Hukum

Sebelum Ditahan, S Beberkan Kasus Hukum yang Menjeratnya

Wacana.info
Konfrensi Pers Kejari Mamuju Saat Menetapkan S dan F sebagai Tersangka. (Foto/Net)

MAMUJU--S, Anggota DPRD Sulawesi Barat berstatus tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan dan pembuatan bibit rehabilitasi hutan dan lahan multifungsi program pengendalian Daerah Aliran Sungai (DAS) dan hutan lindung berbasis masyarakat di Dinas Kehutanan Sulawesi Barat membeberkan kasus hukum yang menjeratnya itu. Dalam keterangan persnya, S mengaku kaget ditetapkan sebagai tesangka oleh Kejaksaan Negeri (Kejari)Mamuju.

Ia mengaku pernah sekali memenuhi panggilan jaksa penyidik Kejari Mamuju untuk dimintai keterangan terkait masalah yang membuatnya kini jadi tersangka.

"Penyidik bertanya, apakah ini pokok pikiran atau aspirasi dan atau usulan dari hasil reses, saya sampaikan dengan tegas bukan. Itulah sebabnya saya kaget, syok saat Kejari melakukan rilis, karena masalah yang saya anggap tidak akan menyeret-nyeret saya, justru saya yang dijadikan tersangka," beber S.

Ia menambahkan, Pokir di tahun 2019 dibuktikan dengan SK Nomor 4 Tahun 2018 yang terbit pada 28 Februari dan ditanda tangani oleh pimpinan DPRD Sulawesi Barat. SK-nya itu ada di Bappeda yang merupakan usulan per-fraksi.

"Untuk program ini (pengadaan bibit lahan tandus) tidak ada di dalam usulan Pokir), karena memang program ini bukan berangkat dari pokok pikiran. Bahwa Pokir itu ada sebagai usulan, iya itu ada. Tapi bukan kegiatan ini," sambung S.

Dijelaskan S, kegiatan pengadaan bibit lahan tandus di tahun 2019 tersebar di seluruh kabupaten di Sulawesi Barat. Bukan hanya di Kabupaten Mamuju saja.

"Jadi pertanyaan saya secara pribadi, kok di Mamuju saja yang diproses. Mengapa di tempat lain tidak, tidak diaudit secara keseluruhan padahal program sama, satu nomenklatur," ujar dia.

Saat memenuhi panggilan penyidik, S menambahkan, ia ditanya terkait rapat koordinasi Badan Anggaran (Banggar) DPRD Sulawesi Barat. Sebab saat itu, S juga jadi salah satu anggota Banggar sekaligus sebagai anggota komisi I DPRD Sulawesi Barat.

"Saya katakan bahwa karena kondisi di Mamuju ini sering banjir dan longsor, dalam rapat itu memang saya pernah berpendapat, tolong dong dilakukan itu reboisasi. Tapi pendapat itu saya sampaikan setelah melihat ada nomenklatur program kegiatan ini dari dinas yang memang untuk RHL itu," ungkapnya.

S pun tak habis pikir, dari mana indikasi permufakatan jahat pada saat rapat Banggar-Komisi itu. Apalagi, rapat Banggar bukan tempat pengambilan keputusan.

"Lah kalau pada rapat itu dianggap ada permufakatan jahat menurut saya itu aneh. Karena hanya saya yang dijadikan tersangka, memangnya saya sendiri anggota DPRD dalam rapat itu, kan tidak. Ada anggota DPRD lain kok dan itu rapat resmi. Kalau urusan bahwa saya berpendapat secara pribadi pada rapat itu, bahwa memang harus ada reboisasi dengan melihat kondisi Mamuju, masa percakapan di rapat koordinasi Banggar-Komisi itu dijadikan dasar mempidanakan saya," urai S.

Tentang adanya coretan atau kode tertentu dari Dinas Kehutanan yang baru diperlihatkan kepada S, dia menegaskan itu adalah coretan sepihak.

"Karena memang saya curiga boleh jadi ada alat lain dijadikan jaksa mentersangkakan saya. Saya tegaskan itu adalah sepihak, ada kode-kode nama di dalamnya, dan bukan cuma nama saya, ada anggota DPRD lain. Di coretan itu intinya anggota DPRD tertentu sekian. Nah kalau itu dijadikan penyidik sebagai alat bukti, tentu harus diuji di pengadilan, karena yang jelas kami tidak pernah mengenali Pokir seperti itu dan TAPD yang hadir rapat juga menyaksikan tidak ada coretan semacam itu dalam rapat. Pokir itu resmi masuknya, ada SK dan lampiran usulan kegiatan," kata dia.

"Jadi kalau itu dijadikan dasar, tentu ini tidak fair, mengapa hanya saya jadi tersangka, sementara ada nama lain. Loh kok tidak diproses semua, maksudnya ini apa?," sambung S menanyakan objektivitas jaksa penyidik.

Soal kerugian negara yang dirilis Kejari Mamuju sebesar Rp 1,1 Miliar yang menjadi dasar menetapkan dua tersangka, S menjelaskan kerugian negara yang dimaksud karena bibit yang ditanam di luar peta lahan kritis.

"Bahwa dinas punya dasar membantah, itu hal lain. Tapi yang saya mau jelaskan adalah, soal kewenangan menetapkan dimana bibit itu layak ditanam, itu kewenangan dinas selaku eksekutif, yang mengerti itu dinas, kenapa saya harus ikut bertanggungjawab terhadap itu. Jadi ada total los, semua bibit yang ditanam di luar peta lahan kritis dinilai nol. Termasuk bibit yang disyaratkan bersertifikat itu total los. Itulah kerugian negara yang dimaksud jaksa Rp 1.1 Miliar," bebernya.

