Catatan Silaturrahmi Kebudayaan Cak Nun dan Kiai Kanjeng 2018 (Bagian 2)

Manaraturraahmah Itu Adalah Cak Nun

Wacana.info
Penampilan Cak Nun di Anjungan Pantai Manakarra. (Foto/Manaf Harmay)

Oleh: Muhammad Munir (Penggiat Literasi RUMPITA-Tinambung)

Jika tidak ada aral melintang, hari ini, Senin malam (09/4/2018) Mahaguru Maiyah Nusantara dan Kiai Kanjeng akan hadir di Anjungan Pantai Manakarra Kabupaten Mamuju. Sesuai dengan Jadwal, Cak Nun  akan berbaur bersatu bersama Jamaah Maiyah Mandar dalam acara Silaturrahmi Kebudayaan.  Ditengah padatnya agenda bulan April Cak Nun jauh hari telah mengagendakan untuk Ngaji Bareng di Sulbar, sebuah provinsi yang beliau sendiri ikut membidani proses kelahirannya. 

Seperti beberapa tahun sebelumnya, sejak provinsi ini lahir, Cak Nun telah berulangkali berkunjung ke Mandar dengan berbagai tema, mulai dari Safinatunnaja, Risalah Cinta dan kali ini mengusung tema Manaraturrahmah. Manaraturrahmah seperti yang dirilis di laman caknun.com bisa dikatakan puncak rohani perjalanan silaturahmi Cak Nun dengan Mandar dengan al-Mahbubah Bunda Cammana di Tinambung.

Manaraturrahmah atau Menara Kasih Sayang juga merupakan temu rindu dengan segenap Jamaah Maiyah Mandar mulai dari generasi awal hingga generasi paling muda Cak Nun. Mengapa diberi nama seperti itu? Karena Cak Nun dan Kiai Kanjeng merasa bahwa telah panjang dan mendalamnya persaudaraan dengan Mandar, yang dalam sejarah dan semesta Maiyah tergolong paling awal, tidak mungkin berlangsung jika bukan karena tingginya kasih sayang Allah Swt. Ibarat dunia seluler, menara BTS kasih sayang Allah menjulang tinggi di Mandar. 

Tentu saja pernyataan ini tidaklah berlebihan, mengngat siapapun di antara sahabat-sahabat di Mandar pasti membenarkan yang dikatakan Cak Nun. Dan ini membuat selalu bersemayam rasa kangen untuk selalu berjumpa, dalam balutan cinta kepada Allah Swt dan Kanjeng Nabi Muhammad Saw. Emha Ainun Nadjib atau lebih akrab disebut “Cak Nun” memang selalu dinanti dan dirindukan jamaahnya di Mandar. Sosok yang begitu familiar itu menjadi satu-satunya tokoh nasional yang kerapkali menyematkan Mandar dalam dirinya. 

Bagi Jamaah Maiyah wabilkhusus Papperandang Ate, Cak Nun adalah “teks” yang multitafsir. Pemikiran-pemikirannya yang tertuang dalam bahasa tulisan (inscription) selalu menggelitik pembacanya untuk menguliti, mendalami, merenungkan, dan merefleksikanya dalam praktik kebe-ragamaan dan kebudayaan. Acap kali, tulisan-tulisan beliau keluar dari rel baku paradigma ke-Islaman dan kebudayaan yang sudah terpatri sebagai praktek keseharian masyarakat kita. Tapi itulah keindahan sekaligus nilai tambah tulisan-tulisan Cak Nun.

Saya awalnya menganggap kecintaan Maiyah Mandar pada Cak Nun terkesan gila dan mengkultuskannya, akan tetapi setelah berbaur dan sinau bareng  Cak Nun di Jawa Timur (Surabaya dan Jombang) dan Jakarta (TIM) akhirnya harus tunduk patuh bahwa kegilaan Maiyah Mandar itu adalah wajar. Perjumpaan pertama saya dengan Cak Nun telah mengubah paradigmaku memandang Cak Nun, bahkan andai bisa kulakukan, aku ingin lebih gila lagi dari mereka yang tergila-gila pada Cak Nun. 

