Media Penyiaran dan Siaran Politik Jelang Pemilu 2024

Wacana.info
Ilustrasi. (Foto/Net)

Oleh: Firdaus Abdullah

Pendiri/Dewan Pembina Forum Masyarakat Peduli Media (FMPM) Sulawesi Barat

Tahun politik 2024 barangkali terbilang masih jauh, tetapi sepertinya sudah ada lembaga penyiaran yang menyajikan program siaran politik. Hal ini dapat kita buktikan di layar kaca televisi kita, menyajikan siaran politik yang hanya menyiarkan partai politik tertentu, baik pencintraan pimpinan Parpol tertentu maupun aktivitas Parpol itu sendiri. 

Disadari atau tidak, menuju momentum politik Pemilu tahun 2024, kondisi objektif pemberitaan di media penyiaran akan sarat dengan kepentingan politik. Pemberitaan dan informasi tentu akan sangat tergantung pada pemesannya. Olehnya, tidak salah jika media televisi menjalankan fungsi medianya maka mustahil untuk memisahkan relasinya dari kepentingan politik. 

Adanya kekuatan media sebagai alat pembentuk opini publik yang merupakan sebuah kekuatan politik, disebabkan media penyiaran tidak hanya sebagai pembentuk opini maupun penyalur informasi. Akan tetapi juga sebagai lembaga sosial yang dapat menimbulkan pengaruh yang luas hingga dapat membentuk citra dan opini publik berdasarkan interest masing-masing.

Memang, UU Penyiaran No 32 tahun 2002 secara tegas menyebutkan bawah lembaga penyiaran wajib menjaga netralitasnya, tidak boleh mengutamakan kepentingan kelompok tertentu. Pun dengan aturan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) yang secara subtansial menyebutkan bahwa lembaga penyiaran berkewajiban bersikap adil, berimbang, serta provesional dalam menjalanan aktivitas siaran. 

Lembaga penyiaran dilarang memihak kepada salah satu Parpol dan dibiayai maupun disponsori, kecuali dalam bentuk iklan. Program siaran pun wajib tunduk pada peraturan perundangan-undangan penyiaran, Pemilu, baik yang dikeluarkan pemerintah maupun penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu).

Sejatinya, media penyiaran diselenggarakan dengan tujuan untuk memperkukuh integrasi nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertakwa, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dalam rangka membangun masyarakat yang mandiri, demoktratis, adil dan sejahtera, serta menumbuhkan industri penyiaran Indonesia. Sehingga Media penyiaran yang menggunakan frekuensi publik dalam melakukan aktivitas penyiaran seperti televisi dan radio untuk tetap menjaga independensi dalam proses produksi siaran. Baik siaran program maupun siaran jurnalistik. 

Fungsi media televisi seharusnya pewarta kebenaran, netralitasnya jauh dari nila-nilai objektivitas. Seperti yang kita sadari bahwa saat ini menjelang Pemilu 2024, media-media penyiaran yang berafiliasi ke partai politik dimana siaran politik marak kita temukan di layar kaca televisi, seperti iklan partai politik, pencitraan pimpinan partai politk, dan lain sebagainya.

Setidaknya ada dua alasan mengapa media penyiaran kerap menjadi ajang perebutan: pertama, media penyiaran memiliki konsekuensi dan nilai ekonomis. Kedua, media penyiaran dipandang sebagai alat kekuasaan yang efektif karena mampu dimanfaatkan untuk mempengaruhi opini publik. Maka dari itu, tidak sedikit media yang melakukan pemberitaan atas partai politik tertentu agar kepentingan politiknya dapat tersampaikan kepada masyarakat lewat layar televisi.

Kini, di era kebebasan pers serta maraknya paparan informasi, masih adanya sejumlah lembaga penyiaran khususnya televisi yang bertindak subjektif. Seperti program siaran bersegmentasi informasi maupun berita. Para pemiliknya yang kebetulan pimpinan partai politik tertentu, secara terang-terangan terus mencitrakan dirinya serta partai politiknya di medianya. Ironis, pemilik media lupa bahwa frekuensi yang digunakan adalah frekuensi milik publik, dan berjangka waktu. Sebab, frekuensi merupakan sumber daya alam yang sangat terbatas, mestinya digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan publik.

Di negara demokrasi manapun, media penyiaran senantiasa diatur oleh hukum yang ketat daripada  media lainnya karena media penyiaran memiliki kekuatan konstruksi sosial yang lebih besar ketimbang media lainnya. Kekuatan media penyiaran dalam melakukan konstruksi sosial inilah yang mendorong partai politik selalu berusaha memanfaatkannya semaksimal mungkin demi kepentingan politik. Media penyiaran jangan sampai kehilangan objektivitasnya dan semata-mata disetir oleh kepentingan pemilik modal.

Namun, disaat para pemilik media 'berjamaah' berpolitik praktis secara langsung dengan menjadi pendiri bahkan menjadi ketua umum, dalam posisi seperti ini media penyiaran bisa kehilangan kredibilitasnya sebagai kepanjangan tangan dari publik. Penggunaan frekuensi buat parpol tertentu telah membuat politik tidak demokratis. Prpol yang memiliki media penyiaran tentu dapat 'start' lebih dahulu ketimbang Parpol yang tidak memiliki media penyiaran. 

Tentu situasi ini tidak adil dan demokratis. Sebagai institusi yang sering disebut sebagai pilar keempat demokrasi, kita tentu berharap bahwa media penyiaran bisa menjadi alat kontrol sosial-politik yang kredibel.
    
Hal ini menjadi tantangan berat bagi KPI Pusat/KPID, NGO, serta seluruh masyarakat agar bergandengan tangan untuk merapatkan barisan. Menggagas regulasi untuk memimalisir Parpol yang juga memilik media yang memanfaatkan frekuensi untuk kepentingan politk. (*)