Bekerja; Upaya Memanusiakan Manusia

Oleh: Dr. Anwar Sadat, M.Ag (Wakil Ketua III STAIN Majene)
Tak terasa lebih kurang dua bulan lamanya kita mendukung himbauan pemerintah agar lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Semboyan stay at home rasanya semakin melekat di kehidupan keseharian kita. Bahkan hampir seluruh masyarakat yang peduli dan ingin berpartisipasi memutus mata rantai penyebaran wabah yang senantiasa mengintai itu.
Bagi yang kesehariannya bukan seorang pekerja ulet, tentu perubahan situasi seperti ini tidak terlalu mengusik aktivitas hidupnya. Lain halnya bagi mereka yang memiliki visi dan paradigma inovatif di setiap lapisan sel-sel kehidupannya. Bisa dibayangkan betapa tidak normalnya hidup yang mereka dijalani.
Secara konseptual, Islam sangat menghargai kerja dan aktivitas produktif. Kerja memiliki nilai yang tinggi, bahkan kemulian seseorang tergantung kepadanya (QS al-An am:132).
Tak heran jika masalah kerja dianggap sebagai suatu kewajiban. Orang yang melakukan suatu pekerjaan atau bekerja demi menghidupi diri dan keluarganya, pahalanya sama seperti melakukan ibadah mahdha.
Bahkan jika kita bekerja demi kesejahteraan bangsa dan masyarakatnya, di mata Allah jauh lebih utama ketimbang rajin beribadah tenggelam pada ritual individu ber-asyik maksyuk sendiri sehingga mengabaikan kewajiban menghidupi keluarganya.
Islam tidak membenarkan adanya kaum yang menjauhkan diri dari pencaharian penghidupan, terlebih jika hanya hidup dari belas kasihan orang lain. Tidak boleh ada dalam masyarakat yang hidup seperti benalu, menyandarkan nasibnya kepada orang lain.
"Tidak ada makanan sedikitpun yang dimakan oleh seseorang lebih baik selain dari hasil kerjanya sendiri. Sesungguhnya aku (Rasulullah SAW) juga makan dari hasil pekerjaanku sendiri," (al-Hadist)
Hadis di atas memberikan dukungan penuh untuk membangkitkan rasa memiliki kehormatan sebagai manusia. Berkaitan dengan masalah ini, pernah seorang badwi meminta kepada Ali bin Abi Thalib agar berkenan mendoakan supaya dia diberi rezeki. Namun dijawab cerdas oleh Ali: "Saya memilih tidak mendoakan kamu. Bergegaslah untuk mencari rezeki sebagaimana yang diperintahkan Allah ta'ala,".
Dari penjelasan di atas, bisa diambil suatu kesimpulan bahwa kerja dalam Islam memiliki nilai yang tinggi, sebagaimana yang telah dikemukakan dalam ayat dan hadis Nabi SAW.
Bila nilai kerja yang telah dipaparkan lewat ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis nabi SAW dijadikan motivasi bagi setiap pekerja, maka akan melahirkan semangat tersendiri dalam membentuk etos kerja.
Etika Islam dalam konteks hubungan antar manusia dan hubungan manusia dengan alam sekitarnya, antara lain bisa digali dari konsep Islam tentang manusia yang kemudian dihubungkan dengan etos kerja. Sebagaimana telah dikemukakan, Islam menempatkan manusia sebagai makhluk yang tertinggi yang pernah diciptakan Tuhan.
Ketinggian derajat ini merupakan karakteristik kemanusiaan. Oleh sebab itu manusia berkewajiban mengembangkan citra itu. Tidak sekedar mempertahankannya, sebab kegagalan manusia akan menyebabkan citra itu menjadi hancur dan derajatnya turun ke tempat yang paling rendah.
Indikasi dari kegagalannya adalah ketidakmampuan untuk terus menerus merealisasikan diri dalam dua dimensi dimaksud. Salah satu penjabarannya adalah mempertahankan dirinya sebagai makhluk yang selalu melakukan pekerjaan bermanfaat. Baik bagi dirinya, sesamanya maupun lingkungannya.
Dalam konteks yang lebih operasional, etos kerja Islam adalah suatu usaha realisasi diri yang hasilnya secara kemanusiaan bisa dipertanggungjawabkan. Ini berarti bahwa setiap karya-karya melahirkan pemecahan masalah kemanusiaan, keterbelakangan, kebodohan, kemiskinan, penindasan hak asasi manusia, dan lain-lain yang senantiasa mendapat apresiasi dalam Islam.
Bekerjalah terus! meski dalam suasana sulit bekerja demi mempertahankan sifat kemanusiaan kita
Wallahu a'lam bis shawab...
Rea Barat, 17 Mei 2020