‘Nyanyian‘ Padi dari Tutar, Polman
Hari itu, tanaman padi mulai menguning. Merdu suara kutilang jantan turut hadi pengiring padi yang terus tertunduk.
Di pinggiran gunung di dusun Piriang, Desa Piriang Tapiko, kecamatan Tutar, Polman, lahan seluas sekira 50 are disulap menjadi sawah ladang. Ia ditandai dengan kayu hasil pembakaran untuk mengusir hama di lereng gunung sekaligus jadi pembatas antar sawah ladang yang satu dengan yang lainnya.
Duduk di seberang pematang tak jauh dari tongkat kayu yang di bagian ujungnya terikat pelastik berwarna merah, pemuda yang mengibahkan dirinya mengabdi di tanah kelahiranya. Iwan namanya.
Dengan pasti, Iwan pun menceritakan proses pengelolaan lahan hingga menjadi sawah ladang.
Mulanya rumput di lahan dibabat dengan tradisi 'ma'duluang' (gotong royong), hingga ia mengering dalam beberapa hari, ruput pun dibakar sihingga prosesi adat pun dimulai sebelum memasuki masa tanam,.
Tradisi tersebut dinamakan 'soqbo'. Tradisi yang dipimpin langsung oleh tokoh adat yang menangani masalah pertanian dan tanah. Proses itu kurang lebih sebagai bentuk penghargaan atas tanah dan rasa syukur kepada Sang Pencipta.
Prosesnya ditandai dengan lantunan 'al barazanji'; karya sastra yang berisi sya'ir sya'ir, prosa, dan puisi berbahasa arab yang menceritakan tentang riwayat hidup dan silsilah Nabi Muhammad SAW yang dibacakan oleh sang tokoh tadi.
"Kalau dalam sistem pemerintahan 'soqbo' ini namanya dinas pertanian," kata Iwan.
Masa tanampun dimulai setelah melakukan prosesi adat. Masa itu di tandai dengan tradisi 'maqduluang' (gotong royong). Menanam secara bersama-sama dimana laki-laki dan perempuan dusun Piriang, Desa Piriang Tapiko itu turun ke ladang secara bersama-sama.
Laki-laki bertugas membuat lubang dengan tongkat kayu yang ujungnya dibuat runcing, sementara perempuan dapat jatah untuk menanam benih padi ladang.
"Sibali parriq (konsep kesetaraan gender di Mandar, Sulawesi Barat) sekali kan ?," ungap Iwan.
Pada proses tersebut, ada-ada saja cara para penanam benih padi itu untuk menghilangkan kepenatan. Salah satunya dengan berlomba, siapa yang paling cepat menyelesaikan proses menanam benih.
"Setelah proses penanaman, kita tunggu 1 bulan dan masa ngidam. Padi di ladang kembali kita bersikan rumputnya untuk menghindarkan ia dari hama," sambung Iwan.
Hingga masa panen tiba, masyarakat Desa Piriang Tapiko kembali menggelar ritual dengan mengundang 'sando pare' (tabib padi), tetuah masayarakat yang dipercaya untuk memimpin proses panen.
"Pada saat panen, kami menggunakan alat yang kami sebut 'rappakang' (alat yang mirip dengang sabit sebagai alat pemanen)," ujar iwan.
Hasil dari proses rappakang pun 'dibasse' (diikat), kemudian dijemur pada tempat yang dinamakan 'taraqde' (alat jemur padi terbuat dari bambu dan kayu). Setelah kering, padi ladang pun disimpan rapih di lumbung padi yang telah disediakan.
"Nah setelah kering, kami pun menubuk padi dengan menggunakan alat tradisonal 'issung' dan 'pallungan' untuk mendapatkan beras. Disantap secara bersama di acara syukuran 'barras baru' (beras baru) dengan 'maqdoda dan mappatende," tutup Iwan. (HarunMangkuLangit)