Relasi Teknologi, dan Wacana Demokrasi
Oleh: Adi arwan Alimin (Komisioner KPU Provinsi Sulbar)
KINI setiap warga negara yang telah menikah, atau berusia 17 tahun memiliki hak secara bebas untuk memilih. Para pemilih yang tumbuh dan berkembang dalam iklim demokrasi yang bebas memungkinkan mereka menggunakan aspirasinya lebih leluasa. Dari pemilu ke pemilu keadaan ini makin membaik, itu juga seiring tingkat kesadaran publik yang kian melek teknologi.
Di era informasi dan teknologi yang demikian pesat, paradigma pemilih rupanya selaras atau mengadaptasi perkembangan. Dari beberapa perbincangan penulis dengan sejumlah warga, tema money politic misalnya tak lagi merubung diskusi, atau menyoal istilah dinasti politik.
Yang berkembang adalah luapan pembicaraan pada aspek kompetensi, integritas dan daya jangkau para calon legislatif ke masyarakat. Ini tentu sesuatu yang bergeser secara positif. Bahwa politik uang diduga mungkin masih akan terjadi, tetapi sejumlah pemilih mengatakan hal itu tak lagi seperti dulu.
Fenomena itu antara lain disebabkan karena pemilih makin memiliki akses lebih luas pada perkembangan informasi. Hari ini di semua jenis media komunikasi atau alat pengantar pesan, mereka ikut menjadi bagian dari penerima informasi pertama. Artinya, hampir saja semua orang telah menjadi komunikan primer, sementara kondisi ini di lima tahun lalu masih menjadikan mereka sebagai unsur sekunder dalam arus informasi.
Sebutlah pada Pemilu 2014 silam, dengan membanding tahun 2018 sebagai antara menuju Pemilu 2019. Tidakkah pembaca ikut merasakan bahwa aspek informasi atau wacana apapun telah ikut membuat Anda seperti para narasumber di banyak isu dan gagasan. Itu semua disebabkan akses pembaca pada segala bentuk perkembangan, dan kekinian telah amat dekat. Sebuah tagline menera, informasi kini ada di jemari anda.
Maka ini menjadi urgen bagi siapapun yang hendak berkompetisi di Pemilu 2019. Untuk memahami perilaku dan kecenderungan pemilih yang sebagian besar telah memiliki saluran atau jejaring sosial dewasa ini. Cara-cara konvensional memang masih akan berlaku dalam usaha kita membangun partisipasi, atau memobilisasi pemilih, tetapi atmosfir demokrasi memiliki spektrum tersendiri.
***
Saat ini pengguna telepon seluler di tanah air mencapai 371,4 juta pengguna, atau 142 persen dari total populasi sebanyak 262 juta jiwa. Artinya, rata-rata setiap penduduk memakai 1,4 telepon seluler karena satu orang terkadang menggunakan 2-3 kartu telepon seluler. Sementara kaum urban Indonesia mencapai 55 persen dari total populasi. (Katadata.co.id akses 24/2018)
Data lain menunjukkan (wearesocial.sg) pengguna internet di Indonesia mencapai 132,7 juta dengan penetrasi sekitar 51 persen dari populasi. Sementara warga yang aktif bermedia sosial mencapai 106 juta dengan penetrasi sekitar 40 persen. Pengguna media sosial mobile mencapai 92 juta, atau sekitar 35 persen dari populasi. Sandingkan dengan Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4) dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang diterima Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dalam DP4 yang sedang di-Coklit saat ini, terdapat 196,5 juta orang yang memiliki hak suara pada Pemilu 2019. (rilis.id akses 24/4/2018)
Kumpulan data di atas merupakan salah satu aspek penting untuk menghitung relasi antara teknologi dengan perkembangan demokrasi di negeri kita yang melaju dalam kecepatan setara. Di satu sisi kesadaran pemilih dalam menentukan pilihan makin meningkat, di aspek lain, segala fitur teknologi kian canggih. Dahulu, sebuah informasi yang mesti secara hirarki dinanti dari atas ke bawah dalam tempo terbatas jarak, hari, juga penyampai. Namun itu telah digeser updating struktural yang dipangkas alat pengantar pesan pada sesingkat-singkatnya kecepatan menjentikkan jemari. Wajah demokrasi, pun raut Pemilu telah berubah demikian tak terkira.
Penulis juga ingin menambahkan, dari sisi teknis penyelenggaraan Pemilu di lingkup KPU, metode penyerahan berkas dukungan calon perseorangan, misalnya telah difasilitasi sistem informasi pencalonan yang memungkinkan akses pengguna lebih mudah dan makin valid. Dalam sistem data dan informasi pemilih (Sidalih) pun, akses publik kian dekat, setiap orang di manapun atau kapan pun dapat mengetahui secara cepat dan tepat pada elemen data pemilih yang dibutuhkannya.
Arkian, dalam lema demokrasi yang makin menemukan bentuknya, kita mesti terus membangun kesadaran baru hingga kualitas pemilih makin mampu memilin keterpilihan bagi kemaslahatan orang banyak. Kutub antara pemilih dan yang akan dipilih juga penyelenggara memerlukan gerakan yang lebih realistik hingga hasil Pemilu 2019 makin bernas.
Dari sebuah sudut yang kerap sunyi dalam keriuhan kontestasi, penyelenggara Pemilu terus membangun sistem informasi yang lebih kuat, canggih dan aksesibilitas. Ini bertujuan untuk terus menjamin derajat Pemilu baik secara kuantitas maupun kualitas. Sebab hasil Pemilu tidaklah sekadar terpilih wakil rakyat di parlemen, atau seorang Presiden sekali pun, tapi ini bertautan dengan martabat dan masa depan bangsa secara sungguh-sungguh.
Demokrasi telah mendekatkan kita satu sama lain dalam segala komposisi yang berbeda-beda sudutnya. Sementara kemajuan teknologi melempangkan lajur informasi dan cara komunikasi yang melantas. Sikap pemilih yang progresif di era ini telah mengubah segalanya. Kemutakhiran ini selalu disertai adaptasi penyelenggara Pemilu secara berkala pula. (*)
Makassar, 24 April 2018