Angka Indeks Demokrasi di Sulbar Tahun 2018 dalam Kategori Sedang, Tapi...
MAMUJU--Badan Pusat Statistik (BPS) Sulawesi Barat membeberkan angka Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) provinsi Sulawesi Barat tahun 2018. Hasilnya, atmosfer demokrasi dalam hitungan BPS, provinsi ke-33 ini masuk dalam kategori sedang. Bukan bagus, bukan buruk.
Untuk tahun 2018, data BPS menyebutkan, IDI di Sulawesi Barat ada di angka 71,46. Naik 3,72 poin jika dibandingkan IDI tahun sebelumnya.
Hal tersebut terungkap pada kegiatan pengembangan IDI yang diinisiasi Badan Kesatian Bangsa dan Politik provinsi Sulawesi Barat, Jumat (4/10) pagi. Jika di dirangking, angka IDI untuk provinsi Sulawesi Barat tahun 2018 ada di posisi 24 dari 34 provinsi di Indonesia.
Meski secara umum ada di level sedang, angka IDI untuk tahun 2018 di Sulawesi Barat itu tak boleh disimpulkan tanpa masalah. Berdasarkan data dari BPS, terdapat empat dari 28 indkator yang digunakan BPS dalam mengkualitatifkan IDI yang nyatanya masuk dalam kategori buruk.
Keempatnya masing-masing, demontrasi/mogok yang bersifat kekerasan (1,09), Perda yang merupakan inisiatif DPRD (25,00), rekomendasi DPRD kepada eksekutif (3,57) dan upaya penyediaan informasi APBD oleh pemerintah daerah (25,00).
"Menghitung IDI, kami mengelempokkannya ke dalam tiga aspek. Kebebasan sipil, hak-hak politik dan lembaga demokrasi. Ada 11 variabel serta 28 indikator," terang Kasi Statistik Sosial, BPS Sulawesi Barat, Menzi Ganova di hadapan peserta kegiatan yang dipusatkan di salah satu hotel di kota Mamuju itu.
Empat Indokator IDI Sulbar Tahun 2018 yang Masuk dalam Kategori Buruk. (Sumber/BPS Sulbar)
Melihat empat indikator yang berkategori buruk di atas, publik tentu berharap aksi nyata dari pemerintah provinsi Sulawesi Barat untuk dapat menjawab tantangan itu dengan rupa-rupa kebijakan yang dikeluarkan.
"Pertama, demonstrasi itu bagian dari hak dan kebebasan setiap individu atau kelompok untuk menyampaikan aspirasi di depan unum yang dijamin oleh Undang-Undang. Tentu saja penyampaian aspirasi itu tidak boleh berlaku anarkis, juga tidak boleh direspon dengan tindakan represif," beber dewan pembina lembaga Esensi Sulawesi Barat, Syarifuddin Mandegar kepada WACANA.Info.
Tentang indikator Perda inisiatif DPRD yang terkategori buruk di tahun 2018, Syarifuddin Mandegar menganggap, fakta tersebut perlu menjadi bahan evaluasi khususnya bagi anggota DPRD Sulawesi Barat yang baru saja dilantik. Kata dia, membuka ruang dialog dengan publik untuk menerima masukan dari masyarakat terkait hal-hal yang dapat menjadi pertimbangan untuk membuat Perda inisiatif bisa jadi salah satu metode yang digunakan oleh lembaga legislatif itu.
Syarifuddin Mandegar. (Foto/Manaf Harmay)
"Tentu saja tidak semua problem masyarakat itu selamanya jadi dijadikan Perda, sebab membuat Perda harus memiliki payung hukum yang jelas. Mungkin dari sekian banyak aspirasi itu ada yang bisa dituangkan dalam program legislasi. Jadi intinya DPRD harus banyak membuka ruang dialog agar kinerja DPRD benar-benar terukur. Jangan sampai janji-janji saat kampanye hanya sampai menghantarkan orang ke TPS tapi setelah itu terlupakan," beber Syarifuddin Mandegar.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Lembaga Inspirasi dan Advokasi Rakyat (LIAR) Sulawesi Barat, Harun Mangkulangit menilai, sederet indokator IDI yang masih buruk itu tak elok jika dialasankan karena Sulawesi Barat masih begitu belia. Di matanya, stakholder demokrasi di Sulawesi Barat yang gagal mengkonsolidasikan demokrasi merupakan penyebab utamanya.
Menurutnya, spirit perjuangan pembentukan provinsi Sulawesi Barat adalah demokrasi—desentralisasi. Namun faktanya, sebagaimana empat indikator IDI yang terbilag buruk di atas justru membentangkan buruknya demokrasi.
"Dari sini terbitlah kecurigaan, para elit-elit di Sulbar ini sebenarnya sedang memperjuangkan nilai-nilai apa ?. Apakah yang diperjuangkan adalah benar-benar nilai demokrasi, atau nilai-nilai kekuasaan semata. Kenapa corak berdemokrasi kita kering namun sangat disenangi ?," keluh Harun via WhatsApp.
Harun Mangkulangit. (Foto/Facebook)
Kepada lembaga eksekutif dan legislatif di Sulawesi Barat, Harun pun meminta agar keduanya benar-benar bekerja sesuai dengan nafas utama pembentukan provinsi Sulawesi Barat. Jangan sampai nilai demokrasi itu tidak bergulir ke lapis bawah. Jangan sampai semua hanya sibuk mencari kursi strategis di struktur ketatanegaraan lokal provinsi Sulawesi Barat.
"Ini adalah PR. Namun PR ini tidak akan selesai ketika tupoksi tidak dipahami oleh anggota DPRD itu sendiri. Makanya pendidikan politik penting bangi kader-kader partai yang lagi berada di lembaga legislatif itu. Begitu pun dengan mereka yang ada di jabatan eksekutif. Semangat dalam launching gerakan budaya kerja malaqbi mestinya benar-benar ditafsirkan dalam bentuk yang nyata. Ingat, transparan pada pengelolaan pemerintah adalah satu dari sekian banyak gaktor ke-malaqbi-an," pungkas Harun Mangkulangit.
Terpisah, Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik provinsi Sulawesi Barat, Muhammad Rahmat Sanusi menjelaskan, pemaparan IDI yang diinisasi lembaga yang dipimpinnya diharapkan bisa menjadi ajang sumbang saran dari siapa saja untuk kebaikan angka IDI Sulawesi Barat di tahun-tahun mendatang.
"Saya harus didukung oleh pihak lain, khususnya OPD terkait di Sulbar, termasuk teman-teman Parpol untuk sama-sama kita menaikkan IDI di masa mendatang," papar Rahmat Sanusi.
Muhammad Rahmat Sanusi. (Foto/Manaf Harmay)
Jika peran semua pihak maksimal, Rahmat mengaku optimis, tatanan demokrasi di Sulawesi Barat akan semakin baik. Jika tahun 2018 masih dalam kategoru sedang, maka di tahun-tahun setelahnya bukan tidak mungkin ada di level baik.
"Mari kita naikkan angka IDI kita dari sekarang yang masih sedang menjadi baik di masa yang akan datang. Ujungnya juga kan untuk menciptakan Sulawesi Barat yang jauh lebih marasa," tutup Muhammad Rahmat Sanusi. (Naf/A)