Puasa dan Rasa Kemanusiaan Kita
Oleh: Ahmad Zacky Al Mahdaly (Aktivis NU Polman)
Puasa yang paling dicintai Allah adalah puasa Nabi Daud. Shalat yang paling dicintai Allah adalah shalat Nabi Daud. Ia tidur tengah malam, dan bangun di sepertiga malam, kemudian tidur (lagi) seperenam malam, dan ia berpuasa satu hari dan berbuka satu hari.
Nabi Daud AS memiliki keutamaan yang luar biasa. Daud muda sudah mampu mengalahkan Jalut yang kuat dan berbadan kekar, juga disebutkan Daud memiliki suara yang merdu. Konon dalam cerita kampung kami, suatu ketika di dalam syurga kita akan diperdengarkan suara Nabi Daud AS sedang membacakan ayat-ayat Qur an.
Nabi Daud AS adalah seorang raja yang tetap bekerja sebagai pandai besi untuk membuat baju-baju perang. Di tangan Daud AS, besi dan baja bisa lunak. Sungguh keistimewaan yang diberikan oleh Allah SWT.
Namun dari sekian keistimewaannya itu yang paling istimewa dari Nabi Daud AS adalah puasa dan sholatnya. Sebagaimana hadits Nabi Muhammad SAW di awal tulisan ini.
Kenapa Nabi Daud AS puasa berselang seling ?. Tafsir sufi menyebutkan, Nabi Daud AS puasa sehari untuk menemani orang miskin lapar dan sehari untuk bersyukur kepada Allah SWT.
Puasa untuk menemani atau merasakan apa yang dialami orang lain adalah sikap egalitarian. Egalitarian adalah sikap persamaan rasa dan derajat kemanusiaan. Bagaimana memasuki wilayah rasa yang dialami orang lain tentu dengan cara melakoni hidup mereka yang terbiasa dalam kesulitan hidup.
Kenapa harus menyisahkan satu hari untuk bersyukur?. Ternyata sikap egalitarian itu hanya bisa muncul saat kita mampu mensyukuri nikmat yang lebih pada diri kita. Sikap egaliter tidak mungkin lahir tanpa rasa syukur.
Dalam kehidupan sehari-hari kita bisa saksikan, seandainya semua orang yang memiliki kelebihan itu merasa berkecukupan, maka tidak akan pernah lagi kita melihat orang yang susah payah dalam hidupnya. Tapi tidak, orang yang terlihat cukup saja masih merasa tidak berkecukupan. Olehnya yang sungguh-sungguh tidak berkecukupan tetap menjadi tidak cukup sedang yang cukup kadang mengambil hak-hak yang tidak cukup.
Hilangnya rasa syukur dalam diri menghilangkan kepedulian, rasa persaudaraan, dan persamaan kita sebagai manusia. Bahkan cenderung melakukan perampasan hak-hak orang lain.
Yang paling faktual saat ini, tentang kelangkaan tabung gas elpiji ukurang 3 Kg misalnya. Dasar hukumnya jelas, itu adalah hak-hak masyarakat ekonomi lemah, tapi tak sedikit dari mereka orang mampu malah menggunakannya.
Bahkan di saat yang sulit malah ada pengecer yang menaikkan harga yang semestinya. Itu semua gambaran tidak adanya rasa syukur pada diri sehingga dengan mudah kita kehilangan rasa kemanusiaan dalam diri.
Abu Yazid al Bustami; pernah suatu ketika berada dalam keadaan kedinginan. Seseorang ingin memberinya selimut namun beliau mengatakan minimal saya pernah merasakan bagaimana dinginnya orang-orang miskin yang tak bisa memiliki selimut untuk melindungi dirinya dari kedinginan.
Kata Rasulullah, anda tidak akan mencium bau surga, ketika anda terlelap tidur sedang tetangga anda sedang kelaparan.
Sungguh seluruh ajaran keagamaan puncaknya adalah kemanusiaan. Ajaran-ajaran oleh Allah SWT melalui para Nabi dan para ulama mengajarkan kita untuk selalu peduli pada sesama manusia.
Dalam sejarah diceritakan tentang sosok sahabat Nabi yang dikenal sebagai bapak egalitarianisme, Abu Dzar al Gifari namanya. Seorang dari suku Ghiffar yang suka merampok kapilah yang lewat dan membagi-bagikannya kepada fakir miskin.
Setelah masuk islam, kebiasaannya yang peduli pada orang-orang lemah dan miskin menjadi sikapnya yang diakui dan menjadi sahabat dekat Rasulullah SAW. Diceritakan, sebelum Rasulullah SAW wafat, Abu Dzar al Gifari dipanggil. Rasulullah berkata kepadanya; 'engkau akan selamanya menjadi seperti ini, hidup dalam kesederhanaan dan peduli pada dhuafa'.
Sikap itu terus dipegang Abu Dzar al Gifari ketika telah menjalankan tugas negara di Syiriah. Ia bahkan pernah menentang Muawiyah ketika ingin membangun istana hijau. Abu Dzar al Gifari memperingatkan jika hendak membangun istana dengan uang negara, berarti Muawiyah telah menyalahgunakan uang negara. Dan jika anda membangun dengan uang pribadinya berarti Muawiyah telah melakukan pemborosan.
Apa yang bisa kita petik dari semua ini ?.
Pertama adalah kepedulian akan terbentuk jika selalu ada upaya untuk mensyukuri nikmat Allah SWT. Olehnya kepedulian itu tidak ditentukan oleh kemampuan untuk peduli. Di kampung-kampung, saya sering menyaksikan para nelayan yang hidup sederhana justru gemar membagi-bagi hasil tangkapannya kepada orang lain.
Hal itu menunjukan bahwa kepedulian itu dibentuk oleh rasa syukur. Kedua, kepedulian akan melahirkan pemihakan bahkan perlawanan pada hal-hal yang bertentangan dengan rasa kemanusiaan... (*)
Pambusuang, 10 mei 2019