Membaca Partisipasi Pemilih di Sulbar; dari Satu Momentum ke Momentum Politik Lainnya

MAMUJU--Lewat rapat pleno terbuka penetapan hasil pemilihan gubernur dan wakil gubernur Sulawesi Barat tahun 2024, KPU Sulawesi Barat menetapkan perolehan suara dari masing-masing pasangan calon yang berkompetisi. Selain itu, forum tersebut juga menetapkan angka partisipasi pemilih di Pemilihan gubernur dan wakil gubernur Sulawesi Barat.
75,85 Persen merupakan persentase angka partisipasi pemilih di Sulawesi Barat di momentum pesta elektoral 27 November 2024 yang lalu. Banyak yang menyimpulkannya terlalu kecil, meski di lain sisi ada saja penjelasan rasional tentang capaian angka partisipasi tersebut.
Terlepas dari apapun itu, Sulawesi Barat pernah mencatatkan angka partisipasi pemilih hingga 84 Persen. Dalam catatan WACANA.Info, di momentum Pemilu tahun 2019 yang lalu angka 84 Persen itu dicapai.
Jauh ke belakang. Di Pemilu tahun 2009. Saat itu, KPU Sulawesi Barat menetapkan Daftar Pemilih Tetap (DPT) sebanyak 655.595. Namun angka partisipasi pemilihnya 'hanya' di angka 74,63 Persen.
Sementara di Pemilu tahun 2014, meski jumlah DPT yang ditetapkan mengalami penambahan sekitar 216 Ribu orang dari total DPT di Pemilu sebelumnya, namun kenaikan partisipasi pemilihnya tak juga signifikan, masih di angka 77,58 Persen.
Grafis Angka Partisipasi Pemilih di Pemilihan Kepala Daerah Tahun 2024 se-Sulawesi Barat. (Infografis/KPU Sulbar)
Sedikit bergeser ke Pemilihan kepala daerah Sulawesi Barat tahun 2017. Kala itu, KPU Sulawesi Barat menetapkan DPT sebanyak 840.091 orang, namun angka partisipasi pemilihnya justru menurun jika dibandingkan dengan partisipasi pemilih di Pemilu 2014 yakni di angka 74,8 Persen.
Belum maksimalnya angka partisipasi pemilih di Pemilihan kepala daerah tahun 2024 di Sulawesi Barat sudah diprediksi oleh banyak pihak bahkan sebelum pleno penetapan hasil pemilihan gubernur dan wakil gubernur Sulawesi Barat digelar. Di mata Said Usman, ada semacam rasa jenuh yang membuncah di benak masyarakat atas rutinitas pelaksaan momentum politik.
"Dalam konteks Pemilu, motivasi masyarakat cukup tinggi karena penggeraknya banyak. Jumlah Caleg-nya ratusan. Sementara di Pilkada, penggeraknya hanya hitungan jari," tutur Said Usman Umar, Ketua KPU Sulawesi Barat kepada WACANA.Info akhir November 2024 yang lalu.
Di tahun 2020 yang lalu, ada empat kabupaten yang menggelar Pemilihan kepala daerah di Sulawesi Barat; Majene, Mamuju, Mamuju Tengah, dan Kabupaten Pasangkayu. Angka 87,70 Persen jadi rata-rata partisipasi pemilih di Pemilihan kepala daerah di Sulawesi Barat tahun 2020 itu.
Sementara di Pemilu, Februari 2024 ini, Sulawesi Barat mencatatkan angka partisipasi pemilih hingga 82 Persen. Angka yang rasa-rasanya keliru jika menyebutnya kecil.
"Pilkada 2020 yang lalu, banyak masyarakat kita yang pulang kampung. Entah karena libur kerja, libur kuliah, atau karena alasan lain. Di sisi lain, mereka pun penasaran seperti apa pelaksanaan Pilkada di tengah wabah Covid-19," ujar Said Usman Umar.
Jenuh dan Pesimis
Pelaksanaan Pemilihan kepala daerah secara serentak baiknya dievaluasi secara serius. Hal itu disampaikan Fitrinela Patongangi.
Alasan efektifitas dan efesiensi anggaran di balik keserentakan Pemilihan kepala daerah itu, kata Fitri, idealnya tak mengusik kualitas dan substansi setiap perhelatan baik Pemilu maupun Pilkada.
Fitrinela yang akademisi dari Universitas Sawerigading Makassar itu juga punya hipotesis lain terkait potensi turunnya angka partisipasi pemilih di Pemilihan kepala daerah tahun 2024 ini. Publik yang mulai jenuh akan pelaksanaan Pemilihabisa jadi penyebab utamanya.
Proses Pemungutan Suara di Salah Satu TPS di Kelurahan Karema, Mamuju. (Foto/Manaf Harmay)
"Iya, juga karena ada kayak kebosanan di masyarakat. Atau masyarakat jenuh dan mulai pesimis terhadap proses tersebut," ucap aktivis KOHATI, mantan pimpinan Bawaslu Sulawesi Barat itu.
