Vertical Housing; Solusi Nyata di Tengah Keterbatasalan Lahan Perkotaan Mamuju
Oleh: Radinal Jayadi
(Staf Dinas PU kabupaten Mamuju)
Tingginya kebutuhan akan hunian bagi masyarakat menjadikan bisnis properti di kabupaten Mamuju ibarat jamur di musim hujan. Di setiap sudut kawasan perkotaan menyebar tak beraturan deretan rumah tapak (landed house). Bukan hanya menjadi solusi bagai pemenuhan papan masyarakat, akan tetapi menjadi bencana di tengah keterbatasan lahan pengembangan.
Kini kabupaten Mamuju menjadi kutub pertumbuhan ekonomi sekaligus episentrum kegiatan sosial, ekonomi serta politik di bagian Barat Sulawesi. Implikasinya jelas, bergesernya aktivitas utama wilayah dari sektor pertanian ke sektor-sektor jasa.
Sejalan dengan UU Penataan Ruang No. 26 Tahun 2007 yang menjelaskan bahwa kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian, hal iu dibuktikan dengan trend pergeseran kedua sektor di atas melalui data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan tahun 2017.
Kodisi eksisting di atas mengakibatkan terjadinya pergerakan sentripetal masyarakat untuk bermukim di kawasan perkotaan sebagai akibat pemusatan kegiatan ekonomi dalam satu kawasan. Seperti yang di ungkapkan oleh Perroux dalam teori Kutub Pertumbuhan, bahwa pembangunan tidak terjadi dimana-mana secara serentak, tetapi muncul di tempat-tempat tertentu dengan intensitas yang berbeda. Tempat-tampat itulah yang dinamakan titik-titik dan kutub-kutub pertumbuhan.
Kawasan yang dideliniasi sebagai kawasan perkotaan di kabupaten Mamuju hanya mengakomodir 1.630 Ha lahan pengembangan pembangunan yang di dalamnya dibagi dalan beberapa segmen kawasan baik itu kawasan permukiman, perkantoran, jasa perdagangan, pendidikan serta beberapa kawasan lainnya.
Karena pada dasarnya kota dalam pengertian Chapin dan Kaiser (1977) menyebutkan bahwa fungsi lokasi (ruang) kota dalam konteks sustainable city adalah berfungsi menjadi tempat untuk bekerja, tempat tinggal, tempat hiburan, sistem ruang terbuka dan perlindungan lingkungan. karena komponen-komponen tersebut menjadi indikator kehidupan di suatu kota. Keterbatasan ruang merupakan 'buah simalakama' di kemudian hari jika tidak diantisipasi dengan baik.
Arus sirkulasi penduduk di kawasan perkotaan kabupaten Mamuju bagai 'air bah' yang tengah menghantam. Betapa tidak, berdasarkan data statistik pertumbuhan penduduk tiap tahun terus meningkat secara linear sebesar 8,39 Persen. Jumlah pertumbuhan penduduk tersebut berbanding lurus dengan kebutuhan lahan untuk perumahan maupun fasilitas yang lain.
Seiring bertambahnya jumlah penduduk menyebabkan lahan untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat kota menjadi semakin berkurang. Pada tahun 2026 jumlah penduduk kabupaten Mamuju diperkirakan mencapai 187.900 jiwa jika dilihat dari pendekatan linear deret aritmatik.
Hal ini merupakan pesan bagi pemangku kebijakan yang harus mampu menyediakan lahan pengembangan pembangunan sebesar 140.925 Ha ditahun 2026.
Sejalan dengan ungkapan Tjuk Kuswartojo seorang pemerhati kebijakan permukiman perkotaan dan lingkungan saat diskusi bertajuk Mendorong Realisasi UU Tabungan Perumahan Nasional, di Hotel Sari Pan Pacific, Jakarta, Senin (13/8/2012), bahwa Kebutuhan ruang ideal perorang sebesar 7.5 m2.
Melihat kondisi eksisting kemiringan lereng di kabupaten Mamuju di dominasi kemiringan >25 Persen mengakibatkan pengembangan pembangunan ke arah timur kawasan perkotaan semakin sulit. Belum lagi pemenuhan ruang terbuka hijau sebesar 30 Persen dari luas kawasan perkotaan 1.630 Ha atau sebesar 489 Ha mengakibatkan lahan yang bisa untuk dimanfaatkan pengembangan pembangunan hanya sebesar 1.141 Ha.
Konsep vertical housing menjadi sangat penting karena perannya yang mampu menghemat penggunaan lahan yang akan dibangun di kawasan perkotaan kabupaten Mamuju. Dengan Kebutuhan lahan pengembangan pembangunan tahun 2026 seluas 140.925 Ha dapat diminimalisir sebesar 24.450 Ha jika arah pengembangan pembangunan diarahkan sampai 15 (lima belas) lantai ke atas.
Peremajaan kota atau urban renewal dengan konsep pengembangan hunian vertikal perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah daerah kabupaten Mamuju sebagai salah satu bentuk upaya mitigasi aglomerasi ekonomi yang sedang berlangsung. Itu dapat menjadi solusi atas peningkatan efisiensi penggunaan tanah, ruang dan daya tampung kota, peningkatan kualitas hidup masyarakat berpenghasilan menengah- bawah, pencegahan tumbuhnya kawasan kumuh perkotaan, peningkatan efisiensi prasarana, sarana dan utilitas perkotaan. Dapat pula menjadi pelecut peningkatan produktivitas masyarakat dan daya saing kota, peningkatan pemenuhan kebutuhan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan menengah-bawah serta peningkatan penyerapan tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi.
Penerapan vertical house juga memerlukan strategi dan kebijakan yang mengatur. Melalui strategi yang tepat, misalnya dengan pembatasan jumlah tingkat (lantai), kewajiban memiliki area tumbuh pohon sebagai vegetasi hijau, serta sistem saluran pembuangan air/limbah yang sesuai.
Komponen-komponen itu harus diperhatikan secara mendetail sehingga bangunan tinggi yang ada tidak hanya menjadi bangunan yang 'menjulang tinggi' tanpa kebermanfaatan apapun, namun dapat pula memberikan sumbangsih bagi lingkungan demi menjaga keseimbangan ekosistem dan mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan di kabupaten yang berjuluk Manakarra ini. (*)