Obituari DR. (HC). KH. Nur Husain

Syaikhul Muballighin itu Telah Pergi

Wacana.info
DR. (HC). KH. Nur Husain. (Foto/Shalahuddin Fix)

Oleh: Nur Salim Ismail (Direktur Esensi Sulbar)

Pagi yang cerah di hari Selasa, 12 Mei 2020 tak secerah kabar yang masuk ke smartphone saya. Kabar duka menyelimuti jazirah Sulawesi Barat sejak pagi tadi. Seorang ulama kharismatik, KH. Nur Husain dikabarkan berpulang ke rahmatullah sekira pukul 01.00 dini hari waktu Madinah.

Sejak 3 Februari 2020 lalu, Beliau berangkat menunaikan bbadah umrah. Namun saat di Madinah, kondisi fisiknya melemah, tak sadarkan diri, hingga maut menjemputnya.

Ulama yang lahir 10 Oktober 1945 ini dikenal sebagai sosok sederhana dan kharismatik. Puluhan tahun ia habiskan usianya di jalan dakwah. Pada diri Beliau tertanam sejumlah dimensi keilmuan. Seperti, Ilmu Tafsir, Ushul Fiqh, Tasawuf hingga Misiologi Dakwah. Keempat ilmu yang disebutkan itu teramu dalam sejumlah sajian dakwahnya selama ini.

Wajar, jika dalam sejumlah pertemuan, formal maupun informal, konten pembicaraannya dominan berada di seputar dinamika dakwah dan problematika Da’i. Sebatas contoh, dalam sebuah pertemuan lintas muballigh, Beliau pernah berpesan agar tak menjadi da’i sekaligus pencuri.

Apa maksudnya?

“Bahwa jangan sampai kita ini jadi pencuri argumentasi orang. Hati-hati bagi para muballigh. Jujurlah kalau kita pakai pandangan dan Pendapat Pak Quraish Shihab. Jangan katakan bahwa itu pendapat pribadi anda,” demikian pesan menukik dari Beliau.

Di kesempatan yang lain, Ketua Umum Majelis Ulama Sulawesi Barat ini juga pernah berpesan agar para ulama tetap berkomitmen pada keteguhan menjaga marwah (kehormatan). Darinya terkuak resep menjaga kehormatan di hadapan publik.

“Jangan merasa tidak dihormati orang dalam sebuah acara kalau anda hadir dengan status tak diundang. Saya punya prinsip, diundang saja belum tentu saya hadiri. Apalagi jika tak diundang,” paparnya dalam sebuah pertemuan orientasi Majelis Ulama se-Sulawesi Barat tahun lalu.

Dari sisi watak dan kepribadian Beliau, tampak sikap yang sedemikian tawadhu dan sederhana. Suatu ketika, dalam pertemuan para alumni Pondok Pesantren Ihyaul Ulum DDI Baruga Majene, Beliau berpsan agar watak kesantrian itu tetap terjaga. “Tetaplah tawadhu di segala medan kehidupan. Biarlah orang lain menuduh kita sebagai orang bodoh. Daripada menyangka kita sebagai orang pintar,” demikian nasehat Beliau.

Sebagai salah satu saksi dalam prosesi pemilihan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Sulbar 2015 lalu, Beliau sejujurnya sangat tidak berkeinginan untuk menjadi seorang nahkoda di lembaga MUI. Hingga rekan sekamarnya kala itu, Ust. Amrullah Akil, diminta untuk keluar dari kamar dan mendapat perintah agar tak dimunculkan namanya dalam bursa pemilihan ketua MUI.

Namun dalam perkembangannya, tak satu pun dari peserta yang berani mengambil langkah alternatif. Kala itu, Dr. Muhammad Jamil Barambangi selaku perwakilan pemerintah menyatakan, lebih baik musyawarah dibubarkan, daripada KH. Nur Husain yang tak bersedia menjadi ketua. Hal ini diamini juga oleh oleh KH. Anwar kamil dan KH. Tsabit Najamuddin.

Hingga memasuki pukul 02.00 dini hari, peserta sepakat untuk mendesak Ust. Amrullah Akil agar menyerahkan kunci kamarnya. Saya mengambil langkah inisiatif dengan gestur mendesak, agar Ust. Amrullah Akil tak menggunakan pasal menghalang-halangi.

