Kesadaran Gradual dan Pilkada Serentak 2018

Wacana.info
Munawir Arifin. (Foto/Net)

Oleh: Munawir Ariffin

Direktur Institute of Research dan Democracy (IRD)

Jika kita menelisik pengalaman Pilkada sejak 1 dekade terakhir, tidak bisa dipungkiri bahwa banyaknya kasus konflik dan kekerasan Pasca Pemilukada yang terjadi dibeberapa daerah, sebut saja konflik yang berujung pada pembakaran gedung Kantor Bupati dan KPU Mamberamo Tengah di Kobakma, pedalaman Papua dan yang masih hangat di benak kita dan terjadi pada awal april 2013 silam yaitu kerusuhan dan konflik pemilihan Walikota Palopo yang lagi-lagi pembakaran dan pengrusakan Kantor Walikota Palopo, Kantor KPU, Gedung Partai Golkar dan kantor salah satu media cetak lokal.

Kejadian tersebut membuat Menteri Dalam Negeri RI (Mendagri) Gamawan Fauzi berkomentar keras dan tak habis pikir mengapa watak bangsa kita belum dewasa dalam berdemokrasi sehingga calon dan pendukung yang merasa kalah melakukan tindakan anarki dan kekerasan berupa pembakaran dan pengrusakan fasilitas publik dan pemerintah. Bahkan sejak tahun 2005, sudah lebih dari 50 orang yang tewas akibak rusuh dan kekerasan pilkada, sehingga Mendagri berencana melaksanakan evaluasi dan mendorong percepatan pembahasan RUU Pilkada langsung oleh DPR RI agar mengembalikan sistem pilkada lewat perwakilan.   

Dari beberapa fakta tak terbantahkan inilah yang menjadi pertanyaan besar penulis, Apakah karena intrumen demokrasi kita  yang belum mapan atau kurangnya kedewasaan dan kesadaran berdemokrasi oleh masyarakat indonesia yang lebih kurang 1 dasawarsa ini mempraktekkan sistem demokratisasi dan melaksanakan pemilihan umum secara langsung dengan sistem One Person One Vote? Inilah yang coba penulis kupas dengan melalui kesadaran dalam kehidupan berdemokrasi kita dan realitas konflik dalam pemilukada yang terjadi di beberapa daerah beberapa hari ini.

Kendala Prosedural

Menurut data Lembaga pengkaji masalah sosial politik, Internasional Crisis Group (ICG), mencatat sekitar 10% dari 200 pemilukada yang diselenggarakan pada 2010 telah diwarnai aksi kekerasan. Misalnya kekerasan yang terjadi di Mojokerto, Jawa Timur, Tanah Toraja di Sulawesi Selatan dan Toli-toli di Sulawesi Tengah, dlsb. Temuan lembaga ini menunjukkan, kekerasan dalam pilkada antara lain dipicu oleh lemahnya posisi penyelenggara pemilukada yaitu KPUD dan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) yang tidak independen (partisan) dan kurang memahami mekanisme penyelenggaraan, serta konflik antar peserta pemilukada.

Data dari ICG 2010, menjelaskan bahwa jumlah kekerasan yang terjadi dalam 224 pemilukada yang terjadwal pada 2010 tidak sampai 10% (20 kasus kekerasan), sedangkan sepanjang pemilukada 2005-2008 mencatat ada13 kasus kekerasan. Walau kecendrungan potensi konflik pasca pemilukada belum pada tahap yang sangat mengkhawatirkan, tetapi tetap saja konflik dan kisruh pasca pemilukada yang berujung pada bentrok, pembakaran gedung, bahkan mengorbankan nyawa tetap menjadi perhatian kita semua dalam rangka mewujudkan demokratisasi dan pemilukada yang aman, damai, berkualitas dan meminimalisir potensi konflik yang dapat terjadi pasca pemilihan dan penetapan hasil pemilihan umum.

Sesungguhnya, beberapa fakta tentang sebab musabab terjadinya konflik dan kekerasan dalam pemilukada di masa lalu adalah tidak bekerja efektifnya lembaga Pemilu dalam hal ini KPU/Bawaslu sehingga manipulasi hasil pemilu kerap terjadi, dimana ada calon yang merasa menang dan merasa diatas angin ternyata kalah oleh incumbent, penyebab lainnya adalah kekecewaan dari elit lokal termasuk pengusaha lokal yang sudah lama termarginalkan oleh keluarga incumbent (Laporan Internasional Crisis Group/ICG Tahun 2010) .

Sejak 2015 lalu, bangsa kita melaksanakan mekanisme Pilkada Serentak, mengantikan mekanisme Pilkada yang lama. Launcing Pilkada Serentak adalah upaya agar kita dapat memilih kepala daerah secara massif yang terorganisir dan terstruktur. Kita patut berbangga pada tahun 2015 lalu, bahwa model pemilihan serentak ini merupakan yang pertama kali di Indonesia, bahkan di dunia. Indonesia harus dicatat dalam sejarah demokrasi dunia karena melaksanakan 269 daerah terdiri atas 9 provinsi, 36 kota, dan 224 kabupaten yang serentak memilih kepala daerah secara bersamaan. Artinya, sekitar 53 persen dari total 537 jumlah provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia akan melaksanakan pilkada serentak gelombang pertama.      

