OPINI

Melihat Sisi Terang Tarif Impor 32 Persen ala Donald Trump

Wacana.info
Ilustrasi. (Foto/Net)

Oleh: Jeffriansyah DSA (Dosen Universitas Muhammadiyah Mamuju)

Pada 2 April 2025, Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump mengumumkan kebijakan tarif baru, tarif minimum 10 Persen untuk seluruh produk impor dari semua negara dan tarif timbal balik hingga 34 Persen untuk negara tertentu. Indonesia menjadi salah satu negara yang terkena dampak paling besar dengan tarif sebesar 32 Persen, melebihi Uni Eropa (20 Persen) dan mendekati China (34 Persen).
 
Kebijakan ini merupakan manifestasi nyata dari arus proteksionisme global yang berupaya 'melindungi' sektor industri dan tenaga kerja dalam negeri AS, sekaligus menjadi alat tekanan terhadap mitra dagang yang dianggap 'tidak adil'.

Dampak Global, Kebijakan ini tidak hanya menyasar satu negara, tetapi menyerang sendi globalisasi ekonomi, Perdagangan global akan melambat karena biaya ekspor ke AS meningkat signifikan, negara berkembang akan mengalami kesulitan bersaing di pasar AS akibat tarif tinggi, terutama sektor tekstil, elektronik, dan furniture. Investor global akan cenderung berhati-hati, memindahkan investasi dari sektor ekspor ke domestik, menyebabkan turunnya Foreign Direct Investment (FDI).

Bagi Indonesia, AS adalah pasar ekspor terbesar kedua setelah Tiongkok. Sekitar 10,3 Persen pangsa ekspor Indonesia menuju AS, dengan komoditas utama seperti tekstil, alas kaki, elektronik, furniture, dan produk pertanian. 

Dengan kenaikan tarif 32 Persen, maka harga barang Indonesia di pasar AS akan menjadi tidak kompetitif, terjadi penurunan volume ekspor secara drastis, pabrik-pabrik yang menggantungkan ekspor ke AS bisa mengurangi produksi, bahkan PHK bisa terjadi, neraca dagang akan terdampak negatif yang ujungnya memperbesar defisit jika tak diimbangi dengan diversifikasi pasar ekspor.

Meskipun Sulawesi Barat bukan eksportir besar langsung ke AS, provinsi ini tetap terdampak secara tidak langsung, khususnya pada komoditas pertanian dan perkebunan (kakao, kelapa, jagung) yang menjadi bahan baku produk ekspor. Selain itu, potensi pemutusan rantai pasok nasional yang akhirnya menekan pendapatan petani dan pekerja di provinsi lain akan memberikan efek domino juga pada provinsi Sulawesi Barat.

Merespon situasi ini, Indonesia harus segera mengambil langkah strategis negosiasi diplomatik segera dengan mengoptimalkan kekuatan lobi ekonomi Indonesia di Washington, menyusun argumen kuat tentang pentingnya Indonesia dalam rantai pasok regional. Diversifikasi pasar ekspor, fokus pada negara-negara non-tradisional seperti Afrika, Asia Selatan, dan Timur Tengah dan mengintensifkan pemanfaatan perjanjian perdagangan seperti ASEAN-China FTA, RCEP, dan CEPA.

Langkah stategis lainnya yaitu subsidi dan insentif, berikan subsidi logistik dan fiskal bagi eksportir terdampak, permudah ekspor UMKM melalui digitalisasi dan platform e-commerce lintas batas. Penguatan pasar domestik dan hilirisasi dengan memperkuat pasar dalam negeri untuk menampung kelebihan produksi ekspor, dorong hilirisasi dan industrialisasi lokal, termasuk di Sulawesi Barat.

Tarif 32 Persen dari Trump itu harus dibaca bukan hanya sebagai hambatan, tetapi sebagai momen introspeksi nasional. Sudah saatnya Indonesia membangun kemandirian ekonomi melalui diversifikasi ekspor, penguatan industri domestik, serta peningkatan daya saing global. 

Bagi Sulawesi Barat, tantangan ini harus menjadi momen untuk memperkuat fondasi ekonomi lokal berbasis pertanian berkelanjutan, inovasi, dan pemberdayaan UMKM sebagai penggerak ekonomi rakyat. (*/Naf)