Sains Kebencanaan

Wacana.info
Nurdiyah. (Foto/Istimewa)

Oleh: Nurdiyah (Dosen Fakultas Sains dan Tekhnologi Universitas Terbuka)

Gempa bumi yang terjadi di Sulawesi  Barat pada Tanggal 14 dan 15 Januari 2021 telah banyak merenggut nyawa. Belum kering air mata terkait jatuhnya pesawat Sriwijaya Air yang menerbangkan para penumpang dari Jakarta menuju Pontianak. Tiba-tiba berbagai bencana mendera negeri ini. 

Sebuah keniscayaan yang tidak dapat kita elakkan ketika Sang Pemilik bumi ini ingin menguji hamba-Nya, tak ada satu manusiapun yang dapat menolak kehendak-Nya.

Awal tahun 2021 sudah berbagai bencana yang melanda Bangsa Indonesia, seperti Gempa bumi di Majene dan Mamuju, banjir di Kalimantan Selatan, longsor di Manado dan Sumedang, awan panas Semeru, dan erupsi Gunung Merapi.  

Sudah begitu banyak air mata anak Negeri ini yang tumpah. Tangisan mereka seolah sahut menyahut memohon ampun kepada Sang Pemilik segalanya, berharap agar semua ini segera berakhir.

Kondisi tersebut di atas tentunya akan sangat membuat miris hati kita, terlebih bagi yang pernah dan sedang mengalami bencana dahsyat tersebut.  

Jika melihat lokasi bencana, pada umumnya adalah wilayah yang memiliki banyak penduduk, sehingga evakuasi terhadap korban merupakan hal utama dan pertama yang harus segera dilakukan oleh pemerintah saat ini. 

Pemerintah sudah bekerja keras untuk melaksanakan itu. Bukan hanya mereka sebagai pemangku jabatan namun rakyat sebagai masyarakat sipil pun turun tangan untuk bahu membahu meringankan beban penderitaan sesamanya. 

Panggilan kemanusiaan lah yang berbicara di tengah kondisi seperti ini. Di sepanjang jalan Provinsi Sulawesi Barat tak henti-hentinya bantuan itu masuk, meringankan beban saudara kita yang sedang tertimpa bencana.
 
Melihat kondisi di atas patut kiranya kita berpikir untuk memiliki mitigasi terhadap bencana yang melanda agar tak menjadi pemadam kebakaran (meminjam istilah Wisnu Widjaja) yang berfokus pada penanganan setelah bencana terjadi. 

Komunitas ilmiah sudah saatnya mengambil peran dalam pembuatan kebijakan sebagai upaya awal dalam mitigasi kebencanaan di Indonesia. Hal ini penting agar langkah strategis yang diambil pemangku kepentingan tidak hanya berbasis politik semata. Tetapi juga berbasis sains (LIPI, 2019).

Sains kebencanaan menjadi hal mutlak dalam memutuskan suatu kebijakan dan tentunya dengan implementasi yang konkret. Hasil penelitian para ilmuwan tidak semestinya hanya sebagai tumpukan kertas yang kemudian masuk dalam lemari arsip.  

Peristiwa bencana Palu sudah lebih awal diperingatkan oleh para pakar geologi dimasanya bahwa Kota Palu dari struktur tanahnya cukup berbahaya untuk menjadi hunian bagi masyarakat. 

Contoh konkret yang terlihat adalah Petobo yang mengalami likuifaksi serta Balaroa yang penghuninya tidak dapat dikategorikan sebagai jumlah yang kecil.
 
Selain itu penataan kota serta hunian masyarakat setempat sudah seharusnya mempertimbangkan masukan dari para ilmuwan terkait struktur tanah serta alam yang melingkupi wilayah tersebut. Bangunan yang didirikan harus mampu menjadi media berlindung bagi para korban yang ada. 

Meski sebagai umat beragama kita semua meyakini bahwa tak ada kuasa melainkan Allah SWT, namun paling tidak ini menjadi salah satu ikhtiar untuk meminimalisir efek bencana yang sewaktu-waktu dapat terjadi. Tekhnologi hanyalah alat yang dapat membantu manusia.

Semoga trauma bagi para penyintas bencana segera pulih. Setiap kita berharap kejadian demi kejadian yang telah meluluh lantakkan bumi ini dapat membuat kita semakin mawas diri dan terus berserah hanya Kepada Dia Sang Pemberi hidup. 

Senantiasa berupaya sebagai wujud ikhtiar untuk selalu saling menguatkan dan berpikir untuk saling berbagi dalam hal penanganan (mitigasi) kebencanaan yang terbaik dalam mengatasi permasalahan kita hari ini. (*)

Artikel di Atas Telah Tayang di Harian Radar Sulbar Edisi Kamis, 11 Februari 2021