Dalam era reformasi dan sistem demokrasi prosedural yang telah dijalankan oleh kita, sejak lebih dari satu dasawarsa lalu, instrumen dan perangkat menuju sistem berdemokrasi telah dilakukan mulai dari membentuk UU hingga menyiapkan lembaga / institusi yang mampu menopang dan mendorong tata laksananya sistem demokratisasi serta seleksi kepemimpinan bangsa dalam berbagai aspek dan dimensi kehidupan bermasyarakat dan berbangsa yang dimasa lalu hal ini terdistorsi akibat sistem kehidupan bernegara yang otoriterianisme (baca;  orde lama).

Bukankah fakta prosedural dan lahirnya beberapa UU dan terbentuknya lembaga demokratisasi diatas seharusnya memberi pengaruh dan kesadaran berdemokrasi kita lebih baik lagi sehingga muara konflik dalam setiap sistem demokratisasi terutama seleksi kepemimpinan saat pemilu dan pemilukada tidak menyebabkan konflik bahkan anarkisme berlebihan dan mencederai demokratisasi yang sementara ini dibangun secara bersama oleh bangsa kita?      

Kesadaran Gradual

Memang dalam perspektif lain, dari kalangan minoritas, dan mereka yang sungguh-sungguh ingin membangun demokrasi, perubahan  bukan sekedar pergantian rezim kekuasaan politik dan perbaikan ekonomi, tetapi juga adanya persamaan derajat dan kedudukan, jaminan hukum dan kebebasan politik bagi setiap warga negara tanpa memandang asal muasal etnis, agama, jenis kelamin, dan bahasa ibu. Maka tidak ada alasan mayoritas atas dasar apapun untuk mendominasi minoritas.      

Reformasi bukan semata membangun sistem, melahirkan UU, membentuk lembaga bahkan soal mengganti orang dalam seleksi kepemimpinan melalui pemilu dan pemilukada, tetapi juga suatu penataan kembali seluruh dimensi kehidupan dan kesadaran demokratisasi kita secara mendasar. Mengganti orang bisa dilakukan sehari, tetapi penataan kembali kesadaran jelas memerlukan waktu yang lama dan mesti berlangsung secara gradual.

Demokrasi secara gradual, demikian telah lama menjadi pemikiran Gusdur. Pendewasaan dan penyadaran demokrasi terus-menerus telah lama diserukan, demokrasi tidak bisa dianggap sekejap, semudah seperti Jin Qurtuby memenuhi permintaan tuannya, Aladin, dalam salah satu dongeng klasik 1001 malam (Gusdur 1998).  

Melihat beberapa kasus anarki dalam pemilukada dan perspektif kesadaran demokratisasi yang dibangun oleh Gusdur, bahwa kita sebagai bangsa seharusnya bisa menata sistem dan mewujudkan kehidupan demokratisasi saat ini bukan hanya dengan penerbitan UU serta Pembentukan lembaga / intsrumen penopang demokratisasi atau soal seleksi dan perebutan kekuasaan semata dalam Pemilu ataupun Pilkada dan bahkan dengan sistem Pilkada Serentak ini.

Tetapi, lebih jauh bagaimana kita membangun dan menata kesadaran serta kedewasaan kita dalam memaknai demokratisasi secara gradual mulai dari elit dan para pejabat hingga rakyat, mulai dari perangkat dan pelaksana hingga kontestan pemilukada secara keseluruhan. Sehingga konflik dan anarki dapat dihindari dalam setiap seleksi kepemimpian terutama dalam Pilkada Serentak yang terlaksana diberbagai wilayah dan daerah di Indonesia.

Apalagi dalam waktu dekat ini, di daerah kita sendiri Sulawesi Barat dan khususnya Kabupaten Polewali Mandar dan Kabupaten Mamasa secara khusus, akan melaksanakan Pilkada Serentak gelombang ketiga bersamaan dengan 171 Daerah Provinsi/Kota/Kabupaten pada tanggal 27 Juni 2018. Harapan besar penulis dan tentunya bagi kita masyarakat Sulawesi Barat bahwa Pemilu dan Pemilukada yang akan berlangsung kedepannya akan berjalan dengan damai dan tidak akan mengulang kisah tragis dan anarki seperti yang terjadi di Kobakma, Pedalaman Papua dan Kota Palopo Sulawesi Selatan.

Lihat saja catatan-catatan Pilkada Serentak yang telah kita laksanakan sejak 2015 lalu bukannya tanpa konflik, atau justru menghemat anggaran negara dalam pelaksanaan Pilkada dan meminimalisir money politik yang justru menguatkan demokrasi transaksional kita. Lihat saja data  Kemendagri bahwa anggaran Pilkada Serentak 2015 yang seharus 4,8 Triliun membengkak menjadi 7,1 Triliun. Begitupun pada Pilkada Serentak 2018 ini yang bahkan mencapai 11, 9 Triliun.

Terakhir, Bawaslu RI baru-baru ini mengeluarkan Index Kerawanan Pemilu (IKP) dalam Pilkada Serentak 2018 bagi Provinsi Sulbar, dengan menilai tingkat index penyelenggaraan, kontestasi, dan partisipasi di dua (2) Kabupaten yaitu Kabupaten Mamasa dan Polewali Mandar. Walaupun IKP di dua kabupaten di Sulbar tersebut masih tergolong rendah, dengan presentase 1,83 untuk Kabupaten Mamasa, dan Kabupaten Polewali Mandar sebesar 1,74, tetapi variabel lainnya yang memiliki skor tinggi harus diantisipasi. Apalagi Pilkada di dua kabupaten tersebut hanya memiliki dua calon di kabupaten Polewali Mandar, dan bahkan di Mamasa, petahan akan melawan kotak kosong. Yang artinya hanya ada calon tunggal yang mungkin saja sangat berpotensi terjadinya pilkada yang manipulatif. Wallahu a’lam bissawab... (*)