Sejak Ihtifal Maiyah di Jombang dua tahun lalu, karya-karya beliau mulai aku buru, dari yang terbitan terakhir sampai pada terbitan awal aku koleksi. Buku Dari Pojok Sejarah, Titik Nadir Demokrasi, Jogja Indonesia, Pulang-Pergi, Secangkir Kopi Jon Parkir, Jejak Tinju Sang Kiai, Istriku Seribu, sampai Daur 1-4 mengajari aku mencintai Cak Nun. Seperti halnya buku jadul “Jogja Indonesia, Pulang-Pergi”. Buku terbitan tahun 1999 itu dikemas dengan bahasa yang renyah, gurih, humoris tapi menyimpan makna yang begitu dalam. Itulah khas tulisan Cak Nun.

Buku yang dengan apik mendeskripsikan tentang Yogyakarta di era reformasi ini mengajak para pembaca untuk menyelami lebih jauh lautan hikmah di balik “Jogjakarta” secara kultur-history, hingga kritik sosial dan juga soal pembunuhan wartawan Bernas bernama “Udin” yang legendaris dan belum terungkap hingga sekarang ini (Adi Esmawan).

Selain Cak Nun, ada satu tokoh bangsa yang juga kerap pemikiran dan tulisan-tulisannya menggodaku yaitu Cak Nur (Nurcholis Madjid). Narasi Adi Esmawan yang mencoba membandingkan tulisan Cak Nun dengan cendekiawan Nurcholis Madjid (Cak Nur), sangat tepat dan setuju segala-galanya. Menurutnya, Cak Nun dan Cak Nur punya perbedaan mendasar, yaitu terletak pada gaya bahasa dan “kemasan tulisan”. Nurcholis Madjid cenderung ilmiah, sistematis, dan melalui pendekatan empiris yang normatif. Maklum, beliau orang akademik (Rektor Universitas Paramadina). Sedangkan tulisan Cak Nun begitu mengalir, humoris, merefleksikan bahasa keseharian dan kadang sangat puitis dengan perpaduan sastra tingkat tinggi. Meski kadang tulisan Cak Nun juga sangat “ekstrem” dan “galak” jika sudah menyangkut “suatu hal”. Meskipun begitu, tulisan Cak Nun juga tidak kehilangan “nuansa ilmiah-nya”.

Membaca Tulisan-tulisan Cak Nun di laman www.caknun.com, atau di media nasional juga sangat khas. Terkadang, membaca judulnya saja sudah antik dan menarik. Isinya kadang memeras otak mirip pengisian teka-teki silang. Pendalaman maknanya sangat kental dan parsial. Sehingga saya kadang berfikir dan adakah sosok penulis di Mandar ini yang bisa menjadi penerus Cak Nun? Pertanyaan yang sampai detik ini belum kutemukan jawabannya, sementara aku bukan sosok yang tepat untuk sosok itu. 

Akhirnya, Mari kita sambut beliau dan hadir sebagai penyaksi maksyuksi silaturrahmi kebudayaan sambil menengok pandangan-padangan beliau soal ke-Islaman dan dialektika kebudayaan. Setiap ceramah dan tulisan-tulisan beliau, pasti tentang “nilai”, bukan simbolik – formalistik. Agama adalah nilai kasih sayang, hingga masalah “sepele” macam menyingkirkan rintangan di jalan saja sudah mendapatkan kredit dari Tuhan. Kemudian penekanan kembali bahwa agama adalah wilayah “keyakinan”. Karena itu, keyakinan sangatlah personal. Karena keyakinan “saya” dengan keyakinan “anda” tidak mungkin sama persis. Keyakinan itu diaplikasikan lewat perbuatan, bukan ucapan belaka. Anda boleh saja berucap syahadat satu hari seratus kali, tapi anda belum tentu benar-benar “bersyahadat”. Dan itu yang tau hanya anda dan Tuhan sendiri.

Dalam meyakini sebuah ajaran agama, setiap pemeluk agama pasti meyakini agama yang dianutnya adalah benar, yang lain salah. Tapi itu tidak perlu diungkapkan kepada orang lain, utamanya pemeluk agama lain. Ketika kita umat Islam meyakini bahwa hanya Islam agama yang benar, maka seperti itu pula keyakinan pemeluk-pemeluk agama lain, atau aliran-aliran lain. Jadi kuncinya adalah saling menghormati antar keyakinan, hidup rukun berdampingan dan mengutamakan persamaan kemanusiaan di atas segala-galanya. Demikian narasi Adi Esmawan, pengasuh jurnalva.com yang sengaja saya angkat untuk menyambut kedatangan Cak Nun di Mandar. 

Selamat datang Cak Nun dan Kiai Kanjeng di Mandar, Tanah Leluhur, Lita Pembolongatta' !
(Bersambung)