Singkat cerita, terbukalah pintu kamar itu. Persoalan selanjutnya pun muncul. Siapa yang berani membangunkan Beliau dari tidurnya? Sekali lagi dengan setengah kurang beradab, saya ‘menyuruh’ Ust. Sahlan untuk maju dan membangunkannya. Saya tahu, Ust. Sahlan kala itu pun tengah terdesak. Namun ini merupakan panggilan nurani. Bahwa sulit menemukan tokoh sekelas Beliau. Dalam ilmu klasiknya, dan kontekstual dalam menginterpretasikan berbagai konsep agama dan kebangsaan. Pergaulannya pun tidak terkesan kolot di tengah publik.

Ust. Sahlan akhirnya berhasil membangungkan. Saat itu, KH. Nur Husain kaget dengan kerumuman sejumlah orang di depan kamarnya. Beliau memohon izin masuk ke toilet sebelum mempersilakan para tamu masuk. Mereka yang berkerumun di depan pintu kamar tersebut di antaranya, KH. Anwar Kamil, Dr. Jamil Barambangi, Dr. Muflih B. Fattah, Dr. Misbahuddin, Ust. Sahlan, Ust. Amrullah Akil, adik saya Shalahuddin, dan saya sendiri.

Dengan agak terbata-bata, Dr. Jamil kemudian mengemukakan maksud dan tujuannya. Bahwa tak satu pun peserta musyawarah yang bersedia menjadi ketua.

“Semuanya mengharapkan agar pak Kiai yang bersedia memikul amanah ini. Dan kami tidak mau mendengar kata-kata penolakan dari Pak Kiai,” begitu pesan pamungkas gaya Pak Jamil.

Mendengar harapan itu, almarhum menceritakan kronologis rencana pelarian dirinya. Ia mengaku sudah punya firasat akan dipaksa menjadi ketua MUI. “Sebenarnya sejak tadi sore saya mau pindah hotel. Keluarga juga sudah berpesan agar menolak jika ada tawaran jadi ketua MUI dengan uzur. Tapi saya lupa bawa KTP. Jadi terpaksa saya minta agar Ust. Amrullah menguncikan saya dari luar. Tapi rupanya usaha ini gagal,” terangnya.

Wal hasil, diterimalah amanah itu sebagai ketua Majelis Ulama Indonesia Sulawesi Barat masa khidmat 2015-2020.

Yang menarik dari cerita ini adalah perjalanan panjang sejarah sebelum benar-benar menjadi seorang ketua MUI. Dalam keterangannya, ia mengaku pernah dipesan oleh Anregurutta KH. Sanusi Baco Lc, Ketua umum MUI Sulawesi Selatan dan Ketua MUI Sawahlunto Sumatera Barat, puluhan tahun silam. Bahwa pada akhirnya nanti, nasib MUI di tanah Mandar akan menjadi beban dan tanggung jawabnya di kemudian hari.

Alasan lain, karena dalam tidurnya tadi, ia bermimpi didatangi Gurutta KH. Abdurahman Ambo Dalle. Dalam mimpinya itu, Beliau dibacakan Qs. At Takwir ayat 29, sambil berpesan agar amanah menjadi ketua MUI Sulbar diterima. “Wa maa tasya una illa an yasya Allah". Itu pesan Gurutta kepada saya. Tolong terima amanah para Ulama” ujarnya dalam keheningan menjelang subuh kala itu.

Tak salah kiranya, mulai hari ini kita melepasnya dengan satu lencana penghormatan sebagai Syaikul Muballighin di Tanah Mandar. Kelak, kita akan mengenangnya dalam berbagai nasehat di berbagai mimbar masjid, pada sejumlah majelis keilmuan. Beliau patut menjadi rujukan dalam membentuk karakter da’i, khususnya di Sulbar.

Inilah sekelumit catatan sekilas untuk mengenang jasa-jasa Beliau. Di kesempatan yang lain, semoga Allah swt memberi petunjuk agar dapat dibuka satu demi satu jejak kemulian Beliau.

Selamat jalan sang Guru, masih tersimpan rapi catatan-catatan pengajian Tafsir Jalalain yang engkau ajarkan kepada segenap santrimu. Selamat Jalan. Selamat beristirahat. (*)