derajat celcius bahkan lebih, cacing itu tetap bisa bertahan hidup.
 
Jawaban ini rupanya belum membuat 'puas' mahasiswa tersebut dan tetap ingin menagih lebih dalam tentang alasan pengharaman atasnya.

Penulis kemudian menceritakan sebuah uraian yang pernah di kemukakan oleh salah seorang dosen ilmu fiqh/ushul fiqh meski dalam konteks berbeda, ceritanya kurang lebih seperti ini;

Pada zaman nabi Nuh As, saat suasana menjadi genting menjelang banjir bandang yang melanda kaumnya. Beliau memerintahkan seluruh pengikutnya untuk naik ke atas kapal besar yang baru saja selesai dibuat bersama pengikut setianya yang berjumlah 80 orang dengan masa dakwah berkisar 900-an tahun. 

Turut serta bersama mereka ke atas geladak dasar sejumlah binatang dalam berbagai jenis termasuk tentunya bahan makanan dalam persedian besar yang hendak diselamatkan. Uniknya, binatang yang diselamatkan tersebut berpasang-pasangan. Misalnya kambing sepasang, sapi sepasang, ayam sepasang, dan masih banyak lagi pasangan binatang yang lain.

Setelah sekian lama di atas kapal besar itu, muncul masalah serius yang tidak terbayangkan sebelumnya dan turut membuat pening kepala nabi Nuh As selaku pimpinan rombongan saat itu. Pada bagian geladak dasar kapal dalam waktu singkat dipenuhi kotoran binatang bercampur dengan kotoran manusia yang 'berkontribusi' besat atas bau busuk yang menyengat. 

Berbagai upaya telah dilakukan untuk sekadar mengurangi efek negatif dari tumpukan kotoran tersebut, akan tetapi tak begitu menolong. Sampai kemudian akhirnya Nabi Nuh As memohon kepada Rabb-nya untuk penyelesaian masalah tersebut.

Tidak beberapa lama kemudian Allah SWT memberi petunjuk agar nabi Nuh As menugaskan dua ekor Babi yang sedang lapar di kapal tersebut untuk membantu membersihkan kotoran yang ada. Sungguh di luar dugaan, dalam waktu yang tidak terlalu lama dua ekor babi tersebut 'sukses' melahap habis semua kotoran yang ada di geladak dasar kapal. Hingga akhirnya kedua babi itu tertidur pulas karena kelelahan dan kekenyangan. 

Mungkin dibutuhkan kajian lebih lanjut untuk menakar kebenaran cerita di atas, termasuk meneliti kecenderungan, sifat dan karakter hewan omnivora yang bernama babi. Namun yang pasti, dari cerita ini kemudian muncul sebuah simpulan bahwa babi diciptakan untuk memakan kotoran, bukan untuk dimakan oleh manusia. Wallahu a'lam bis shawab...

 
Rea Barat,  09 Mei  2020