Pesimis yang dimaksudkan Fitri adalah tentang rasa putus atas terhadap setiap kandidat yang ikut berkontestasi. Bisa juga karena pelaksanaan Pemilihan kepala daerah yang sebegitu berdekatannya dengan Pemilu.
"Jadi memang, menurut saya diperlukan kesadaran penuh dari masyarakat untuk terlibat aktif. Sebab sebenarnya penyelenggara Pilkada telah begitu massif melakukan sosialisasi. Hanya kan ini mesti saling bersambut," Fitrinela Patonangi menutup.
Kaji Ulang Keserentakan
Secara umum, pelaksanaan Pemilihan kepala daerah tahun 2024 berlangsung aman dan lancar. Kesalahan teknis juga terbilang minim. Ihwal partisipasi pemilih yang stagnan bahkan cenderung turun itu tak hanya terjadi di Sulawesi Barat saja, sejumlah daerah pun mengalami hal yang sama.
Farhanuddin melihat, kondisi tersebut disebabkan oleh beberapa faktor. Selain rasa jenuh dan bosan yang menyeruak di benak publik akan rutinitas kepemiluan, ketua Pusat Studi Pemilu dan Politik Lokal (PUSMIPOL) Unsulbar itu juga menilai, perlu dilihat kembali urgensi dari keserentakan pelaksanaan Pemilihan kepala daerah.
Menurut Farhanuddin, merujuk pada putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019, mahkamah menyatakan sejumlah model alternatif keserentakan Pemilu dan Pilkada. Pilihan model No. 4 atau No. 5 yang disampaikan MK ideal dalam menata ulang keserentakan Pemilu agar mengatasi kejenuhan publik.
"Adapun allternatif model No. 4 dalam putusan itu yakni, 'Pemilihan umum serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden; dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan Pemilihan umum serentak lokal untuk memilih anggota DPRD Provinsi, anggota DPRD Kabupaten/Kota, pemilihan Gubernur, dan Bupati/Walikota'," terang Farhanuddin dalam keterangan tertulisnya kepada WACANA.Info, Senin (9/11).
Farhanuddin. (Foto/Istimewa)
Kemudian alternatif pilihan Pemilu serentak model No. 5 yang berbunyi 'Pemilihan umum serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden; dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan Pemilihan umum serentak provinsi untuk memilih anggota DPRD Provinsi dan memilih gubernur; dan kemudian beberapa waktu setelahnya dilaksanakan pemilihan umum serentak kabupaten/kota untuk memilih anggota DPRD Kabupaten/Kota dan memilih Bupati dan Walikota'.
"Dua alternatif model Pemilu serentak di atas cukup ideal untuk memastikan perhatian partai politik, konsentrasi publik tidak terpecah antara Pemilu tingkat nasional dan Pemilihan tingkat lokal," sambung Farhanuddin, pria yang mantan komisioner KPU Sulawesi Barat itu.
Pembentuk Undang-undang periode 2024-2029, masih oleh Farhanuddin, penting untuk memikirkan opsi memisahkan Pemilu nasional (Presiden, DPR, DPD) dengan Pemilu tingkat lokal (DPRD Provinsi, Gubernur, DPRD Kabupaten/Kota, Bupati/ Walikota.
Pemilihan tahun 2024 tercatat dalam sejarah sebagai momentum politik serentak satu hari terbesar di dunia (the biggest one day elections in the world), dengan jumlah pemilih 204.807.222 orang, dengan jumlah TPS 823.236.
Di tahapan Pemilu 2024, publik akan mengingat tiap saat disuguhi informasi yang riuh tentang Pemilu, kerap terjadi perdebatan di media mainstream dan media sosial.
"Ketika perdebatan terkait isu dan perkembangan pasca Pemilu dan Pilpres masih terjadi, publik kembali disuguhi kegiatan Pilkada, hingga waktu kampanye Pilkada juga terbatas," kata Farhan.
Kritik Media
Ahli Strategi Politik, Diana L. Banister dalam 'The Diagnosis: Politics Fatigue Syndrome' mengemukakan bahwa salah satu penyebab potensial kelelahan politik antara lain, Disgust With The Process; kecewa dengan proses dan hasil politik. Publik telah terlibat aktif dalam proses Pemilu, namun setelah kandidat terpilih, menduduki jabatan, publik belum mendapatkan hasil perubahan yang berarti.
Kemudian yang kedua, Disillusionment With Politicians; bermakna bahwa publik jenuh mengikuti proses politik karena para politisi belum menunjukkan sebagai pemimpin, tidak menunaikan janji saat menduduki jabatan.
"Penyebab lain sindrom kelelahan politik adalah Misguided Media. Sebagai pilar demokrasi, sebagian media dinilai cenderung lebih mengejar rating. Lebih mengendapankan clikbait. Berita politik, informasi Pilkada lebih mengemukakan berita dengan konten gimik, kemasan. Bukan substansi. Outlet berita politik membahas tentang hal-hal yang sensasional dan, pada gilirannya, tentang rating — belum tentu tentang berita dan hal-hal yang penting bagi rakyat," pungkas Farhanuddin. (*/Naf)