Pilpres, Politik Identitas dan Trah
Oleh: DR Suhardi Duka
Satu dekade yang lalu, saat memasuki priode ke-2 SBY, stabilitas politik dan kebangsaan sangat baik dan stabil. Itu hasil kerja nyata 5 tahun pasangan SBY/JK. Nila-nilai kebangsaan dan toleransi begitu baik bahkan konflik konflik SARA sebelumnya mampu diselesaikan dengan baik.
Politik identitas tidak muncul. Jawa luar Jawa tidak menjadi wacana. Sipil militer dan lain-lain tidak dipersoalkan. Akibatnya SBY sangat leluasa memilih Wakil Presiden-nya saat itu. Terpilihlah Budiono yang asalnya juga Jawa dan bukan dari partai politik, itu pun tidak menjadi masalah bagi SBY untuk memilihnya sebagai Wakil Presiden dan terpilih satu putaran pada Pilpres tahun 2009.
Bandingkan saat ini. Walaupun aparat kepolisian begitu masif dalam menghadapi kelompok-kelompok militan seperti Saracen dan MCA (Muslim Cyber Army), masih sangat terasa politik identitas yang turut mewarnai panggung politik di Indonesia bahkan lokal. Pilkada DKI Jakarta jelas menjadi bukti. Begitupun Pilkada di daerah lain termasuk Pilgub Sulbar kemarin.
Sampai dengan 2019 nanti kondisi ini apakah akan terus terbawa dalam mewarnai pemilihan Presiden Saya pikir masih berpengaruh.
Bila unsur etnis dan emosional mewarnai cara pandang dan pilihan masyarakat, berarti kebangsaan mengalami dekadensi. Demokrasi tidak berkualitas sangat berbalik arah dengan kemajuan teknologi di ‘zaman now’.
Selain politik identitas, pengaruh trah juga cukup berpengaruh untuk Indonesia saat ini. Pengikut dan pengaruh para pemimpin masa lalu masih sangat terasa. Seperti trah Soekarno, trah Soeharto dan trah SBY. Dan pemilihan Presiden 2019 nanti, ketiga trah ini juga cukup berpengaruh. Ketiganya dianggap punya pengikut yang cukup besar.
Sekian kali Pemilu dan pemilihan Presiden di Indonesia, ketiga trah ini belum pernah menyatu. Bahkan cenderung selalu berbeda dukungan. Untuk itu, apakah Pilpres 2019 akan bisa menyatu atau minimal dua bergabung melawan satu ?.
Di sisi lain, kalau memperhatikan hasil survey 2004, ada satu tokoh yang selalu menonjol dalam survey untuk posisi Wakil Presiden yaitu Jusuf Kalla. Sampai kini survey JK masih cukup tinggi, mengalahkan pesaing lain selain Jokowi dan Prabowo. Sayang, konsitusi telah mengatur untuk jabatan Presiden dan Wakil Presiden cukup 2 kali.
Bagaimana jika mengulang 2009, JK maju sebagai presiden ?
Tahun 2004 saat Pilpres pertama SBY/JK sukses. Banyak pihak yang berandai-andai bagaimana kalau komposisi 2004 dimajukan lagi dengan posisi yang sedikit berbeda JK/AHY (Agus Harimurti Yudhoyono) ?.
Kalau ingin kembali mengingat Pilpres 2004 dan kekuatan itu kembali menyatu, jelas ini perlu diperhitungkan oleh lubu petahana, maupun kubu Prabowo.
Sebagaimana yang saya katakana tadi bahwa politik identittas cukup berpengaruh sebagai satu aspek dan pengikut trah di aspek yang lain, maka bila JK/AHY cukup mewakili, ditambah lagi dengan nostalgia Pilpres 2004, tentu menjadikan komposisi ini menjadi sangat seksi dan sekaligus mencairkan kebuntuan. Pasangan ini tentu menjadi poros baru.
Dari beberapa survey kita lihat masih ada sebagian pemilih yang belum menentukan pilihannya. Ini artinya ada harapan masyarakat untuk menunggu tokoh lain selain Jokowi atau Prabowo. Atapun bisa jadi survey saat ini memilih Jokowi dan Prabowo karena tidak ada alternatif lain.
Munculnya wacana JK/AHY apakah bisa menjadi jawaban ?.
Politik itu dinamis. Hal yang tidak mungkin menjadi mungkin, sejauh kajian dan kepentingannya sesuai, hal yang tadinya tidak mungkin bisa menjadi mungkin.
Demikianpun survey. Survey hanyalah penggambaran saat itu, maka survey juga tidak menjadi penentu utama setiap kemenangan. (SDK)
Batik Air, 6 Maret 2018