OPINI

Santri dan Kurikulum Cinta; Membentang Spirit Kasih Sayang dalam Pendidikan Akhlak Bangsa

Wacana.info
(Foto/Istimewa)

Oleh: Dr. Anwar Sadat (Sekretaris ICMI Sulbar)

Setiap tanggal 22 Oktober, bangsa Indonesia memperingati Hari Santri Nasional sebagai penghormatan terhadap dedikasi kaum santri yang berjuang menjaga kemerdekaan dan menegakkan nilai-nilai keislaman di bumi Nusantara. Hari Santri tidak sekadar momentum seremonial, melainkan refleksi terhadap peran santri dalam membentuk karakter bangsa yang berilmu, berakhlak, dan mencintai tanah air.

Tahun ini, peringatan Hari Santri bersinggungan dengan gerakan baru Kementerian Agama Republik Indonesia melalui Kurikulum Berbasis Cinta (KBC). Sebuah paradigma pendidikan yang menempatkan cinta sebagai fondasi dalam proses belajar dan pembentukan karakter. 

Dalam konteks tersebut, nilai-nilai kesantrian menemukan kembali relevansinya; santri yang hidup dengan disiplin, berilmu dengan ikhlas, dan mengabdi dengan kasih sayang, menjadi model ideal bagi pelaksanaan kurikulum ini.

Keduanya, santri dan kurikulum cinta adalah dua sisi dari satu mata uang. Sama-sama berupaya menumbuhkan peradaban yang damai, inklusif, dan penuh welas asih.

Secara historis, santri memiliki peran strategis dalam membangun kesadaran nasional dan memperjuangkan kemerdekaan. Resolusi Jihad yang dikumandangkan KH. Hasyim Asy’ari pada Oktober 1945 menjadi simbol keberanian moral santri dalam menjaga harga diri bangsa. 
Namun, nilai utama santri bukan terletak pada perjuangan fisik, melainkan pada etos pengabdian, keikhlasan, dan kecintaan terhadap ilmu.

Nilai-nilai tersebut membentuk karakter khas santri; tawadhu’, mandiri, berdisiplin, dan berjiwa sosial. Santri terbiasa hidup dalam lingkungan yang menyeimbangkan ilmu, amal, dan akhlak. Tradisi pesantren mengajarkan bahwa belajar bukan semata mencari pengetahuan, tetapi menumbuhkan kepribadian yang berakar pada kasih sayang dan pelayanan kepada sesama.

Dalam pandangan sosiolog pendidikan Islam (Nasir, 2019), pesantren berfungsi sebagai 'laboratorium moral bangsa'. Ia bukan sekadar lembaga keagamaan, tetapi tempat lahirnya manusia yang mampu mengintegrasikan kecerdasan spiritual, emosional, dan sosial. 

Nilai-nilai itu selaras dengan tujuan Kurikulum Cinta yang menekankan keseimbangan antara hablun minallah, hablun minannas, dan hablun minal ‘alam.

Kurikulum Berbasis Cinta (baca:KBC) yang digagas Kementerian Agama merupakan pembaruan paradigma pendidikan Islam yang berorientasi pada rahmah. Cinta, dalam kerangka ini, bukan sekadar emosi, tetapi kekuatan epistemologis dan etis yang membentuk seluruh dimensi belajar. 

Pendidikan tidak lagi dipahami sebagai proses transfer ilmu, tetapi sebagai proses penumbuhan empati, tanggung jawab, dan kepedulian. Menurut Suryana (2024), KBC berlandaskan tiga poros utama:1). Cinta kepada Tuhan (al-hubb ilallah): menumbuhkan kesadaran spiritual bahwa seluruh aktivitas belajar merupakan ibadah, 2). Cinta kepada sesama manusia: membangun relasi sosial yang saling menghormati, empatik, dan bebas dari kekerasan simbolik, 3). Cinta kepada alam semesta: menumbuhkan tanggung jawab ekologis dan kesadaran keberlanjutan.

Dalam praktiknya, KBC mendorong madrasah dan pesantren untuk menciptakan iklim pendidikan yang ramah anak, toleran, dan penuh kasih. Guru bukan hanya pengajar, tetapi murabbi al-qalb  pembimbing hati yang menanamkan nilai cinta dalam perilaku dan pembelajaran.

Nilai-nilai kesantrian dan prinsip KBC dapat berpadu secara sinergis. Tradisi santri yang menekankan cinta ilmu, penghormatan kepada guru, dan pengabdian sosial merupakan bentuk konkret implementasi Kurikulum Cinta. Ada tiga alasan kuat yang mendasarinya.

Pertama, cinta sebagai dasar ilmu. Santri belajar bukan karena paksaan, melainkan karena cinta terhadap ilmu dan pencarian makna hidup. Dalam KBC, semangat ini diterjemahkan sebagai learning with heart belajar dengan hati yang terbuka dan empati terhadap sesama.

Kedua, cinta sebagai etika sosial. Budaya pesantren yang menanamkan ukhuwah, gotong royong, dan toleransi mencerminkan dimensi sosial KBC. Pendidikan harus menumbuhkan kemampuan hidup bersama dalam perbedaan.

Ketiga, cinta sebagai daya transformasi. Santri berperan sebagai agen perubahan sosial yang membawa misi kemaslahatan. Dalam konteks KBC, hal ini berarti menjadikan cinta sebagai kekuatan untuk mengatasi kemiskinan, kebodohan, dan ketimpangan sosial.

Melalui integrasi ini, Hari Santri bukan hanya diperingati, tetapi dihidupkan kembali dalam praksis pendidikan yang penuh kasih. Santri menjadi simbol manusia cinta  mencintai ilmu, bangsa, dan kemanusiaan.

Hari Santri 2025 bukan sekadar mengenang masa lalu, tetapi menatap masa depan dengan semangat cinta. Ketika nilai-nilai santri menyatu dengan Kurikulum Cinta, pendidikan Islam akan menjadi kekuatan peradaban yang menebarkan rahmat bagi semesta.

Cinta adalah energi yang menghidupkan ilmu, dan santri adalah lentera yang menyalakan cinta itu di tengah kegelapan zaman. Melalui Kurikulum Cinta, Kementerian Agama tidak hanya membangun sistem pendidikan, tetapi menanamkan peradaban kasih sayang yang menjadi fondasi Indonesia Emas 2045.

Akhirnya tidaklah berlebihan jika tersimpul sebuah kalimat, 'Santri yang mencintai ilmu, guru, dan bangsanya adalah wajah paling sejati dari pendidikan Islam yang rahmatan lil ‘alamin'.

Wallahu a’lam

Perpustakaan STAIN Majene, 22 Oktoner 2025