S menggaris bawahi, dalam kasus tersebut dia dan tersangka F (eks kadis kehutanan) sama sekali tidak mengambil uang negara.

"Jadi akibat itu. Bibit ditanam di luar peta lahan kritis dan ada bibit tidak sertifikasi. Pertanyaannya, apa hubungan saya di sana ?. Kalau jaksa bilang akibat dari rapat koordinasi Banggar-Komisi, memangnya saya punya kekuatan memaksa mereka (dinas kehutanan) melaksanakan program dan mengabaikan syarat peta lahan kritis dan sertifikasi bibit itu, kan tidak. Dinas itu berdiri sendiri. Yang saya dengar, Pak kadis juga sudah ditanya apakah punya kewenangan menolak usulan itu, jawabannya mereka bisa menolak, buktinya ada kelompok ditolak karena tidak sesuai regulasi," paparnya.

Di bagian akhir dari keterangannya, S mengingatkan kasus dugaan korupsi yang sempat menjerat empat pimpinan DPRD Sulawesi Barat beberapa tahun lalu. Empat pimpinan yang dijadikan tersangka serta ditahan selama berbulan-bulan untuk dugaan tindak pidana korupsi pokok-pokok pikiran anggota DPRD.

"Pada akhirnya mereka bebas demi hukum. Saya tidak tahu apakah nasib saya akan semacam itu, dan juga tidak tahu bagaimana pertanggung jawaban moral pihak kejaksaan jika akan demikian. Saya hanya minta hukum ditegakkan dengan adil, jangan karena tendensi, jangan juga karena pretensi," pungkas S.

Resmi Ditahan

Sehari setelah mengeluarkan statement, S akhirnya ditahan oleh Kejari Mamuju. Penyidik tindak pidana khusus Kejari Mamuju memutuskan untuk menahan S pada Selasa (1/11) petang.

S Ditahan oleh Penyidik Kejari Mamuju. (Foto/Indoigo99)

S menyusul tersangka lain yakni F yang sebelumnya juga telah ditahan pihak Kejari Mamuju untuk kasusu tersebut. Kajari Mamuju, Subekhan mengatakan, penahanan terhadap S dilakukan agar yang bersangkutan tidak menghilangkan barang bukti. Serta mempercepat proses penyidikan guna melengkapi berkas perkara, dan tidak melarikan diri.

"Iya. Sore ini setelah rampung pemeriksaannya, tersangka ditahan. Apalagi rekannya juga sudah ditahan kemarin kan. Salah satu alasan dilakukan penahanan agar mempercepat proses penyidikan dan tidak menghilangkan barang bukti," ujar Subkhan seperti dikutip dari indigo99.com.

Oleh Kejari Mamuju, S akan ditahan di Rutan Majene selama 20 hari ke depan. S pun akan mengikuti serangkaian pemeriksaan kesehatan.

"Pada penahanan tersangka malam ini langsung kita titip di Rutan Majene, pertimbangannya adalah mempercepat proses penanganan penyidikan," sambung Subhkan.

Untuk informasi, selain S, satu tersangka lain untuk kasus dugaan korupsi pengadaan dan pembuatan bibit rehabilitasi hutan dan lahan multifungsi program pengendalian Daerah Aliran Sungai (DAS) dan hutan lindung berbasis masyarakat di Dinas Kehutanan Sulawesi Barat tahun anggaran 2019 adalah F, mantan kadis Kehutanan Provinsi Sulawesi Barat.

Dipertanyakan Kuasa Hukum

Kuasa hukum S, Nasrun Natsir menyebut, pihaknya tetap menghargai proses yang dijalankan penyidik. Meski mempertanyakan keputusan tempat penahanan S.

"Saya menghargai proses penahanan oleh penyidik. Itu kewenangannya. Tapi kami sayangkan, kenapa dilakukan penahanan di Rutan Majene. Sebaiknya di Mamuju," kata Nasrun dikutip dari sulbarexpress.fajar.co.id.

Kuasa Hukum S, Nasrun. (Foto/Facebook)

Kata Nasrun, penahanan kliennya di Rutan Majene itu jelas bakal menghambat kepentingan pembelaannya. Selain karena terkendala jarak dari Mamuju ke Majene, jalut trans Sulawesi yang kini masih bermasalah juka bakal memperberat upayanya dalam melakukan pendampingan hukum.

"Harapan kami, Kejari Mamuju bisa memindahkan penahanan klien kami ke Mamuju. Mengenai langkah hukum, nanti kami akan komunikasi dengan klien kami," begitu kata Nasrun. 

Sekadar informasi, Kejari Mamuju dalam konfreis persnya 19 Oktober yang lalu resmi menetapkan S dan F sebagai tersangka dugaan korupsi pada kegiatan pengadaan dan pembuatan bibi rehabilitasi hutan dan lahan mutifungsi program pengendalian Daerah Aliran Sungai (DAS) dan hutan lindung berbasis masyarakat di Dinas Kehutanan Sulawesi Barat tahun anggaran 2019. Keputusan itu diambil setelah penyidik telah pengumpulan alat bukti dan melakukan penyitaan barang bukti, serta melakukan ekspose internal maupun konsultasi secara berjenjang.

S dan F dinilai telah melakukan kerjasama dan bermufakat secara melawan hukum untuk mengatur kegiatan senilai Rp 1,8 Miliar itu, sehingga merugikan keuangan negara sebagaimana hasil audit BPKP Sulbar lebih dari Rp 1,1 Miliar, serta menguntungkan diri sendiri atau orang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) subsidair Pasal 33 UU nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (*/Naf)