Pilkada Serentak Tahun 2024

Ingin Bangun Daerah ?, Mulailah dengan Cara yang Bijak

Wacana.info
Rektor UNIKA Mamuju, Syahril. (Foto/Manaf Harmay)

MAMUJU--Pilkada Sulawesi Barat tinggal menghitung bulan. 27 November 2024 ini, publik Sulawesi Barat bakal kembali memilih gubernur dan wakil gubernur untuk periodesasi lima tahun mendatang.

Bagi Sahril, siapapun yang punya keinginan untuk menahkodai provinsi ke-33 ini, langkahnya mesti dimulai dari start niat yang baik. Termasuk untuk setiap ikhtiar untuk menuju kursi gubernur dan wakil gubernur yang idealnya juga harus dilakukan dengan cara yang bijak.

Itu disampaikan Sahril sekaligus menanggapi fenomena mulai terasanya potensi perpecahan di tengah masyarakat dengan memanfaatkan isu keberagaman yang ada di 'Tanah Mandar' ini. Meski baru sebatas di media sosial, fenomena tersebut bukan tidak mungkin mewujud di tengah pergumulan sosial masyarakat jelang gelaran pesta elektoral Pilkada Sulawesi Barat.

"Kalau semua kandidat berniat untuk memperbaiki, ingin membangun daerah, langkah yang diambil juga harus dengan cara yang bijak. Karena akan aneh jika semua menegaskan niatnya untuk memperbaiki daerah, tapi itu dimulai dengan cara merusak tatanan keberagaman yang memang sejak dulu sudah terpelihara dengan biak," urai Sahril, Rektor UNIKA kepada WACANA.Info, Selasa (6/08).

Sulawesi Barat, sambung mantan aktivis HMI itu, sejak puluhan atau mungkin ratusan tahun yang lalu telah didiami oleh masyarakat yang punya latar belakang sosial yang berbeda-beda. Belakangan hingga terbagi dalam bentuk pemerintahan moderen, keberagaman itu toh masih jadi warna yang indah hingga kini.

"Karena kalau misalnya ada saja satu kabupaten, atau satu kelompok masyarakat yang tidak setuju dengan pembentukan Sulbar, saya kira akan sulit juga provinsi ini terbentuk. Jadi, jangan diusik keberagaman itu, sebab sejak dulu kita yang ada di daerah ini juga punya latar belakang yang berbeda-beda. Indonesia saja lahir dari berbagai macam suku bangsa, apalagi kita di Sulbar ini," begitu kata Sahril.

Salim S Mengga: Saya Tidak Suka Isilah Mamuju Mandar, Kita Semua Mandar !

Apa yang diuraikan oleh Sahril di atas punya tone yang sama dengan penegasan Mayjen TNI (Purn.) Salim S. Mengga (JSM). Berbicara di hadapan ribuan pendukunganya, JSM mengaku sangat terganggu dengan adanya fenomena memecah Tanah Mandar ini apalagi untuk satu kepentingan tertentu.

JSM dalam Orasi di Hadapan Para Pendukung dan Simpatisannya di Kabupaten Polman. (Foto/Santo) 

"Saya tidak suka isilah Mamuju, Mandar. Kita semua Mandar. Apa itu Mandar ?. Itu bukanlah suku, Mandar itu perjanjian 'allamungang batu di luyo', mulai kerjaan di Binuang sampai di Kaili. Itulah Mandar. Perjanjian antara tujuh kerjaan di hulu dan tujuh kerajaan di muara," tegas JSM dalam orasi politiknya saat menyapa ribuan pendukung dan simpatisannya di kediaman pribadi JSM, Jalan Andi Depu, Polewali, Senin (5/08).

JSM, duet Suhardi Duka (SDK) di Pilkada Sulawesi Barat itu menjelaskan, 'allamungang batu di luyo' merupakan momentum perjanjian bersatunya seluruh kerajaan yang mendiami tanah yang hari ini secara teritori masuk dalam wilayah Sulawesi Barat. Dapat juga dimaknai sebagai kesepakatan bersama untuk bersatu, dan saling menguatkan.

"Dia bersatu, berjanji untuk saling memperkuat. Saling menjaga, itulah 'sipamandar'. Jadi kita jangan salah paham," sambung dia.

Siapapun pihak yang punya niat, apalagi secara terang-terangan melakulkan aksi memecah indahnya keberagaman di Sulawesi Barat, jelas telah meningkari momentum bersejarah 'allamungang batu di luyo'. Belanda saat menjajah Indonesia, masih kata JSM, pun punya alasan mengapa melabeli daerah ini dengan sebutan afdeling Mandar.

"Karena di daratan ini berbeda dia punya bahasa, tapi memiliki nilai budaya yang relatif sama. Jadi pahami itu dengan baik. Tidak boleh lagi ada kita dipecah-pecah," begitu kata JSM. (*/Naf)