Catatan Silaturrahmi Kebudayaan Cak Nun dan Kiai Kanjeng 2018 (Bagian 3)

Mambangun Peradaban Maiyah

Wacana.info
Cak Nun dan Kiai Kanjeng di Anjungan Pantai Manakarra. (Foto/Daus JPeG)

Oleh: Muhammad Munir (Penggiat Literasi RUMPITA Tinambung)

Setelah Penampilan Cak Nun dan Kiai di Majene, Selasa 10 April 2018 di Stadion Prasamya Mandar Majene maka selesailah rangkaian acara  Silaturrahmi Kebudayaan "Manaraturrahmah" yang sekaligus menandai bahwa selama Cak Nun dan Kiyai Kanjeng lahir, penampilan di Majene ini adalah penampilan yang ke-3895 di berbagai pelosok nusantara bakan sampai ke negeri Belanda, Singapur bahkan Amerika. 

Selesainya penampilan Cak Nun dan Kiai Kanjeng di dua titik di Sulbar tentu melahirkan berbagai interpretasi yang beragam dan semua punya alasan. Tapi yang terpenting kita garis bawahi adalah Apa yang  Cak Nun ingin capai dari 3895 penampilannya dan apa output dari kedatangan Cak Nun di Mandar Sulawesi Barat? 
Inilah yang membuat tulisan ini masih harus dilanjutkan beberapa hari kedepan sebab Cak Nun adalah sosok guru bangsa yang tidak hanya sebatas menganggapnya Kiai, Ustadz, Budayawan saja. 
39begitu getampil disetiap daerah. 

Beruntunglah kita memiliki sosok Guru Bangsa sekelas Cak Nun yang tak pernah berjubel pangkat dan jabatan struktural. Ia di usianya yang ke-65 ini masih punya keinginan memperbaiki Indonesia kendati ia sama sekali tidak punya andil dalam merusak Indonesia. Nah disinilah kunci dari pertanyaan diatas, apa yang ingin di capai oleh Cak Nun dan apa output dari kedatangan Cak Nun yang sejak 30 tahun terakhir intens menyapa Mandar dan mendaulat dirinya sebagai orang Mandar yang lahir di Jombang. 

Dalam tradisi Pengajian atau Sinau Bareng Cak Nun yang pernah saya ikuti di Jakarta dan pulau Jawa. Saya melihatnya orang yang datang berbondong-bondong datang ke Maiyahan di sebuah tempat yang jauh dari pusat keramaian kota. Laki-laki, perempuan, tua, muda, tidak memandang profesi, agama, suku dan ras, semua berkumpul dalam satu wadah bernama Maiyah untuk belajar bersama, berusaha untuk menemukan kembali kesejatian manusia.

Saya menyebutnya Peradaban Maiyah dan ini terus dibangun oleh Cak Nun tanpa henti. Cak Nun dan Maiyah terpola dalam 
sebuah forum diskusi yang sangat sederhana, semua ilmu dielaborasi bersama, tidak ada jarak yang begitu jauh antara audiens dengan narasumber, bahkan seringkali podium atau panggung hanya berjarak beberapa centimeter saja dari jamaah. Jamaah duduk lesehan, duduk menekun berjam-jam, sesekali menikmati kopi atau teh untuk mengambil jeda, menikmati sajian musik Gamelan KiaiKanjeng atau penampilan dari seniman yang hadir. Tidak sedikit bahkan yang rela berdiri lebih dari 3 jam agar tetap menikmati kekhusyukan forum.

Dalam berbagai literatur yang pernah saya baca, gagasan membangun peradaban Maiyah menjadi sebuah yang niscaya dan terus digalakkan dengan cara menggelorakan ghirah Maiyah keberbagai daerah sehingga tidak salah jika Indonesia kemudian berhasil menjadi negara Maiyah tanpa harus terserabut dari akar ke Indonesiaan kita. 

Maiyah dalam arti yang lebih spesifik juga bisa disebut sebagai Lembaga Pendidikan yang tentu saja tidak berupa lembaga yang sangat formal seperti lembaga pendidikan kebanyakan saat ini. Tidak ada formulir pendaftaran, tidak ada syarat-syarat khusus untuk menjadi jamaah maiyah, tidak ada iuran bulanan yang harus dibayarkan. Letak keunikan Maiyah ini salah satunya adalah terjaganya semangat kesadaran bersama bahwa semua orang yang hadir berhak untuk berbicara. Semua yang hadir berhak untuk mengemukakan kebenaran menurut versinya masing-masing dan tidak ada paksaan untuk menyetujui atas pendapat yang dikemukakan. Semua orang memiliki kebebasan yang sama untuk menentukan setuju atau tidak setuju.

Sampai disini saya melihat bahwa penampilan Cak Nun dan Kiyai Kanjeng di Mamuju sangat tepat dengan konsep tradisi pengajian Maiyah. Berbeda Mamuju, di Majene  sedikit berubah pola pengajiannya di Majene yang notabene bisa disebut Konser Cak Nun dan Kiai Kanjeng, kendati tetap mampu membangun emosional jamaah untuk lebur dalam ideologi Maiyah. Sebab jika ditarik lebih detail, suasana forum yang dihadiri oleh ribuan orang di berbagai tempat ini, dalam diri setiap jamaah maiyah seolah sudah tertanam sebuah kesadaran untuk bersama-sama menjaga setidaknya 3 bentuk keamanan satu sama lain; keamanan martabat, kemananan harta dan keamanan nyawa. Lahirnya kesadaran di setiap individu tersebut menghasilkan output berupa tertibnya jalannya sebuah forum. 

Ketika setiap orang yang hadir di Maiyahan sudah tertanam rasa tanggung jawab terhadap keamanan dirinya dan orang-orang di sekitarnya, maka secara langsung dalam dirinya pun muncul sifat disiplin. Disiplin ini bukan hanya soal bagaimana dia tidak melanggar aturan norma kemanusiaan dan akhlak, tetapi juga disiplin bahwa di Maiyah semua orang memiliki hak yang sama. Tidak ada jarak antara kaya dan miskin, antara pandai dan bodoh, antara alim dan sesat. Semua memiliki tanggung jawab yang sama untuk berdisiplin menjaga ketertiban dan keamanan selama berjalannya forum diskusi.

Di Maiyah, tidak ada istilah bahwa seseorang itu pandai atau bodoh. Setiap orang memiliki kesadaran bahwa mereka membawa “gelas kosong” untuk diisi di Maiyah. Dan yang paling penting adalah, bahwa di Maiyah terkondisikan untuk tidak adanya jaminan untuk mendapatkan sesuatu dari Maiyah. Semua orang hadir atas kesadarannya sendiri, atas kejernihan hatinya sendiri, atas inisiatif sendiri dan ini sudah tergambar dalam acara silaturrahmi kebudayyan bertajuk Manaraturrahmah. (BERSAMBUNG)