Hujan dan Rindu...

Abdul Muttalib: Pegiat Budaya
Sudah beberapa hari ini saya menunggumu di sini. Di bawah rindang pohon akasia tua itu. Kulit pohon yang terlihat mulai terkelupas. Mungkin di lelah karena usia, atau dikunyah rayap. Saya tetap menunggumu.
Layaknya kemarau merindu hujan. Layaknya kursi karatan yang menunggu di taman yang lengang. Hujan yang sungguh dinanti sebagai penawar rindu. Bukan hujan yang dilukiskan M. Aan Mansyur dalam cerita pendeknya.
Hujan yang justru dijadikan dalih bagi penyelingkuh ulung untuk menyembunyikan kebohongan. Bukan pula metafora cengengnya hujan dalam cerita pendek (Alm) Lan Fang. Mungkin serupa hujan tabah di bulan Juli dalam puisi Sapardi Djoko Damono.
Hujan yang kerap meluruh dari kelopak mata beningmu, untuk menelan pahitnya perpisahan khas telenovela. Hujan yang lebih banyak berkisah dibanding bibirmu. Lebih banyak berkata dibandingkan kerling matamu.
Bukan hujan yang digirangi anak-anak yang baru belajar melewati batas pagar pengawasan orang tuanya. Serupa hujan yang begitu dinanti ABG labil yang belum piawai merangkai kata manis asmara.
Bukan pula hujan yang digirangi Anggun C. Sasmi ketika salah satu media nasional menanyakan; Apa yang paling kamu sukai dalam hidup ini? "Saya menyukai hujan yang begitu setia meruapkan wangi bau tanah yang basah," katanya di satu waktu.
Terasa wajar jika (Alm) Broery Marantika ikut mengabadikan hujan penuh romansa dalam bait lagunya. "Sepanjang jalan kenangan kau peluk diriku mesra. Hujan yang rintik-rintik di awal bulan itu, menambah indahnya malam syahdu."
Betapa lekatnya hujan dalam ragam pemaknaan atas keindahan hidup. Hujan yang kerap tampil lebih metaforis daripada selarik puisi. Lebih menyihir dari pada mantra pelaut ulung yang tengah dirundung rindu kepada kekasih hati yang tengah menunggui cemas di tepi pantai.
Hujan yang girang membekaskan kenangan. Hujan yang mewakili kerinduan langit pada bumi. Hujan rindu atas pencarian hikmah hidup. Sejenak teringat sepenggal puisi Al Ma'arif dalam doanya kepada Tuhan, kekasih hati; "Janganlah hujan jika hanya membasahi ladangku,". (*)